Banyak kalangan menjadikan dokter sebagai profesi idaman. Tak heran selalu ada banyak mahasiswa yang memenuhi kuota di jurusan kedokteran di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Meski begitu, meski sudah nyaman berpraktik dalam bidang kedokteran, ada beberapa dokter yang juga terjun dalam bidang akademisi, salah satunya Dr. drg Wiworo Haryani, M.Kes yang juga sebagai dosen. Meski menjalani dua profesi sekaligus, Wiworo mampu menjadi dosen berprestasi.
Wiworo adalah dosen di Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes RI Yogyakarta, salah satu kampus kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Meski bergerak dalam bidang kedokteran gigi, menjadi dosen adalah cita-citanya sejak lama.
Setelah merampungkan pendidikan sarjana dalam bidang kedokteran gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada (FKG UGM) pada 1991, ia memutuskan untuk mendaftar sebagai dosen di Sekolah Pengatur Rawat Gigi Yogyakarta (sekarang Poltekkes Kemenkes RI Yogyakarta). Ia melakukan pendaftaran langsung ke Departemen Kesehatan (sekarang Kemenkes).
Sembari menunggu pengumuman, perempuan kelahiran Yogyakarta, 19 Juli 1967 tersebut sempat menjadi dosen di Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi (STKG) Jember (sekarang FKG Universitas Jember). Tahun 1993, ia diterima sebagai dosen di Poltekkes Kemenkes RI Yogyakarta dan mengajar di institusi tersebut sampai sekarang.
Memilih Akademisi Dibanding Praktisi
Meski masih tetap melakukan praktik sebagai dokter gigi, Wiworo mengaku lebih mencintai profesinya sebagai pengajar di kampus. Baginya, dengan menjadi dosen dapat mengakomodasi hobinya sebagai pembaca. Pun, dosen adalah profesi yang ia cita-citakan sejak lama.
Selain itu, Kepala Unit Pengembangan Pendidikan Profesional Kesehatan (UP3K) Poltekkes Kemenkes RI Yogyakarta tersebut menyebut penting bagi sebuah institusi pendidikan kesehatan memiliki pengajar yang punya latar belakang sebagai praktisi. Menurutnya, ada beberapa mata kuliah yang harus diampu oleh seorang dokter gigi yang memiliki pengalaman berpraktik.
“Saya tidak meninggalkan praktik kedokteran gigi dan memilih jalur untuk mendidik mitra dokter gigi, yaitu perawat gigi. Pendidikan keperawatan gigi rasanya tidak lengkap tanpa ada profesi dokter gigi. Benang merah tugas antara kedua profesi tersebut harus ditegakkan,” jelasnya kepada tim duniadosen.com melalui surel, Selasa (21/05/2019).
Wiworo melanjutkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh dosen, namun tidak bisa dilakukan oleh dokter gigi, salah satunya adalah mendidik mahasiswa. Dosen bisa mendidik dan menghasilkan anak didik yang handal, kompeten, dan sesuai dengan kebutuhan pasar. Sebagai dosen, ia ingin mewujudkan hal tersebut.
“Merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagi saya jika melihat mahasiswa yang pernah saya didik bisa berhasil dan sukses. Misalnya diterima bekerja di rumah sakit swasta yang bonafide, rumah sakit TNI, maupun di klinik kesehatan swasta lainnya,” kata Wiworo.
Input Kelas Dua
Dalam menjalankan tugasnya, Wiworo seringkali mengalami kendala. Meski begitu, kendala tersebut ia anggap sebagai tantangan yang perlu dihadapi. Salah satu tantangan terbesar yang ia hadapi adalah input calon mahasiswa di kampusnya yang ‘mentah’.
Menurutnya, calon mahasiswa yang masuk di Poltekkes Kemenkes RI Yogyakarta adalah pelajar sekolah menengah atas dengan kualitas kelas dua. Ia menilai banyak pelajar kelas wahid biasanya lebih memilih melanjutkan studi di perguran tinggi, baik negeri maupun swasta yang memiliki reputasi bagus. Padahal, menurutnya reputasi kampus belum tentu berbanding lurus dengan kualitas yang ditawarkan.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Wiworo tak patah arang maupun berkecil hati. Untuk menjadi institusi yang dipercaya, ia menuturkan perlu kesabaran ekstra dan pengorbanan yang tinggi, baik dalam segi waktu maupun tenaga. “Kami juga bisa mengantarkan anak didik menjadi orang sukses,” tegasnya.
Selain sibuk mengajar dan memenuhi kewajiban tridharma perguruan tinggi, perempuan yang tinggal di Mlati, Sleman tersebut juga bertindak sebagai anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kabupaten Sleman, anggota Asosiasi Ahli Pendidikan Profesi Kesehatan Indonesia (AIDIPROKESI), dan anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Sleman.
Di kancah internasional, Wiworo juga tergabung sebagai anggota dalam The South East Asia Regional Association for Medical Education (SEARAME) sejak tahun 2015 lalu.
Tertarik Pendidikan Dokter Gigi sejak Kuliah
Wiworo menceritakan bahwa kecintaannya terhadap bidang kedokteran gigi mulai terbersit dalam benaknya sejak ia menimba ilmu di jenjang sarjana FKG UGM pada 1985. Rasa cinta tersebut makin besar ketika dirinya berhasil mendapat beasiswa pendidikan master bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dan pendidikan doktoral bidang Ilmu Kedokteran di kampus yang sama.
Menurutnya, bidang kesehatan gigi dan mulut merupakan ilmu yang menarik dan sangat related dengan kehidupan manusia. Ia menilai bahwa bidang kesehatan gigi dan mulut sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Tak ayal, bidang tersebut memiliki perkembangannya cukup pesat di Indonesia.
Dalam bidang tersebut, perempuan yang meraih gelar doktor di UGM berkat penemuannya dalam mengembangkan model gigi tiruan tersebut menjelaskan, ada banyak hal yang perlu menjadi fokus. Meski begitu, Wiworo mengaku lebih concern dalam bidang pencegahan penyakit gigi dan mulut (preventif dentistry).
Selama menjalani karir sebagai akademisi, banyak pengalaman berkesan yang ia dapatkan. Namun, Wiworo bercerita memiliki pengalaman penelitian yang berkesan sampai saat ini.
“Pasti banyak kesan. Namun, penelitian paling berkesan menurut saya adalah tentang Pit Fissure Sealant pada siswa sekolah dasar. Karena luaran hasil penelitian tersebut bisa mendapat sertifikat hak kekayaan intelektual (HKI) dan dipublikasikan dalam jurnal internasional,” bangganya.
Bermimpi Menjadi Guru Besar dan Kembali Menulis Buku
Wiworo memang sosok dosen berprestasi. Dilihat karyanya selama berkarir sebagai dosen, tak hanya hasil penelitian yang dihasilkan, tetapi juga berhasil dibukukan dengan judul Buku Panduan Praktik Pit Fissure Sealant (2017). Tak hanya berhasil menerbitkan satu buku, Wiworo juga beberapa kali menerbitkan buku akademik selama karirnya sebagai dosen.
Buku yang berhasil diterbitkan antara lain Buku Panduan Penggunaan Model Gigi dengan Kalkulus Artifisial (Alat Simulasi Praktik Skaling), Modul Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian (Mata kuliah Metodologi Penelitian bagi Perawat Gigi), Modul Preventif Dentistry untuk Perawat Gigi, dan Buku Panduan Praktik Mikrobiologi untuk Keperawatan Gigi.
Sudah selayaknya Wiworo menyandang predikat sebagai dosen berprestasi. Meski begitu, ia mengaku belum merasa sukses. Ia menyebut masih banyak hal yang perlu ditingkatkan dalam rangka menjadi sosok dosen yang lebih baik lagi.
“Menurut saya, sukses itu jika cita-cita sudah tercapai. Sekarang saya belum merasa sukses karena masih banyak tantangan di masa mendatang, misalnya menciptakan suatu karya yang mempunyai dampak positif bagi orang banyak. Saya harus selalu belajar dan memperbaiki diri, menjadi lebih disiplin, dan makin bertanggung jawab,” ujarnya optimis.
Ke depannya, masih ada banyak hal yang ingin ia capai, baik dalam kehidupan pribadi maupun perannya sebagai dosen. Dalam bidang akademis, ia ingin mendapat gelar tertinggi sebagai dosen, yaitu Guru Besar atau Profesor. Selain itu, ia juga ingin menerbitkan buku kembali dalam waktu dekat sebagai salah satu bentuk kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. “Bukunya tentang menjaga kesehatan jaringan periodontal rongga mulut,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)