Kepala Program Studi (Prodi) S3 Hukum Islam Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Dr. Drs. Yusdani, M.Ag. pada mulanya tak pernah berpikir untuk berkarir di dunia akademik, apalagi sebagai dosen hukum yang fokus terhadap hukum syar’i. Cita-cita Yusdani kecil ingin sekali menjadi tentara saat dewasa. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh salah satu anggota keluarganya yang menjadi tentara. Keren katanya.
Usai menamatkan Sekolah Dasar (SD) pada 1974, Yusdani melanjutkan ke Pondok Pesantren (Ponpes) tradisional selama enam tahun. Dari sana, dia tahu bahwa dosen adalah pilihan karir terbaik baginya. Yusdani mengenyam pendidikan formal di ponpes tradisional, yaitu sebagai santri di Pondok Pesantren Raudhotul Ulum (PPRU).
”Setelah lulus SD, jadi santri melanjutkan ke tingkat MTs dan MA atau Madrasah Tsanawiyah setara SMP dan Madrasah Aliyah setara SMA di Kabupaten Ogan Komering Ilir OKI, Sumatera Selatan,” cerita Yusdani kepada tim duniadosen.com saat ditemui di tempat kerjanya beberapa waktu lalu.
Meski menjadi santri selama enam tahun, justru cara pandang dan wawasan Yusdani menjadi semakin terbuka. Ia meyakini dengan bekal dari pesantren yang kental pendidikan agama harus bisa lebih terbuka untuk mengembangkan diri. Karena sejak di Ponpes itulah Yusdani muda, mulai gemar membaca beragam buku, terutama tentang buku hukum syar’i. Menurutnya, menjadi santri tak hanya membaca kitab tetapi juga memperluas wawasan dengan membaca buku lainnya.
Setelah menamatkan pendidikan menengah atas di Ponpes, Yusdani memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Keputusannya itu tak lain juga karena dukungan para guru dan ustaz serta pertimbangan matangnya. Sebelumnya ia banyak berdiskusi dengan keluarga dan beberapa ustaz di Ponpes.
”Kebetulan, banyak ustaz saya adalah alumni kampus terbaik di Yogyakarta. Sehingga saya termotivasi,” ujar Yusdani.
Ingin Mengembangkan Diri, Merantau ke Yogyakarta
Dia melanjutkan, ustaz di ponpes memiliki andil kepergian Yusdani ke Yogyakarta. Para ustaz mencerikatakan pengalamannya menuntut ilmu di Yogyakarta. Di kota gudeg itulah merupakan tempat yang cocok untuk menggali keilmuan dan pengalaman. ”Saya dianjurkan melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta dengan alasan Yogyakarta adalah Kota Pelajar dan juga kota yang sangat multikultur,” terangnya.
Maka, pada 1981 ia berangkat ke Yogyakarta dengan niat matang. Sesampainya di kota Gudeg, Yusdani mengaku sedikit kaget. ”Pertama di Yogyakarta, ada culture shock. Tetapi, lama-lama saya bisa beradaptasi dan bisa bergaul dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia,” katanya mengenang.
Yusdani mengaku tidak terlalu sulit untuk beradaptasi, kondisi sebagai mahasiswa yang merantau jauh dari keluarga dan orang tua. Karena selama di ponpes, dia sudah digembleng akan kemandirian dan cara bertahan hidup. ”Selama di ponpes, mau tidak mau, suka tidak suka, kemandirian adalah hal utama. Hal tersebut cukup membantu saya beradaptasi,” kata pria kelahiran 11 November 1962 tersebut.
Pun, Yusdani menganggap hal tersebut sebagai awal pengembangan diri. Baginya, ketika sudah di Yogyakarta, maka dia harus memaksimalkan segala potensi yang ada. ”Adaptasi itu baik untuk pengembangan diri secara pribadi. Kayaknya rugi kalau sudah di Jogja, tapi nggak beradaptasi dengan masyarakat. Saya ingin bergaul dengan semua golongan. Itulah mengapa saya memilih kos saja, tidak di Asrama Mahasiswa Sumatera Selatan,” ujarnya.
Menurut Yusdani, budaya belajar di Yogyakarta berbeda dengan di tempat asalnya. “Jogja sungguh kondusif. Mereka punya kebiasaan dan jadwal jam belajar masyarakat,” pujinya.
Di Yogyakarta, Yusdani mengawali pendidikan strata satunya di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta). Menurut Yusdani, alasan kenapa dia memilih bidang syariah sebagai disiplin ilmu yang dipelajari adalah karena ia tertarik dengan profesi hakim. Pun, saat belajar di ponpes, banyak segi syariah yang dipelajari.
”Buku-buku yang kami baca di ponpes itu banyak persoalan tentang syariah. Materi paling menarik menurut saya adalah fiqih,” jelas laki-laki yang hobi bermain catur dan bulu tangkis tersebut.
Saat menjadi mahasiswa, Yusdani mengaku terinspirasi oleh pemikiran Cak Nur (Nurcholis Madjid) dan Buya Syafii Maarif. ”Saya banyak membaca buku beliau. Baik sejak di Ponpes dan sampai sekarang saya punya beberapa koleksi bukunya,” terangnya.
Memulai Karir sebagai Dosen Hukum
Yusdani berhasil menyelesaikan pendidikan sarjananya di bidang Hukum dan Pidana Islam pada 1989. Setelah berhasil meraih gelar sarjana, seperti fresh graduate pada umumnya, Yusdani mulai mencari pekerjaan yang cocok untuknya. Dia mengaku mendapat beberapa masukan dari ustaz di Ponpes, dosen di kampus, dan petuah dari keluarga. Setelah berdiskusi intens dengan keluarga, Yusdani akhirnya memilih menjadi dosen.
”Kebetulan ada peluang di Fakultas Syariah, sekarang namanya Fakultas Syariah dan Ilmu Agama UII Yogyakarta, kemudian ikut seleksi dan diterima,” ceritanya.
Menurut Yusdani, keputusannya untuk melamar menjadi dosen tersebut selain hasil dari diskusi dengan keluarga, juga berkat inspirasi beberapa dosen selama kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ”Selama di kampus, rata-rata dosen yang mengajar saya itu memberikan keteladanan yang baik. Itu makin memperkuat niat saya untuk menjadi pengajar,” ungkap dosen yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tersebut.
Pada 1992, Yusdani mengawali karirnya sebagai dosen di UII Yogyakarta. Pertama, Yusdani harus rela menjadi asisten dosen sesuai prosedur yang berlaku. Dua tahun kemudian, pria yang tinggal di Sompilan, Tegaltirto, Brebah, Kabupaten Sleman tersebut mendapat jabatan akademik yang bisa mengampu mata kuliah secara mandiri, yaitu sebagai dosen hukum.
Yusdani menjalankan hari-hari sebagai dosen dengan suka cita. Sejak awal ia memang ingin mengembangkan aspek keilmuan dan karir akademiknya sebagai dosen. Yusdani teringat petuah orang tua saat berdiskusi terkait rencananya untuk menjadi dosen, bahwa dosen tidak membuat seseorang menjadi kaya secara finansial.
”Ingat, jadi dosen itu nggak bisa kaya. Tapi kita akan kaya Ilmu dan memberikan manfaat untuk orang banyak,” ujar Yusdani menirukan perkataan orang tuanya.
Baru Menjadi Dosen Hukum, Langsung Menulis Buku
Dua tahun semenjak resmi menjadi dosen, pada 1994 Yusdani menulis sebuah buku bersama rekan dosen. Yusdani menganggap keberhasilannya menulis buku pertama kali tersebut adalah sebuah prestasi. ”Hal tersebut merupakan sebuah kebanggan bagi saya,” akunya.
Bagi Yusdani, menulis adalah kewajiban semua dosen. ”Kalau nggak nulis, ngapain jadi dosen? Ketika dosen tidak memperbarui ilmunya dan tidak mentransformasikan ilmunya, maka karir dosen sudah mandek sampai di situ,” lanjut dosen peraih gelar master bidang Pengkajian Islam di UIN Syarief Hidayatullah tersebut.
Dalam pembuatan sebuah karya tulisan, dosen juga harus banyak-banyak membaca. Yusdani menilai bahwa keduanya tak bisa dipisahkan. ”Orang menulis tanpa membaca itu susah. Pembaca tidak selalu menjadi penulis, tapi penulis pasti adalah pembaca. Sebagai akademisi, dua dunia itu tidak bisa ditinggal. Sekarang kan literatur banyak sekali. Lebih mudah untuk belajar. Harus spesifik apa yang akan kita dalami,” terangnya.
Dia mencontohkan, dalam sehari, Yusdani bisa membaca sampai 100 halaman buku. Dan menerapkan cara membaca dengan melihat buku indeks. Tentukan dahulu informasi apa yang ingin dicari, dan fokus pada buku-buku bertema sama saja. Kemudian menjadwalkan satu atau dua hari selama dua sampai tiga jam untuk belajar.
”Itu cara saya untuk bisa menulis buku akademik. Dari situ akan muncul inspirasi untuk menulis. Cara tersebut efektif, terutama untuk mempermudah pencarian inspirasi dalam menulis buku,” papar ayah 3 orang anak ini.
Sejak 1994 sampai sekarang, sudah banyak buku yang ditulis oleh Yusdani, beberapa di antaranya adalah “Ijtihad: Suatu Kontroversi antara Teori dan Fungsi”, “Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam”, “Peran Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Hukum Islam Najamuddin at-Tufi”, “Metodologi Hukum Islam Kontemporer”, “Agama dan Nalar Sekuler”, “Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer”, “Fiqh Politik Muslim : Doktrin, Sejarah dan Pemikiran”, dan “Fiqh Politik Muslim Progresif”. Dosen Hukum Syar’i ini mengaku memiliki target penulisan satu buku dalam satu tahun.
Meraih Predikat Dosen Produktif sampai Menjadi Kaprodi
Yusdani merupakan salah satu sosok dosen hukum yang produktif. Selain telah menulis banyak buku yang dijadikan rujukan literatur banyak orang, dosen yang pernah menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Islam UII Yogyakarta tahun 2014 tersebut, juga getol menulis berbagai artikel terkait fikih, hukum, dan politik di berbagai media prominen seperti Jawa Pos dan Kompas.
Produktivitasnya tersebut akhirnya diganjar beberapa penghargaan prestisius dari pemerintah. Pada 2009, Yusdani mendapat penghargaan dosen terbaik dari Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI). Kemudian, tahun 2010 dia meraih predikat dosen produktif dari Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pun, Yusdani baru saja mengikuti konferensi internasional di Malaysia, November 2018 lalu.
Tak hanya itu, mantan Sekretaris Sekolah Pascasarjana UII Yogyakarta tersebut juga didapuk menjadi Ketua Prodi (Kaprodi) S3 Hukum Islam di UII Yogyakarta sejak Agustus 2018 lalu. Berbagai kegiatan yang dia lakukan mencerminkan motto hidupnya, yaitu hidup itu adalah bergerak. Tidak bergerak berarti mati. Takut mati jangan hidup. Takut hidup, mati saja. Hidup adalah sebuah pilihan.
Kiat Mengajar dan Tantangan Sebagai Dosen Hukum
Saat menjadi dosen khususnya dosen hukum, Yusdani menerapkan beberapa strategi pengajaran. Ia selalu memulai dengan diskusi terkait apa yang dibutuhkan mahasiswa dalam proses pengajaran. ”Kalau di kelas, saya bertanya kepada mahasiswa, ‘Anda memperlakukan dosen sebagai apa? Sebagai penyedia informasi atau sumber ilmu?,” jelasnya. Bagi Yusdani, dosen bukanlah sumber ilmu. Sumber ilmu itu di perpustakaan. Tugas dosen hanyalah menginspirasi mahasiswa.
Yusdani menerapkan strategi penjajakan di awal masa perkuliahan. “Saya jajaki kedalaman pengetahuan mereka dalam konteks materi yang akan saya berikan, misalnya tentang hukum syar’i. Pertemuan pertama diskusi materi kuliah dulu. Saya sangat terbuka untuk dikritik di kelas. Malah saya senang jika ada mahasiswa seperti itu. Saya mementingkan dialog. Saya beri sebuah tema yang sangat menyentak mereka, kemudian kami berdiskusi. Saya tidak pernah memaksakan opini kepada mahasiswa. Tugas saya membuat mereka kritis,” terang doktor bidang Studi Islam dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kini fokus bidang hukum syar’i tersebut.
Menurut Sekretaris Program Pascasarjana Fakultuas Ilmu Agama UII tersebut, dosen tidak bisa main-main dengan mahasiswa. “Jangan-jangan ketika dosen mengajar, mahasiswa sudah tahu duluan? Itu tantangannya. Interaksi dengan mahasiswa sekarang adalah persoalan kompleks. Kita harus siap,” tegasnya.
Yusdani menambahkan, dosen harus menganggap mahasiswa sebagai orang dewasa yang siap belajar. “Makanya, perlu diskusi di kelas. Harus menerapkan two-way-communication. Mahasiswa tidak bisa didikte,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)
Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…