fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

KIJ dan PSW UIN Suka Seminarkan Hasil Kajian Tentang Penggunaan Niqob di Indonesia

KIJ dan PSW UIN Suka
Para pembicara dalam seminar series Niqob dan Public Order di Indonesia berfoto bersama dengan audience usai acara yang diselenggarakan di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, Jumat (6/12/2019). (Foto: duniadosen.com/ta)

Yogyakarta – KIJ dan PSW UIN Suka (Kalijaga Institute for Justice dan Pusat Pengarusutamaan Gender dan Hak Anak UIN Sunan Kalijaga), Yogyakarta melakukan kajian tentang penggunaan niqob atau cadar yang berkembang sekarang ini di Indonesia. Pemakaian niqob atau cadar ternyata merupakan sebuah tradisi lama di suku-suku Timur Tengah dan Asia Selatan seperti di Pakistan sebelum Islam masuk.

Dalam seminar yang diselenggarakan KIJ dan PSW UIN Suka, salah satu pemateri Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Direktur KIJ UIN Suka Yogyakarta mengatakan zaman dulu di beberapa suku Timur Tengah dan Asia Selatan sudah memiliki tradisi memakai niqab sehingga bukan menjadi ajaran dari Agama Islam karena tidak ada dalam Alquran.

Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Direktur KIJ UIN Suka Yogyakarta, dosen senior sekaligus staff khusus Presiden RI Bidang Keagamaan Internasional menjadi salah satu pembicara dalam seminar. (Foto: duniadosen.com/ta)

”Lebih kepada akulturasi Islam yang masuk ke dalam kelompok masyarakat yang memiliki tradisi memakai niqob,” jelasnya sesuai menjadi pembicara di seminar bertajuk Niqob dan Public Order di UIN Suka Yogyakarta, Jumat 6/12/2019.

”Di masa lalu itu lebih dominan unsur kultural, tetapi sekarang lebih ke doktrin politik untuk kelompok-kelompok yang keras seperti Alqaeda dan ISIS yang menjadi bagian dari ideologi politik dan keyakinan agama,” imbuhnya.

Dari penelitiannya, ia menyebut penggunaan secara masif niqob terjadi pada tahun 2015 saat konsep tentang hijrah banyak melibatkan perempuan profesional yang berkarir. ”Sebelumnya, digunakan pada kelompok tradisional, jamaah tabligh atau salafi yang menjadi satu dalam komunitas. Kami melihat gerakan transnasional yang paling kuat seperti ISIS yang mewajibkan semua perempuan menggunakan cadar, meski ada juga dari gerakan transnasional salafi yang baru dan beberapa faksi HTI,” bebernya.

Dari tahun 1998 sampai sekarang ini, dari analisis penelitiannya, ia menemukan tentang kematangan ideologi dari kelompok tersebut. Kelompok-kelompok tersebut masuk ke Indonesia mengalami proses sosialisasi, lalu matang secara politik dan kultural di atas tahun 2015. Sangat terasa pada tahun 2019 dengan adanya polarisasi di masyarakat.

Lebih lanjut ia mengemukakan, uniknya pemakaian  niqob, di Indonesia pada usia rata-rata 18 tahun ke atas, artinya ada semacam pilihan pribadi untuk menggunakan itu. Sedangkan di Mesir sejak kecil, anak perempuan memakai niqab. “Jadi kalau di Indonesia keputusan memakai niqob terkait dengan pemahaman mereka apa yang disebut hijrah dan kepada siapa mereka mengaji,” imbuhnya.

Menurutnya, era digital juga memberikan dampak berarti tentang penggunaan niqob karena kemudahan akses informasi dengan kelompok-kelompok transnasional yang paling rajin mengisi wacana-wacana ke-Islaman ketimbang kelompok NU dan Muhammadiyah.

”Ini menjadi otokritik bagi kelompok arus utama yang sudah merasa nyaman dengan model dakwah selama ini sehingga tidak bisa menampung kegairahan beragama kalangan para eksekutif dengan alasan bermacam-macam seperti mengisi sisi spiritual,” tuturnya.

Ia menambahkan, yang menjadi keprihatinan, kelompok-kelompok transnasional sangat menguasai teknologi saat ini. Adanya keprihatinan tersebut, khusus pemakaian Niqob di ruang pelayanan publik, disikapi oleh Pemerintah dengan ada kesepakatan bersama oleh 11 kementerian, salah satunya Kementerian Agama.

Ruhaini yang juga sebagai staf khusus Presiden RI Bidang Keagamaan Internasional ini lebih lanjut menjelaskan, 11 kementerian itu tidak melarang pemakain niqob karena itu hak-ekspresi setiap orang. Namun Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk menciptakan keteraturan, kepatutan dan kelancaran tugas pokok dan fungsi ASN di ruang pelayanan publik. Dan ini diatur juga oleh PBB.

Artinya aturan untuk tidak memakai niqob bagi ASN dimaksudkan untuk menjaga kepatutan, keteraturan dan kelancaran tugas pokok dan fungsi ASN dalam melakukan pelayanan publik. Jadi tidak ada kaitannya dengan pelarangan hak ekspresi seseorang untuk memakai niqob.

Sedangkan, Direktur Pusat Studi Al-Qur’an (PPSQ) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag., mengatakan ketika berbicara niqob, kata niqob itu tidak disebut di dalam Aquran berbeda dengan jilbab atau khimar. “Dalam Alquran, kita manusia disebut sebagai mahkluk sosial, tentunya di dalam interaksi memerlukan kejelasan. Dengan menutup muka akan menjadi tidak jelas, ini siapa yang diajak ngomong,” katanya.

KIJ dan PSW UIN Suka
Kalijaga Institute for Justice (KIJ) dan Pusat Pengarusutamaan Gender dan Hak Anak UIN Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta melakukan kajian tentang penggunaan niqob yang berkembang di Indonesia dan menyampaikan hasil kajiannya dalam seminar yang dihadiri mahasiswa UIN Suka dan umum. (Foto: duniadosen.com/ta)

Prof. Mustaqim pun menjelaskan makna berpakaian dalam Alquran, yaitu proteksi secara lahir dan batin, lalu dekorasi untuk faktor keindahan, dan untuk identitas diri agar dikenal. Untuk itu, menurutnya, wajah itu idealnya dibuka agar lebih memudahkan pengenalan simbol tentang eksistensi seseorang. ”Eksistensi diri ini, wajah sebagai simbolisasi. Orang itu mengenal melalui wajah,” ucapnya.

”Tidak ada dalil yang solid dan tegas yang mewajibkan memakai niqob. Kalau ada ulama yang mewajibkan itu hanya karena interpretasinya,” imbuhnya.

Namun, salah satu anggota dari KIJ dan PSW UIN Suka ini juga menolak jika ada perempuan yang bercadar identitas dengan terorisme atau radikalisme. ”Di Libya, menggunakan cadar karena suaminya cemburu istrinya dilihat laki-laki lain. Penggunaan cadar seringkali hanya mengikuti tren hijrah seperti artis. Kenapa bisa tersebar luas di Timur Tengah karena tidak bisa membedakan mana yang subtansi Islam dan mana yang tradisi,” paparnya.

Sebagai moderator acara, Alimatul Qibtiyah, S.Ag. M.Si. MA. Ph.D menambahkan hasil penelitian bersama timnya yang dilakukan di Mesir juga di Indonesia dan di presentasikan di Prancis bahwa hasil penelitiannya menguatkan argumentasi yang disampaikan Prof. Mustaqim dan Dr. Fatih tentang niqob yang berjudul Negotiating Identity yaitu tentang bagaimana menegosiasikan identitas pada niqobis di Mesir dan Indonesia.

Tim peneliti melakukan Negotiating Identity karena sebagai sesuatu yang cair dan tidak kaku. Selain itu yang melatar belakanginya adalah akhir-akhir ini ada pihak yang menghubungkan niqob dengan isu-isu global, terutama terkait ekstrimisme dan terorisme. Sehingga perlu diadakan kajian tersebut.

Ada hal menarik dari proses penelitiannya, bahwa ada beberapa negara yang sudah melarang PNS menggunakan niqob yaitu di Aljazair. Kemudian rencana di Mesir juga akan ada pelarangan hingga ranah Parlemen. Karena sebenarnya negara-negara yang lain juga sudah mulai melakukan pelarangan terhadap pemakai cadar atau niqob untuk public services.

Kemudian, penelitian dengan menggunakan Islamisme dari Basam Tibi tentang 6 indikator bahwa Islamisme diawali dari konservatifisme, anti demokrasi, anti sistem, anti agama lain, anti barat dan juga menggunakan kekerasan untuk pembelaan agama.

Hal itu lantas menimbulkan pertanyaan, ada 6 pertanyaan yang menjadi kunci terkait apa motivasinya, bagaimana perilaku islamismenya lalu bagaimana pendapat para niqobis itu terkait isu kepemimpinan dan poligami kemudian pakaian yang ideal menurut mereka itu seperti apa, bagaimana level kebahagiannya seperti apa, bagaimana keluarga, tetangga, kolega itu mensupport mereka.

Penelitian tersebut memggunakan mix metod, yang terdiri dari survey, evidi lalu juga ada live story. Ada sekitar 292 responden yang dikumpulkan peneliti, 87 dari Kairo Mesir, dan 205 itu dari Indonesia yaitu dari Yogyakarta, NTB, Lampung, dan Surabaya. Responden tersebut merupakan kategori orang profesional sehingga peneliti bukan datang ke Pondok, tapi menemui orang professional yang berprofesi sebagai pelajar, mahasiswa, dan pegawai.

“Selain itu untuk konfirmasi kita juga menginterview para tokoh agama, untuk mengkonfirmasi bagaimana sih pendapat-pendapat itu, yang kita pakai untuk tambahan analisis.

Ini pertama, motivasinya, mayoritas para niqobis itu berumur dari usia 18-30 tahun banyak yang mahasiswa. kemudian yang dari Mesir 43% mereka mulai memakai niqob itu mulai umur 10-15 tahun. Dan 43% orang Indonesia majoriti itu 16-21 tahun. Nah yang menarik adalah jadi lebih awal orang Mesir ketimbang orang Indonesia waktu untuk pakai niqobnya,” bebernya.

Cara negosiasi kedua, ketika para niqobis mendapat pertanyaan dari kelurga atau teman dekat, mereka menjelaskan ini tidak masalah peneliti pun bertemu dan menginterview niqobis. Niqobis yang menegosiasi ayahnya yang seorang tentara, bahwa tidak mengapa berniqob ketika pergi di bank.

Ketiga adalah menunjukkan dengan perilaku yang semakin baik, akhlakul karimah adalah cara terbaik untuk negosiasinya. Niqobis Mesir lebih percaya diri ketimbang niqobis Indonesia, ini berhubungan dengan motivasinya. Jadi kalau di Mesir ini sebagai Obey Islamic Teaching pemahaman ini sebagai ajaran agama, maka ya mereka sangat percaya diri dimanapun berada.

“Tapi karena Indonesia motivasinya bermacam-macam dan bahkan kalau diminta suaminya buka insyaAlloh 75% mau buka, itu juga kemudian dia juga mempengaruhi kepercayaan dirinya di publik. Sehingga niqobis orang Indonesia itu kurang percaya diri sebenarnya ketika di publik itu,” menurutnya.

Alim melanjutkan, kalau kita melihat sejarah sekitar 12 perempuan teroris yang ditangkap di Indonesia semuanya pakai niqob. Nah itu yang kemudian sulit untuk menjauhkan tentang kasus niqobis ini dengan teoris. Walaupun sebenarnya dalam penelitiannya banyak mereka yang tidak setuju dengan isu itu.

KIJ dan PSW UIN Suka
Alimatul Qibtiyah, S.Ag. M.Si. MA. Ph.D sebagai moderator yang berprofesi sebagai dosen juga peneliti sekaligus Pengurus ASWGI (Asosiasi Women and Gender Studies Indonesia). (Foto: duniadosen.com/ta)

Sehingga ini menjadi pertanyaan terkait dengan apakah pembeda antara niqobis dengan hijaber itu adalah ekstrimis ideology. Ini juga yang mendorong Alim untuk lebih jauh untuk meneliti. Lalu apakah para teroris human itu apakah pakai niqob? Hal itu juga banyak yang tidak setuju. Artinya mereka sendiri tidak mau dan tidak nyaman diasosiasikan dengan gerakan teroris itu.

“Sampai ada kasus ini di NTB, di lampu merah ada yang bilang teroris-teroris kepada niqobis. Terus niqobis berdiri dan bilang, ‘hey mas kamu mati gak sekarang ini? kalau saya teroris kamu sudah mati sekarang ini. Jadi dia fight back dia melawan balik ketika dituduh sebagai seorang teroris. Dan masih banyak tantangan yang dialami para niqobis. Demikian itu temuan penting dalam penelitian kami terkait bagaimana kehidupan para niqobis di Mesir dan di Indonesia,” imbuhnya.  (duniadosen.com/ta)