Opini

Dosen Komunikasi UMY Ini Soroti Fenomena Hoax

Fenomena hoax atau berita palsu, bohong/informasi bohong menjadi masalah memprihatinkan saat ini. Pemerintah berkali-kali mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap hoax yang bertebaran dan tak ikut menyebar berita yang belum tentu benar. Apalagi, dunia yang sudah digitalized turut memudahkan persebaran hoax yang seperti virus; menjalar begitu cepat.

Dr. Filosa Gita Sukmono, S.Ikom., M.A., dosen prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) adalah salah satu pakar komunikasi yang cukup concern dengan makin banyaknya hoax yang menjadi fenomena komunikasi dan kajian media yang digeluti oleh Filosa.

Sejak menempuh pendidikan sarjana studi komunikasi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Filosa mulai tertarik dengan bidang komunikasi. Baginya, ilmu komunikasi memiliki banyak hal yang bisa dikaji, beberapa diantaranya multikulturalisme dalam komunikasi dan kajian media.

Filosa Gita Sukmono ketika menjadi pembicara dalam peluncuran buku Media Literasi. (Foto: ISTIMEWA)

Meski tak ada anggota keluarga besarnya yang memiliki latar belakang bidang komunikasi, Filosa mengaku nyaman ketika berhubungan dengan bidang tersebut. Ilmu komunikasi, lanjut Filosa, memiliki banyak hal yang membuatnya selalu ingin tahu hal baru. Pada akhirnya, ia belajar banyak dari bidang komunikasi.

Sebagai pakar komunikasi yang merupakan doktor termuda di prodi Ilmu Komunikasi UMY, Filosa cukup geram dengan banyaknya berita hoax yang secara mudah diakses masyarakat. Filosa menyebut tingkat fenomena hoax di Indonesia sudah parah dan menyedihkan.

Menurut Filosa, salah satu sebab kenapa fenomena hoax bisa terus langgeng adalah karena masyarakat mulai kehilangan nalar kritis dalam melihat sebuah informasi. Banyak yang menganggap bahwa setiap informasi yang didapat adalah sebuah kebenaran yang patut dipercaya tanpa memilah apakah berita tersebut hoax atau bukan.

Tak ayal, hoax tak hanya menyasar media sosial mainstream yang bersifat umum, namun sudah menjalar ke media sosial personal seperti WhatsApp. Filosa juga menyebut hoax bisa terjadi lantaran masih adanya anggapan bahwa golongan sendiri harus dipercaya karena pasti benar.

Fanatisme berlebihan terhadap golongan tertentu adalah salah satu penyebab hoax. ”Mereka akan percaya berita yang didapatkan adalah kebenaran meskipun itu hoax jika berasal dari golongan mereka sendiri. Artinya fanatisme terhadap golongan atau kepentingan tertentu secara berlebihan adalah cikal bakal lahirnya ‘masyarakat hoax’,” tegas peraih doktor bidang Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tersebut.

Selain hilangnya nalar kritis dan fanatisme yang berlebihan terhadap golongan tertentu, Filosa berpendapat bahwa kurangnya media literasi dalam masyarakat turut memengaruhi adanya hoax. Padahal, media literasi sebenarnya sangat penting dan bisa dilakukan melalui berbagai kegiatan.

Bagi Filosa, fenomena hoax menciderai makna kebebasan berpendapat yang seharusnya dijunjung dengan baik. Adanya hoax adalah bukti bahwa kebebasan berpendapat sekadar dimaknai untuk dirinya sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain terhadap berita yang berkualitas.

”Hoax jelas mengganggu kenyamanan orang lain. Hoax justru merenggut kebebasan orang lain untuk mendapatkan informasi yang benar. Jika masyarakat kita sudah meresapi ini dengan baik maka mereka akan hati-hati dalam menyebarkan informasi-informasi yang mereka dapat,” ujar Filosa.

Hoax sangat mudah menyebar seperti virus. Pada akhirnya, hoax menjadi viral dan dipercaya banyak orang dan menimbulkan disinformasi yang menyesatkan. Namun, beberapa investigasi menyebut bahwa hoax nyatanya adalah hasil dari sebuah kesengajaan untuk kepentingan tertentu.

Menurut Filosa, nalar kritis masyarakat perlu dibangkitkan. Nalar kritis mustahil datang begitu saja jika tak dilatih. Maka, perlu adanya langkah komprehensif dalam rangka menciptakan nalar kritis kepada masyarakat agar penyebaran hoax dapat direduksi.

Langkah komprehensif tersebut tak hanya menyasar kaum terpelajar, namun juga menyasar masyarakat yang lebih luas karena penyebaran hoax nyatanya banyak dilakukan oleh anak muda dan anggota keluarga melalui media WhatsApp yang bersifat personal dan sulit disupervisi.

Filosa menyebut banyak cara untuk menumbuhkan nalar kritis masyarakat. Tak hanya melalui pendidikan formal, penyuluhan, atau kegiatan pelatihan, nalar kritis bisa juga diciptakan melalui media literasi berupa tulisan-tulisan yang ‘menyehatkan’.

”Penting untuk membangkitkan nalar kritis dan kepekaan masyarakat terhadap berbagai informasi yang kurang jelas sumber informasinya. Bagiaman caranya? ya dengan media literasi. Sekali lagi, media literasi bisa dilakukan dalam banyak hal, tidak hanya penyuluhan tetapi bisa dengan tulisan atau hal-hal lainnya yang membuat masyarakat menjadi sadar akan pentingnya informasi yang benar,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)

Redaksi

Recent Posts

Jenis Jurnal dalam Kewajiban Publikasi Dosen dan Angka Kreditnya

Dalam dunia akademik, dosen juga memiliki kewajiban melakukan publikasi ilmiah secara berkala. Salah satunya publikasi…

2 weeks ago

Daftar Jurnal Terindeks Copernicus April 2024 [Update]

Mengecek apa saja daftar jurnal terindeks Copernicus tentu sangatlah penting, khususnya bagi dosen yang ingin…

2 weeks ago

10 Tantangan Kuliah di Luar Negeri dan Tips Menghadapi

Sebagai dosen, banyak yang memiliki impian bisa studi lanjut sampai ke luar negeri karena bisa…

2 weeks ago

Definisi dan Prosedur Pengajuan Insentif Publikasi Artikel Jurnal

Ada banyak upaya dilakukan berbagai pihak untuk mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas publikasi ilmiah, terutama…

2 weeks ago

7 Program Beasiswa S3 Australia dan Cakupan Beasiswanya

Mencari informasi beasiswa S3 Australia tentu akan menjadi agenda bagi siapa saja yang tertarik studi…

2 weeks ago

Beasiswa Pendidikan Indonesia Kapan Dibuka? Ini Timelinenya

Program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) menjadi salah satu program beasiswa bergengsi dari pemerintah Indonesia melalui…

2 weeks ago