Seorang dosen tentu perlu memahami metode penilaian mahasiswa di era AI sebaiknya bagaimana. Sebab mengandalkan metode penilaian konvensional tentu sudah tidak lagi relevan.
Sebab, tugas mahasiswa sendiri bisa saja dibuat dengan bantuan AI. Mengandalkan hasil pengecekan tugas saja, tentu rawan melakukan penilaian yang tidak lagi tepat. Bisa jadi, tugasnya bagus tapi pemahaman mahasiswa masih minim atau bahkan nihil.
Oleh sebab itu, para dosen perlu menerapkan metode penilaian yang tepat. Sehingga mahasiswa pun menyadari pentingnya belajar dan tidak sekedar mengandalkan Ai dalam meraih nilai tinggi.
Risiko Pemanfaatan AI dalam Tugas Mahasiswa
Teknologi yang terus berkembang dengan sangat pesat, tak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun juga untuk kegiatan akademik di perguruan tinggi. Pemanfaatan teknologi kemudian menjadi kebutuhan dan kewajiban, termasuk teknologi AI.
Teknologi AI umum digunakan dosen dan juga mahasiswa untuk tujuan masing-masing. Misalnya pad dosen, platform berbasis AI digunakan untuk membuat slide presentasi maupun mengembangkan bahan ajar interaktif.
Sementara di sisi mahasiswa, teknologi AI sering dimanfaatkan untuk membantu proses belajar sampai mengerjakan tugas. Namun, pemanfaatan teknologi Ai dalam mengerjakan tugas bukan tanpa resiko.
Dikutip melalui Buku Panduan Penggunaan GenAI pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi. DIjelaskan bahwa pemanfaatan AI dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi memicu sejumlah resiko persoalan etis. Termasuk ketika dipakai mahasiswa dalam mengerjakan tugas, diantaranya adalah:
1. Bukan Karya Asli
Resiko yang pertama adalah karya yang menjadi tugas mahasiswa bukan karya asli. Artinya, karya tersebut hasil jiplakan yang tentu menjadi plagiarisme. Hal ini sangat mungkin terjadi karena teknologi AI bekerja dengan cara merangkum dari berbagai sumber yang bisa diakses di internet.
Misalnya, pada saat meminta Chat GPT membuatkan abstrak untuk topik penelitian Efek Rumah Kaca. Maka Chat GPT akan mulai menyusun abstrak tersebut secara rinci sesuai hasil rangkumannya pada berbagai sumber.
Hanya saja Chat GPT tidak mencantumkan sumber kutipan jika memang ada. Sehingga abstrak yang dibuat rawan plagiat, yakni mencantumkan kutipan tanpa menjelaskan sumber dengan jelas.
Jika tugas membuat makalah, esai, dan karya tulis ilmiah lain sepenuhnya dibuat dengan AI. Maka mahasiswa tersebut sama artinya menjiplak karya orang lain dengan AI. Sehingga tanpa sadar menjadi pelaku plagiat karena karyanya bukan karya asli buatannya sendiri.
2. Potensi Bias dan Kesalahan Informasi
Resiko kedua dari pemanfaatan AI tanpa kontrol yang jelas dalam membuat tugas mahasiswa adalah potensi bias. Bas disini adalah pencantuman data atau informasi yang tidak benar, keliru, tidak akurat, dan sejenisnya.
Teknologi AI sekali lagi memanfaatkan sumber dari internet dan membuat rangkuman. Sehingga informasi yang didapatkan sesuai dengan sumber dari internet yang tentu tidak ada jaminan kredibel 100%.
Ada kemungkinan hasil rangkuman AI menyampaikan data yang tidak benar atau sudah tidak relevan. Namun, AI tidak mencantumkan informasi ini. Jika mahasiswa asal menyalin hasil pengerjaan AI maka ada bias informasi dalam tugas tersebut.
3. Ketidakjelasan Pemilik Karya
Resiko ketiga yang muncul dari penggunaan AI dalam pembuatan tugas mahasiswa adalah ketidakjelasan pemilik tugas tersebut. Tugas mahasiswa bisa dalam bentuk karya tulis maupun karya dalam bentuk lain. Sehingga pemiliknya harus jelas.
Pemilik karya adalah orang atau pihak yang membuat karya tersebut. Sehingga karya ini dimiliki sepenuhnya dan dimanfaatkan secara leluasa oleh pembuatnya. Namun, ketika AI digunakan sampai 100% maka pemilik karya menjadi tidak jelas.
Karya tersebut apakah menjadi milik mahasiswa? Tapi, pembuatnya bukan mahasiswa tersebut melainkan AI. Lalu, apakah pemilik karya ini adalah AI? Pemilik karya tentu tidak bisa dari kalangan robot seperti AI, melainkan manusia seperti mahasiswa. Kondisi ini menjadi penyebab kebingungan dan kerancuan.
4. Terjadi Kesenjangan Akses pada AI
Resiko keempat dari penggunaan AI dalam pembuatan tugas mahasiswa adalah terjadi kesenjangan akses. Artinya, sampai detik ini ketika teknologi AI hangat diperbincangkan. Masih banyak yang tidak kenal dan sulit mengaksesnya.
Dikatakan sulit, bisa karena tools berbasis AI sifatnya berbayar. Sehingga tidak semua mahasiswa bisa mengaksesnya karena keterbatasan biaya. Bisa juga karena keterbatasan pada kepemilikan perangkat elektronik untuk mengakses tools AI.
Jadi, meskipun tools berbasis AI sudah gratis. Namun, pada saat ada mahasiswa tidak memiliki perangkat yang mendukung untuk mengaksesnya. Maka akses tidak bisa dilakukan. Kesenjangan ini tentu menjadi masalah, karena ada yang bisa mengerjakan tugas dengan AI dan ada yang sebaliknya.
Metode Penilaian (Asesmen) Mahasiswa di Era AI
Memahami bahwa nyaris semua mahasiswa menggunakan AI dalam mengerjakan tugas kuliah. Maka para dosen tentu menyadari bahwa tidak bisa mengandalkan tugas tersebut dalam memberi penilaian.
Metode penilaian mahasiswa di era AI disarankan tidak hanya mengandalkan kualitas tugas kuliah dan nilai ujian. Melainkan ada penilaian tambahan yang membantu dosen mengukur tingkat pemahaman dan aspek pencapaian lain yang relevan. Diantaranya adalah:
1. Penilaian Autentik
Metode penilaian yang pertama yang direkomendasikan diterapkan di era AI seperti sekarang adalah metode penilaian autentik. Metode penilaian ini menuntut mahasiswa untuk mendemonstrasikan keahlian dan sikap profesionalnya, selain penerapan pengetahuan yang dimilikinya.
Secara sederhana, penilaian autentik akan membantu dosen mengukur tingkat pemahaman mahasiswa dalam penerapan ilmu yang sudah diberikan. Bentuk penilaian dalam metode ini beragam dan bisa disesuaikan kondisi dan kebutuhan. Beberapa diantaranya adalah:
a. Project-Based Learning (PBL)
Bentuk penilaian yang pertama adalah dengan menerapkan PBL atau Project-Based Learning alias pembelajaran berbasis proyek. Para dosen bisa memberi proyek yang dikerjakan berkelompok oleh mahasiswa.
Dalam penerapannya, mahasiswa akan saling berinteraksi dan berusaha memecahkan masalah dengan kerjasama. Kemudian ada penerapan ilmu yang sudah dipelajari selama perkuliahan dan mendorong keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif.
Proyek yang berhasil diselesaikan kemudian bisa dipresentasikan. Bisa pula mengumpulkan proyek tersebut jika memiliki bentuk fisik. Proyek inilah yang membatu dosen mengukur tingkat pemahaman mahasiswa pada materi yang sudah diajarkan. Dimana proyek ini bebas dari kemungkinan pemakaian AI.
b. Video Assessment
Bentuk kedua dalam metode penilaian autentik adalah video assessment. Video assessment adalah tugas dalam bentuk pembuatan video presentasi maupun video bentuk lain untuk dikerjakan mahasiswa, baik mandiri maupun berkelompok.
Melalui pembuatan video assessment tersebut, mahasiswa akan menggunakan seluruh kemampuan dan pemahamannya pada materi. Serta memiliki kesempatan untuk mengasah keterampilan, terutama dalam pengambilan video (merekam) dan melakukan editing.
Keterampilan lain yang terasah dalam pembuatan video assessment adalah keterampilan komunikasi. Dimana ada proses presentasi di dalam video yang tentu mendorong mahasiswa mengasah kemampuannya untuk berkomunikasi dua arah.
c. Published Assessment
Bentuk penilaian autentik berikutnya adalah melalui published assessment. Published assessment adalah penilaian yang mengacu pada proses publikasi sebagai tugas untuk mahasiswa.
Publikasi disini untuk karya tulis, dan umumnya untuk publikasi artikel ilmiah ke jurnal. Baik itu jurnal nasional maupun jurnal internasional. Namun, untuk penilaian suatu mata kuliah biasanya jurnal nasional saja. Sebab jurnal internasional lebih susah dan biayanya juga sering lebih mahal.
Penilaian dalam bentuk publikasi membuat mahasiswa lebih serius. Sehingga tidak mengandalkan AI untuk memudahkan proses menembus meja editorial jurnal ilmiah. Selain itu, penilaian ini memberi kesempatan bagi mahasiswa memahami proses publikasi ilmiah yang baik dan benar.
2. Penilaian Personal
Metode penilaian mahasiswa di era AI yang kedua adalah penilaian personal. Penilaian personal disini adalah penilaian dari pertimbangan subjektif para dosen. Hal ini sah saja dilakukan dengan melihat perkembangan mahasiswa di kelas dan di luar kelas.
Misalnya, dosen bisa mengetahui mahasiswa bisa lebih aktif bertanya dan percaya diri menyampaikan opininya selama perkuliahan. Kemudian bisa mengetahui tingkat antusias mahasiswa tersebut selama di perkuliahan yang tentu tidak bisa dibuat-buat dan melibatkan AI.
Penilaian personal bisa dilakukan dosen dalam beberapa bentuk penilaian. Seperti:
a. Self Reflection
Bentuk penilaian yang pertama dari penilaian personal adalah self reflection. Dalam hal ini, dosen bisa melakukan sesi sharing dengan mahasiswa untuk mereka melakukan evaluasi hasil pembelajaran.
Mahasiswa diberi ruang dan kebebasan untuk menjelaskan apa kesulitan yang dihadapi selama perkuliahan, bagaimana cara mereka mengatasinya, dan dampak kesulitan tersebut pada pemahaman materi mereka, dll.
Self reflection membantu mahasiswa mengenal kemampuan dan pencapaian akademik mereka. Sekaligus memberi informasi kepada dosen mengenai tingkat pemahaman mereka dan seberapa efektif metode pembelajaran yang sudah diterapkan sehingga bisa dijadikan bahan evaluasi.
b. Penilaian Langsung
Bentuk penilaian personal yang kedua adalah penilaian langsung. Dalam hal ini, dosen bisa mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa dan melihat bagaimana respon dan jawaban yang diberikan.
Secara sederhana, penilaian langsung mirip seperti menggelar sidang skripsi dengan mahasiswa. Sehingga dosen bisa mengetahui tingkat pemahaman mereka pada materi yang sudah disampaikan.
Apa yang dipresentasikan dan jawaban yang diberikan mahasiswa tentu orisinil tanpa pengaruh AI. Oleh sebab itu menjadi salah satu metode penilaian mahasiswa di era AI yang banyak direkomendasikan.
3. Fokus pada Proses Belajar
Metode penilaian berikutnya di era AI yang direkomendasikan adalah penilaian yang fokus pada proses belajar. Proses belajar disini mencakup seluruh perkembangan mahasiswa sepanjang perkuliahan.
Mulai dari sikap di kelas selama perkuliahan, kemudian antusias mereka dalam bertanya maupun menyampaikan pendapat, rajin tidaknya mengumpulkan tugas, nilai ujian tengah semester dan semester, dan lain sebagainya.
Jadi, pada metode ini penilaian akhir tidak hanya mengandalkan nilai tugas dan nilai ujian. Melainkan proses perkuliahan tersebut membawa dampak positif apa kepada mahasiswa. Sehingga ada penilaian personal pula dalam prakteknya dan lebih menyeluruh.
4. Proctoring
Bentuk atau metode penilaian mahasiswa di era AI berikutnya adalah proctoring. Proctoring sendiri adalah sistem pengawasan online yang dilakukan dengan cara memfoto wajah peserta ujian melalui kamera smartphone atau webcam.
Adapun kaitannya dalam proses penilaian mahasiswa adalah untuk memastikan mahasiswa hadir di hari H ujian. Sehingga ada tools untuk mendeteksi wajah atau sistem absensi canggih lain yang membuat mahasiswa wajib hadir untuk ujian.
Teknologi proctoring juga bisa digunakan sebagai pengawas selama proses ujian. Sehingga dosen dibantu mengukur kemampuan akademik mahasiswa dengan melihat sikap kejujuran dalam mengerjakan soal-soal ujian.
Strategi Mencegah Resiko Pemanfaatan AI untuk Tugas Mahasiswa
Setelah memahami tata cara menilai mahasiswa yang menggunakan AI. Maka hal penting berikutnya yang perlu dipahami adalah mengenai tata cara mencegah resiko dalam pemanfaatan AI.
Mencegah resiko pemanfaatan AI akan meningkatkan kesadaran mahasiswa untuk menggunakannya dalam porsi dan kadar yang tepat. Sehingga tidak berlebihan, tidak ada efek kecanduan AI, dan dampak negatif lainnya.
Terdapat beberapa strategi yang bisa diterapkan di perguruan tinggi untuk mencegah resiko pemanfaatan AI dalam mengerjakan tugas kuliah. Diantaranya adalah:
1. Menetapkan Regulasi Penggunaan AI dalam Pembelajaran
Strategi yang pertama adalah PT atau perguruan tinggi menetapkan regulasi mengenai penggunaan Ai dalam pembelajaran. Sehingga ada batasan yang jelas dan menjadi ketetapan PT yang wajib dipatuhi oleh dosen dan mahasiswa.
Contohnya, PT memperbolehkan penggunaan AI dalam mengerjakan tugas kuliah bagi mahasiswa. Namun ada beberapa aturan yang menyertainya dan wajib dipatuhi mahasiswa.
Seperti meminta izin penggunaan kepada dosen, mencantumkan informasi penggunaan AI pada tugas yang dibuat, dan menghindari larangan penggunaan AI sesuai kebijakan PT.
2. Menyediakan Buku Panduan Penggunaan AI dalam Pembelajaran
Strategi yang kedua adalah PT maupun dosen merilis buku panduan penggunaan AI dalam pembelajaran. Sehingga informasi mengenai apa itu AI, aturan penggunaannya dalam pengerjaan tugas, batasan, sanksi, dan sebagainya dicantumkan.
Buku panduan ini menjadi bentuk hukum tertulis yang bersifat lokal di lingkungan PT. Sehingga wajib dipahami, dipahami, dan dipatuhi oleh mahasiswa. Tujuannya agar pemanfaatan AI dalam mengerjakan tugas kuliah sesuai aturan dan minim dampak negatif.
3. Menetapkan Regulasi Terkait Sanksi Penyalahgunaan AI
Strategi berikutnya adalah PT menetapkan regulasi terkait sanksi penyalahgunaan AI. Penggunaan AI untuk pembelajaran sampai pengerjaan tugas kuliah memang diperbolehkan. Namun tentu ada aturan dan batasan yang menyertainya.
Adanya aturan dan batasan ini memang masih sering diabaikan. Maka pihak PT harus menetapkan regulasi yang menjelaskan sanksi yang bisa didapatkan mahasiswa maupun dosen yang melakukan penyalahgunaan AI.
Misalnya menggunakan AI dan berujung pada kasus plagiarisme maupun bentuk pelanggaran etika lainnya. Sehingga sanksi yang tepat diberikan dan penerapannya dilakukan secara transparan agar menjadi perhatian dosen dan mahasiswa lain.
4. Memeriksa Tugas Mahasiswa dengan Pendeteksi AI
Strategi selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan terhadap tugas mahasiswa dengan tools pendeteksi AI. Sebab untuk melakukan pengecekan secara manual oleh dosen, tentu membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak.
Tools pendeteksi AI tentunya lebih efektif dan efisien, sehingga bisa membantu mengetahui mahasiswa menggunakan AI secara berlebihan atau tidak. Kemudian sudah mematuhi regulasi tentang penggunaan AI selama perkuliahan atau tidak.
5. Menerapkan Penilaian Alternatif
Strategi berikutnya adalah menerapkan metode penilaian mahasiswa di era AI sebagai alternatif. Sehingga bukan sekedar mengandalkan nilai atas tugas-tugas kuliah dan nilai ujian. Namun ada metode penilaian lain yang melengkapi dan bisa mengukur tingkat pemahaman mahasiswa pada materi perkuliahan.
Penerapan teknologi AI di pendidikan tinggi memberi dua sisi, yakni menguntungkan dan merugikan. Namun, melarang penggunaan AI dalam pembelajaran di pendidikan tinggi tidak sepenuhnya benar.
Sebab AI sendiri bisa mendukung peningkatan mutu proses dan hasil perkuliahan selama digunakan dengan baik, benar, dan porsinya pas. Oleh sebab itu, penerapan strategi di atas dan metode penilaian mahasiswa di era AI yan relevan lebih dianjurkan.
Jika memiliki pertanyaan, opini, atau ingin sharing pengalaman berkaitan dengan topik dalam artikel ini. Jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share agar informasi dalam artikel ini tidak berhenti di Anda saja. Semoga bermanfaat.