fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Rifandy Ritonga, Menjadi Dosen adalah Cita-Cita dan Pengabdian

Menjadi Dosen
Rifandy Ritonga, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum, Bidang Hukum Tata Negara, Universitas Bandar Lampung. (dok. Rifandy Ritonga)

Rifandy Ritonga, S.H., M.H., adalah seorang Dosen Fakultas Hukum di Universitas Bandar Lampung (UBL). Sebelum menjadi dosen berprestasi seperti sekarang ini, banyak lika liku perjalanan yang dihadapi untuk meraih cita-citanya sebagai seorang dosen di bidang Hukum. Berikut Rifandy berbagi kisahnya dengan duniadosen.com.

Menjadi dosen adalah cita-cita Rifandy sejak dulu sebelum ia menjadi Jurnalis maupun seorang Humas dan Marketing. Meski sempat melakoni beberapa profesi yang sedikit jauh dari dunia pendidikan, tak menyurutkan niat Rifandy untuk mewujudkan cita-citanya sebagai seorang pengajar yaitu menjadi dosen.

“Tujuan awal saya adalah menjadi seorang pengajar seperti kedua orang tua saya sebagai seorang guru Sekolah Dasar. Meski sebelumnya saya pernah menjadi jurnalis dan bekerja sebagai Humas di kampus saya saat ini,” ungkap mantan jurnalis Jawapos Grup, Lampung tersebut.

Berdasarkan SK Yayasan Administrasi Lampung (Badan Hukum Universitas Bandar Lampung) Rifandy tercatat sebagai dosen pada tahun 2014, dengan status dosen tetap yayasan, ber-NIDN. Rifandy yang merupakan lulusan S1 dan S2 Fakultas Hukum UBL ini, kini mantap menjadi dosen di Fakultas Hukum dalam bidang Hukum Tata Negara.

Dalam perjalanannya menjadi dosen, pria kelahiran Kotabumi, 22 Februari 1990 ini mengaku tidak terlalu banyak kendala ia temui. Hanya saja yang ia rasa sulit adalah konsistensi pada apa yang telah ia pilih, yaitu dalam hal menyeimbangkan berjalannya Tridharma Perguruan Tinggi (Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat) yang merupakan tugas wajib seorang dosen, dan semuanya harus dijalankan seimbang.

“Sebenarnya menjadi dosen tidak banyak kendala, hanya saya tugas yang diemban dosen semuanya harus berimbang tidak boleh peran satu lebih dominan terhadap tugas yang lain,” ujarnya.

Dorongan Kakek untuk Tekuni Bidang Hukum                              

Rifandy merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Alm. Sahala Ritonga dan Ermiya Elyzabeth. Kedua orang tua Rifandy bekerja sebagai seorang pendidik di Sekolah Dasar di salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung. Ketika hendak memasuki jenjang perguruan tinggi, Rifandy pun meminta pendapat Opungnya (kakek) sebaiknya memilih jurusan apa untuk ia tempuh.

“Dorongan Opung saya untuk masuk ke Fakultas Hukum, dan memang sedari SMP saya suka berorganisasi dan suka berdebat, berargumentasi, dan mungkin naluri secara adat, orang batak kuliah pasti ambil Fakultas Hukum,” tutur Rifandy yang juga menempuh Pendidikan Khusus Advokat di Lembaga PERADI pada 2014.

Menjadi Dosen
Rifandy Ritonga, S.H., M.H., kerap menjadi narasumber atau pembicara pada sejumlah seminar. (dok. Rifandy Ritonga)

Rifandy mengaku, menyukai bidang hukum dimulai sejak duduk di bangku SMP. Rifandy yang bersekolah di SMPN 6 Kotabumi Utara, Lampung Utara tersebut terbilang aktif dari kegiatan organisasi. Ia terbiasa mendidik adik-adik kelasnya dalam sebuah organisasi PMR, Pramuka dan Paskibra. Beranjak dewasa ketertarikannya pada bidang karena kerapnya Rifandy menonton tayangan terlevisi.

Cara Didik Orangtua

Sejak kecil, Rifandy dididik kedua orang tuanya untuk tidak mudah mendapatkan sesuatu barang yang diinginkan. Rifandy dan adik-adiknya tidak mudah meminta barang atau mainan dan langsung tersedia. Semua hal yang diinginkan harus berdasarkan usaha dan hasil kerja keras, semua tidak didapat secara instan.

Sejak kecil, Rifandy terdidik dan terbiasa menyelesaikan persoalan sendiri, kesulitan, atau tantangan harus ia selesaikan sendiri. Jika jalan terputus atau menemukan kebuntuan dari masalah yang dihadapi, baru ia mengadu atau berkonsultasi ke orang tua. Karakteristik kepribadian tersebut yang membuatnya kini tersadar betapa pentingnya pola didik seperti yang orang tuanya terapkan.

Hal tersebut pula yang membuat Rifandy rela melakoni pekerjaan apa saja, sebelum akhirnya ia sampai pada cita-citanya menjadi dosen. Bahwa segala keinginan tidak semuanya diperoleh dengan mudah. Ia pun menikmati semua prosesnya yang tentu saja memberikan nilai di kehidupannya.

Tak terkecuali nilai yang ditanamkan oleh kedua orangtuanya yang ia jadikan bekal dalam menapaki kehidupannya yang terutama dan utama adalah nilai ketuhanan yang harus senantiasa ia pahami sebagai seorang yang beragama. Karena menurutnya, itulah dasar dari semua nilai.

Suka Duka dan Tantangan Menjadi Dosen

Rifandy mengatakan, adapun suka dan duka menjadi dosen adalah dalam menjalankan Tridharma Perguruan Tinggi. Namun semua itu menjadi suka, Rifandy menjalaninya dengan senang hati dan tanpa beban. Dan, yang menjadi tantangan dosen saat ini adalah produktifitas dalam menghasilkan tulisan. Diakui Rifandy, menulis menjadi momok bagi dosen.

Saat ini Rifandy tengah menempuh pendidikan jenjang S3 Hukum di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, sehingga tak banyak proyek yang ia kerjakan khususnya hibah penelitian dan pengabdian masyarakat. Di sela-sela waktu belajarnya, ia pun fokus dalam membantu rekan-rekannya yang akan melakukan publikasi internasional.

Dosen hukum yang hobi membaca dan jalan-jalan ini pun cukup produktif dalam menghasilkan karya di dunia literasi. Terbukti sudah 3 buku yang ia tulis dan terbitkan. Diantaranya, Pengantar Hukum Indonesia (Aura publishing); Hukum Tata Negara (Aura Publishing) ; Penanganan Konflik Sosial di Provinsi Lampung (Aura Publishing).

(dok. Rifandy Ritonga)

“Selain sekolah, saat ini saya sibuk sebagai konsultan publikasi ilmiah, pusat riset Nusantara Institut di Lampung, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara – HAN (APHTN-HAN) Provinsi Lampung, KONI Provinsi Lampung bidang Pembinaan Hukum Keolahragaan, dan Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-Undangan,” bebernya.

Tak hanya itu, Rifandy pun turut berperan melahirkan regulasi yang menjadi inovasi berdasarkan naskah akademik dan Raperda di daerahnya. Hal tersebut merupakan pencapaian yang membanggakan bagi seorang dosen.

Rifandy ingin, profesinya sebagai dosen tak hanya sekadar menjadi dosen. Ia ingin menjadi ahli di bidangnya hingga mencapai karir tertinggi sebagai Guru Besar. Harapannya yang besar tersebut tak lepas tentunya dari dukungan dan motivasi dari keluarga, istri tercinta Magdalena Pane, SH. dan putrinya Mikha Olivia Ritonga.

“Cita seorang dosen yang hakiki dan yang tertinggi adalah menjadi seorang Guru Besar (Profesor) dalam bidang yang saya geluti yaitu bidang Hukum Tata Negara, spesifikasi perundang-undangan,” jelasnya.

Adapun hal yang menjadi prestasi tertinggi baginya adalah ketika karyanya dipakai dalam rekayasa sosial. Hal tersebut dinilai Rifandy sebagai pretasi karena hasil buah pemikiran akademisnya bermanfaat untuk masyarakat, sehingga menjadi kebanggaan tersendiri bagi seorang dosen.

Meski demikian, menurutnya menjadi dosen bukan untuk mendapatkan penghargaan. Sejuta penghargaan tidak akan cukup, jika apa yang diajarkan tidak sesuai dengan apa yang dosen itu miliki. Kembali, hidup bukan untuk penghargaan, karena bagi Rifandy penghargaan hanya bonus yang utama adalah kemanfaatan bagi banyak orang dari apa yang dimiliki.

Teknik Mengajar

Teknik Rifandy dalam mengajar pada dasarnya sama seperti dosen-dosen lainnya. Hanya saja, Rifandy dalam mengajar berusaha membawa mahasiswanya untuk lebih menyentuh kepada permasalahan yang ada pada saat ini. Misalnya, mulai dari kasus per kasus yang tengah hanta diperbincangkan publik. Selain itu, Rifandy juga menerapkan tentang bagaimana pendekatan dokmatiknya “Das sollen dan Das sein nya”.

“Seorang dosen itu dituntut untuk pandai berinovasi, jika kita ditanya salah dan benar tentang sistem pengajaran yang ditetapkan namun dosen enggan untuk menerapkan ya percuma. Menurut saya, pola ajarnya adalah yang sesuai dengan pengetahuan yang terus berkembang, apalagi dalam bidang hukum, yang dinamis dan kompleks tentu seorang dosen hukum harus juga dengan cepat merespon hal-hal baru,” terangnya.

Sebagai dosen, Rifandy juga berupaya melakukan pendekatan terhadap masing-masing mahasiswa sesuai tingkatannya. Baik pola disiplin dan penggunaan bahasa dalam menyampaikan materi. Pada umumnya mahasiswa baru lebih strict, ketimbang dengan mahasiswa tingkat atasnya.

5 tahun menjadi dosen, membuat Rifandy belajar akan perannya sebagai pengajar. Ia mempelajari apa yang diinginkan oleh mahasiswa milenial saat ini. Dosen pun dituntut untuk terus melakukan inovasi. Misalnya, belajar tidak harus selalu di dalam kelas, sesekali keluar kelas berhadapan langsung kepada permasalahan yang terjadi di lapangan.

“Ikuti, hadapi, jalani. Karena kemajuan teknologi beriringan dengan kemajuan pola pikir yang tidak dapat kita bending,” ungkap Rifandy tentang strateginya sebagai dosen menghadapi era digital.

Rifandy tak enggan merubah cara mengajarnya dan menyesuaikan perkembangan teknologi saat ini. Terutama tentang informasi yang semakin tak terbatas semakin cepat jangan sampai sebuah lembaga perguruan tinggi kalah berlari tentang hal informasi khususnya keilmuan dalam bidang yang digeluti.

(dok. Rifandy Ritonga)

“Dikampus kami pengembangan teknologi dalam kegiatan belajar mengajar tengah dikembangkan berbasis TIK,” katanya.

Moto dalam hidupnya adalah “Ora Et Labora” yaitu berdoa dan berusaha. Memaknai kata sukses, menurut Rifandy adalah bermanfaat bagi orang lain. Dan menjadi dosen yang baik adalah melaksanakan tridharma dengan baik dan menjaga adab.

Di sela kesibukan mengajar dan menyelesaikan kuliah S3 nya, Rifandy tetap menjalankan tugasnya sebagai ayah satu putri. Ia pun meluangkan setiap akhir pekan adalah waktu khusus untuk keluarga dan beribadah.

Ia berharap, UBL kelak menjadi world class university, begitu juga dengan prodi dan fakultas yang ia ampu. Salah satu untuk mewujudkannya adalah memperbaiki dan memperbanyak publikasi internasional yang dihasilkan oleh dosen dan mahasiswanya. (duniadosen.com/ta)