Yogyakarta – Ilmu dan praktik akuntansi saat ini terus mengalami perkembangan di berbagai cabang keilmuannya. Tak hanya pada cabang ilmu akuntansi yang umumnya menjadi pokok mata kuliah di perguruan tinggi seperti akuntansi keuangan, akuntansi manajemen, akuntansi biaya dan pengauditan. Namun cabang ilmu akuntansi juga semakin berkembang dalam bidang-bidang khusus sebagai akibat dari perkembangan dunia bisnis serta pengaruh sosial, politik, dan berbagai faktor lainnya. Salah satunya munculnya ilmu akuntansi forensik.
Banyaknya praktik kriminal dalam dunia bisnis dan pemerintahan seperti tindak korupsi, penyuapan, gratifikasi, pungutan liar, dan maraknya isu-isu sosial lainnya yang berhubungan dengan praktik kecurangan (fraud) telah mendorong munculnya ilmu akuntansi forensik. Sebagai kebutuhan penting untuk memerangi praktik kecurangan di dunia bisnis mau pun pemerintahan, diperlukan adanya upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus tersebut dengan tindakan nyata melalui pengetahuan yang cakap di bidang tersebut.
Akuntansi forensik merupakan perpaduan keahlian dalam bidang pemeriksaan (audit) dan akuntansi yang didukung adanya kemampuan investigatif dalam permasalahan keuangan yang memicu timbulnya kecurangan (fraud). Ilmu akuntansi forensik telah berkembang lama di berbagai negara dan sejatinya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari profesi dan peran seorang akuntan.
Penggunaan istilah akuntansi forensik sendiri mulai populer pada tahun 1946. Sementara di Indonesia, cabang ilmu ini berkembang cukup pesat dalam satu dekade terakhir dan menjadi salah satu cabang ilmu yang banyak diminati dan diterapkan di dalam kurikulum untuk dipelajari di tingkat perguruan tinggi.
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII) memiliki beberapa dosen ahli dalam bidang akuntansi forensik, salah satunya Hendi Yogi Prabowo, SE, M.ForAccy, Ph.D. Selain mengajar sebagai salah satu dosen tetap di Prodi Akuntansi, ia kini juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Akuntansi Forensik (PSAF) di Fakultas Ekonomi UII. Ketertarikannya mempelajari bidang ilmu ini dikarenakan akuntansi merupakan sebuah profesi yang paling rentan terhadap fraud (kecurangan).
”Dalam praktik berbagai organisasi, saat ini akuntansi menduduki peringkat paling tinggi yang rentan dengan fraud,” tutur Hendi Yogi Prabowo dilansir dari laman fecon.uii.ac.id.
Pola pikir yang cenderung mentolerir dan menganggap hal yang buruk sebagai kebiasaan mengakibatkan banyaknya tindak kecurangan di berbagai organisasi swasta mau pun institusi pemerintahan. Salah satu kasus kecurangan yang paling sering ditemukan dan akhir-akhir ini marak dibahas adalah kasus pungutan liar (pungli).
Praktik kecurangan seperti ini tidak cukup diberantas hanya dengan pelarangan dalam bentuk peraturan dan tindakan hukuman tegas dari aparat, namun perlu penekanan dan upaya yang lebih serius untuk merubah pola pikir.
”Salah satu faktor struktural penting yang mendasari banyaknya tindak kecurangan yang sudah dianggap sebagai hal yang lumrah adalah kultur organisasi. Kultur organisasi membentuk pola pikir yang terus diwariskan turun-menurun dalam organisasi. Bahkan, kecurangan sudah dianggap menjadi hal biasa dari generasi ke generasi,” ungkapnya.
Pola hidup yang tidak fungsional mengakibatkan tingginya tingkat konsumerisme yang melatarbelakangi tindak kecurangan korupsi. Perlu dibangun sistem pengawasan yang kuat, peraturan yang diperbaiki, dan pengembangan sistematis pada aspek kualitas sumber daya manusia. Pelaksanaan seminar penanggulangan pungli dinilai tidak cukup dan tidak berdampak efektif. Karena orang dewasa telah memiliki pola pikir yang sudah terbentuk.
Upaya penanggulangan lebih pada perubahan terstruktur dan sistematis, dimulai dari proses rekrutmen dimana harus dipilih orang-orang dengan integritas tinggi. Sehingga dapat menjadi teladan dalam perubahan kultur dan pola pikir. ”Karena mencontohkan lebih baik daripada sekadar memberi ceramah,” kata Hendi.
Ia juga menekankan pentingnya mahasiswa mempelajari akuntansi forensik. Karena melalui ilmu ini diharapkan dapat membantu membangun kesadaran dan membekali mahasiswa dengan pemahaman untuk membedakan sedari awal, mana hal yang benar dan mana yang salah melalui pembentukan pola pikir. Masyarakat Indonesia cenderung kolektivis, atau ingin menjadi seperti orang di lingkungan sekitarnya, dan kebiasaan untuk melakukan gotong royong baik dalam hal yang benar maupun salah.
”Perlu ada upaya bersama dan berkelanjutan dari seluruh kalangan untuk dapat memerangi mental korup dan curang,” ungkap Hendi.
Redaksi