Pelaksanaan pendidikan yang biasa dilakukan secara tatap muka, tiba-tiba saja harus diakomodasi melalui dunia maya. Hal ini terjadi lantaran adanya protokol tetap penanganan Covid-19 yang mewabah di penjuru dunia. Indonesia terimbas. Pelaksanaan pendidikan melalui wadah dalam jaringan (daring), mau tidak mau, harus dilakukan. Sebagian lembaga mungkin tidak asing dengan pelaksanaan ini, namun, bagi beberapa lembaga yang masih asing dengan metode pembelajaran jarak jauh maupun daring ini jelas mengalami “kebingungan”.
Pembelajaran yang dilakukan secara daring ini, menimbulkan pertanyaan besar, “Bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembelajaran secara daring ini dilakukan? Apakah cukup dengan memberikan tugas? Atau perlu ada pendampingan hingga siswa memahami materi yang disampaikan?” Masalahnya adalah, paradigma pembelajaran daring yang dilakukan bisa jadi tidak sama antarpengajar di Indonesia.
Dalam pelaksanaan di lapangan, jika diklasifikasikan, terdapat tiga kecenderungan pola pengajaran jarak jauh yang terjadi belum lama ini. Pertama, pembelajaran yang dilakukan melalui bantuan aplikasi pengirim pesan obrolan. Pembelajaran biasanya diakomodasi melalui teks (textual based learning) yang dikirimkan ke aplikasi obrolan. Pengajar menyampaikan materi melalui perangkat yang disepakati, misalnya aplikasi WhatsApp, Telegram, dan sebagainya. Masalah yang muncul adalah, teks tidak dapat mengakomodasi mimik, gestur, dan intonasi.
Maka tak heran, jika kadang terjadi kesalahan penafsiran dalam penerimaan informasi. Selain itu, manajemen waktu pelaksanaan pembelajaran pun menjadi tak terlihat. Karena teks ini bisa disampaikan dan dibaca kapan saja, maka respons yang muncul juga seolah tak terkendali waktunya. Baik pengajar maupun siswa, seolah berada pada kondisi belajar sepanjang waktu.
Kedua, terdapat pembelajaran yang dilakukan melalui bantuan aplikasi pertemuan virtual. Melalui aplikasi ini, pembelajaran bisa disampaikan secara luwes, seolah pengajar tengah menghadapi siswanya. Proses pembelajaran tatap muka seolah terjadi. Semua materi disampaikan dalam bentuk video (video based learning). Banyak platform yang kini bermunculan untuk mengakomodasi kebutuhan ini. Mulai dari Zoom.us, Jit.si, YouTube Live, dan sebagainya. Pembelajaran terasa begitu interaktif.
Guru menjelaskan, dan siswa dapat bertanya melalui fitur chat. Namun sayangnya, selain waktu yang terbatas, penggunaan video dalam aktivitas pembelajaran ini juga memakan kuota internet yang tidak sedikit. Memang, dalam praktiknya, manajemen waktu bisa terjadi. Semisal, pelajaran A dapat kita lakukan selama 1,5 jam dan dapat kita tutup saat sudah mencapai durasi itu. Namun akses yang diperlukan untuk mendapatkan pembelajaran itu, jelas perlu dipertimbangkan.
Jika satu pelajaran saja sudah menghabiskan kuota internet 300-an megabyte, dalam sehari terdapat tiga pelajaran, maka siswa paling tidak memerlukan 1 gigabyte sehari untuk bisa mengikuti pembelajaran secara penuh. Mereka mungkin tidak “menjerit” habis di ongkos, tapi mereka “menjerit” di penggunaan kuota yang melejit. Belum lagi jika kita bicara masalah kualitas internet di satu daerah dengan daerah lain yang masih belum merata. Bisa jadi, aksesibilitas pembelajaran tersebut “terganggu”.
Ketiga, beberapa pengajar mungkin sudah mampu mengaplikasikan penggunaan learning management system. Entah yang berupa Google Class Room atau Moodle. Setiap materi tinggal kita masukkan dan sampaikan melalui platform ini. Bisa berupa materi bacaan, presentasi, atau link video yang bisa diputar kapan saja. Siswa dapat mengaksesnya kapan saja tanpa mengganggu waktu istirahat pengajar. Independensi belajar sangat terlihat di sini.
Namun sayangnya, akibat kemudahan ini, beberapa pengajar hanya mengunggah materi mereka begitu saja. Mereka merasa materi yang disampaikan dapat dipahami secara merata oleh siswa-siswanya. Padahal, pemahaman tiap siswa jelas berbeda. Ada beberapa siswa yang perlu pendampingan dalam memahami materi yang disampaikan. Di sini, interaksi antara pengajar dan siswanya seolah tak terjadi.
Berdasarkan fenomena tersebut, kita semestinya menyadari bahwa kegiatan pembelajaran via daring tak ubahnya pembelajaran tatap muka yang biasa kita lakukan. Bukan tentang di mana proses belajar terjadi, namun tentang bagaimana proses belajar semestinya terjadi. Ruang belajar yang semula terjadi secara nyata, kini kita pindahkan ke ruang virtual hingga terbentuklah ruang belajar virtual.
Dalam pembelajaran, interaksi menjadi hal penting. Melalui interaksi ini, kita dapat memastikan siswa kita sudah memahami materi kita atau masih perlu penjelasan tambahan. Untuk itu, pastikan interaksi dapat berjalan dengan baik. Aktifkan pesan obrolan yang memungkinkan untuk diakses saat pembelajaran berlangsung. Tanya jawab yang bersifat krusial dapat dilakukan saat jadwal materi disampaikan.
Namun, tanya jawab yang bersifat memastikan dapat dilakukan kapan saja dengan memperhatikan prinsip kesopanan. Sebagai pengajar, kita tentu memiliki privasi waktu dan menjaga profesionalitas kita. Untuk itu, perlu diberi pemahaman kepada siswa kita terkait kapan waktu yang bisa kita sediakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebuah tempat belajar yang baik, biasanya adalah tempat belajar yang dapat dijangkau dengan mudah. Kita memahami bahwa beberapa siswa kita mencapai ruang belajar dengan berjalan kaki, naik sepeda, menggunakan sepeda motor, atau kendaraan lainnya. Jelas ini tergantung dari mana mereka berasal.
Ada yang jaraknya dekat, ada yang jauh. Ada yang berasal dari desa, ataupun kota. Sama halnya dengan siswa kita yang mengakses ruang belajar virtual. Kecepatan dan koneksi tiap provider yang digunakan oleh siswa kita, jelas berbeda.
Kita mungkin bisa merekomendasikan provider yang terbaik, seperti halnya kita bisa berkata, “Pakai motor saja agar bisa cepat sampai.” Atau, “Naik mobil saja biar tidak kehujanan.” Namun tetap, ada beberapa pertimbangan yang siswa kita gunakan dalam memilih provider tersebut. Kita tidak bisa memaksa mereka.
Selain itu, penyebaran jaringan koneksi juga tidak merata. Meski mereka menggunakan provider yang sama, bisa jadi, koneksi yang mereka dapatkan akan berbeda. Hal ini terjadi karena kualitas jaringan provider tersebut berbeda di tiap titik lokasinya. Untuk itu, layaknya sistem zonasi yang mengukur jarak tiap siswa ke ruang belajar agar akses belajar menjadi mudah, seyogianya pengajar juga dapat memetakan bagaimana karakteristik siswa kita dalam memilih provider selulernya.
Penggunaan teks dalam ruang belajar virtual mampu menekan penggunaan kuota siswa kita, namun bukan berarti menggunakan video menjadi “haram” hukumnya. Kita bisa menyematkan video, hanya saja, perlu pemakluman untuk mengakses video tersebut dengan memberikan jangka waktu akses yang lebih lama. Pastikan bahwa materi-materi yang ada di ruang belajar virtual kita dapat diakses dengan mudah oleh seluruh siswa kita.
Belajar di dalam ruang kelas merupakan situasi formal. Ada aturan-aturan terkait pelaksanaan pembelajaran di dalamnya. Mungkin kita tidak menyadarinya, namun selalu ada komponen pembuka-inti-penutup dalam pelaksanaannya. Begitu pula pelaksanaan pembelajaran dalam sebuah ruang belajar virtual. Sudahkah kita memperhatikan komponen pembuka-inti-penutup? Komponen pembuka biasa kita lakukan untuk presensi, pengantar, atau pretest.
Komponen inti adalah penyampaian materi inti pembelajaran yang bisa kita sampaikan melalui teks, ceramah, diskusi, dan semacamnya. Komponen penutup dalam pembelajaran biasa kita lakukan untuk memastikan peserta didik memahami apa yang telah kita sampaikan. Bentuknya bisa berupa tanya jawab, tugas, atau posttest.
Dalam sebuah pembelajaran, paling tidak pembagian komponen ini bisa kita terapkan. Sehingga, manajemen waktu pembelajaran menjadi jelas. Berapa lama waktu yang digunakan untuk pembuka, berapa lama waktu yang kita perlukan untuk menyampaikan materi inti, dan berapa lama waktu yang diperlukan untuk memberikan tugas (harian atau mingguan).
Pada akhirnya, belajar secara daring bukanlah tentang aplikasi apa yang kita gunakan untuk membelajarkan siswa-siswa kita. Tidak semestinya kita sibuk memperdebatkan platform yang satu lebih baik dari platform lainnya. Akan tetapi, seyogianya kita menyadari bahwa terpenting adalah menerapkan prinsip-prinsip pengajaran.
Mengajar adalah sebuah proses menjadikan seseorang yang tidak tahu menjadi tahu. Interaksi antara pengajar dan siswa menjadi kunci penyampaian informasi. Ruang penyampaian informasi ini haruslah layak dan mudah diakses agar pertemuan antara pengajar dan siswanya dapat terjadi dan melahirkan interaksi yang apik dan baik.
Selain itu, penyampaian interaksi ini juga perlu diatur sedemikian rupa agar siswa tak merasa dipaksa atau terpaksa “memakan” informasi dari para pengajarnya. Lalu, siapkah pengajar Indonesia mengimplementasikan pembelajaran di ruang belajar virtual?
Siapa takut?
Nicky Rosadi, S.S., M.Pd.
Dosen Tetap Program Studi Pendidikan Ekonomi
Universitas Indraprasta PGRI
Sejalan dengan diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024, maka diterbitkan pula pedoman pelaksanaan berisi standar…
Mau upload publikasi tapi Google Scholar tidak bisa dibuka? Kondisi ini bisa dialami oleh pemilik…
Beberapa dosen memiliki kendala artikel tidak terdeteksi Google Scholar. Artinya, publikasi ilmiah dalam bentuk artikel…
Mau lanjut studi pascasarjana dengan beasiswa tetapi berat karena harus meninggalkan keluarga? Tak perlu khawatir,…
Anda sudah menjadi dosen harus melanjutkan S3? Jika Anda menargetkan beasiswa fully funded dan masih…
Melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di luar negeri, semakin mudah dengan berbagai program beasiswa.…
View Comments