fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Bambang Supriyadi: Akademi Asing Berpotensi Alami Kendala Budaya Kerja di Institusi Pendidikan Lokal

akademisi asing
Pengamat pendidikan, Bambang Supriyadi dan juga pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V Yogyakarta ini kurang setuju rencana pemerintah jadikan akademi asing untuk jadi Rektor atau Dosen di perguruan tinggi di Indonesia. (dok. Facebook)

Yogyakarta – Pengamat pendidikan, Bambang Supriyadi, mengaku kurang setuju dengan ide mengundang akademisi asing menjadi rektor dan dosen di Indonesia. Dia menilai akademisi asing akan mengalami kendala budaya ketika bekerja di sebuah institusi pendidikan lokal.

Bambang perpendapat, di negara asalnya, akademisi asing tersebut memiliki staf yang mampu bekerja sesuai harapannya. Di Indonesia, kata Bambang, banyak hal perlu ditingkatkan terlebih dahulu agar kinerja kedua pihak selaras.

“Me-manage perguruan tinggi itu harus membangun kerja sama dengan anak buahnya. Kalau dia, walau pun punya kemampuan hebat di luar negeri, tetapi kalau karakter dan budaya kerja kita belum bisa seperti itu, mereka juga akan kesulitan,” kata Bambang seperti dikutip dari laman voaindonesia.com.

Ada banyak variasi internal di lingkungan perguruan tinggi yang berpotensi membebani rektor asing ketika bekerja. Faktor budaya kerja yang berbeda. Misalnya, kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab, yang masih harus dibentuk di perguruan tinggi, bisa membuat birokrasi bersikap resisten.

Bambang memberi contoh, akibat perbedaan dukungan dalam pemilihan rektor saja, akademisi dan staf di perguruan tinggi bisa terpecah. Kondisi itu tentu tidak akan mudah dihadapi oleh akademisi asing.

akademisi asing
Bambang Supriyadi saat menjadi pembicara di STIPRAM Yogyakarta beberapa waktu lalu. (dok. Facebook)

Bambang, yang pernah menjabat sebagai Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V Yogyakarta itu, lebih menyarankan pemberian pelatihan kepada rektor dalam negeri. Mereka yang telah terpilih di kampus masing-masing, diberi pengetahuan tambahan mengenai manajemen perguruan tinggi. Ini penting karena tidak semua rektor di Indonesia terpilih karena kapasitasnya. Ada juga yang naik karena sekedar faktor dukung-mendukung di kalangan pemilihnya.

“Rektor dari Indonesia yang paham karakter kita seharusnya bisa, tidak harus dari asing. Menurut saya, kalau memang dirasa kurang, bisa dibuat kegiatan semacam training, supaya para rektor bisa paham bagaimana mengimplementasikan, mengintegrasikan, dan mengajak semua pihak bisa bekerja bersama-sama mengelola perguruan tinggi,” tambah Bambang.

Cara lain, kata Bambang yang bekerja di Korps Asisten Teknik Sipil (KATS), adalah membuka kesempatan akademisi berkualitas dari kampus-kampus tertentu, untuk menjadi rektor di perguruan tinggi yang belum bagus kualitasnya. Misalnya, akademisi UGM atau ITB yang kompeten, tidak hanya bersaing menjadi rektor di kampus sendiri, tetapi terbuka kesempatan memimpin perguruan tinggi lain.

Skema seperti itu sudah diterapkan di tingkat pendidikan menengah dan atas, di mana guru-guru secara periodik ditugaskan untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah yang masih di bawah standar.

Jika wacana itu harus dilaksanakan karena perintah presiden, Bambang mengaku bisa memaklumi. Upaya itu juga bisa menjadi uji coba, apakah konsep tersebut akan membuahkan hasil atau tidak. Namun, tidak boleh ada keyakinan bahwa secara umum perguruan tinggi di Indonesia membutuhkan akademisi asing. Menurut Bambang, Indonesia masih memiliki cukup banyak potensi.

“Banyak orang Indonesia yang punya kemampuan yang tidak kalah dengan orang luar. Yakini saja, bahwa orang seperti itu banyak. Sebagai contoh, ada banyak akademisi di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang saya tahu cukup bagus kualitasnya,” ujar lulusan 1981 S1 Teknik Sipil UGM ini.

(Sumber: voaindonesia.com)