Ulya Niami Efrina Jamson, S.I.P., M.A. merupakan salah satu dosen muda di Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (DPP FISIPOL UGM). Perempuan yang biasa disapa Pipin itu, secara resmi menjadi dosen di DPP FISIPOL UGM pada 2017 lalu. Sebelumnya, Pipin bekerja di Non-Goverment Organization (NGO). Lantas mengapa pada akhirnya Pipin melabuhkan diri menjadi dosen? Simak hasil wawancara duniadosen.com bersama Pipin berikut.
Keinginan untuk berprofesi sebagai dosen, dituturkan Pipin, berawal dari niatannya untuk mendiseminasikan ilmu-ilmu dan pengalaman yang dia peroleh di NGO. ”Selain passion, saya juga ingin pengalaman yang saya dapat di NGO dapat diseminasikan,” ujarnya saat ditemui duniadosen.com di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, Rabu (7/11).
Pipin melanjutkan, karena kampus adalah tempat yang menarik. Kampus adalah pendidikan orang dewasa. Asumsinya, mereka siap untuk belajar. Dalam hal posisi politik, kampus punya posisi tawar yang bagus.
Ia menganggap ketika dia memiliki posisi strategis di kampus, dia punya privilage untuk melakukan sesuatu dan dapat dipercaya oleh masyarakat. ”Ketika melakukan advokasi, menjadi dosen kan posisinya lebih kuat dan lebih punya legitimasi dibanding saya belum menjadi dosen. Mahasiswa memang punya posisi tawar, tapi dosen punya posisi tawar lebih besar untuk bisa didenger orang. Wah, gue harus jadi dosen nih,” katanya menggebu.
Sejak mahasiswa, ibu satu putra tersebut memang bergabung dalam berbagai organisasi dan melakukan advokasi. Salah satunya adalah di Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (PKBI DIY). ”Saya gabung PKBI DIY tahun 2007. Saat itu karena ada tugas magang, saya memilih magang di Pusat Studi Seksualitas PKBI DIY sampai akhirnya bekerja dan cocok sampai sekarang,” ungkap istri dari Bintar Pradipta ini.
Pipin mengaku belajar banyak selama di PKBI DIY. Praktisi punya sense yang luar biasa. Ada salah satu sosok di PKBI yang menjadi inspirasi Pipin. Ketika ia bergabung di organisasi tersebut, Pipin merasa kagum dengan seseorang yang tidak bersekolah tinggi tapi highly academic. Cara berpikirnya sangat kritis. Dan benar-benar mendekonstruksi pemikirannya. ”Setelah menjadi relawan selama satu tahun, akhirnya apply untuk bekerja di sana dan diterima pada bagian Penerbitan. Itu yang membuat saya nggak lulus-lulus,” lanjutnya seraya tertawa.
Selama kuliah sambil bekerja di PKBI DIY tersebut, Pipin mengaku kuliahnya agak terbengkalai. Beruntung, ada staf di DPP FISIPOL UGM, tempatnya menuntut ilmu, peduli dengannya dan meminta Pipin untuk menjadi asisten dosen Drs. Yosef Riwu Kaho, MPA. ”Pada 2009 saya menjadi asisten Pak Yosef sekalian menyelesaikan skripsi. Saya diomelin terus dulu, makanya disuruh bantuin Pak Yosep sambil mengerjakan skripsi. Kalau nggak kayak gitu kayaknya nggak lulus-lulus,” kenang lulusan dengan predikat nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tertinggi se-UGM pada 2010.
Setelah menjadi dosen, Pipin masih tergolong progresif, terutama dalam kajian isu politik pemerintahan, gender, dan kaum marjinal. Pipin menyadari posisinya di kampus cukup strategis. Perempuan yang pernah menjadi peneliti di PolGov, sebuah unit riset di bawah naungan DPP FISIPOL UGM tersebut tidak ingin NGO hanya dijadikan sebagai ekstraktor ilmu oleh kampus. Menurutnya, kampus dan NGO perlu bergandengan tangan dalam segi akademik.
”Saya sudah lama berkecimpung di NGO. Salah satu alasan saya menjadi dosen adalah untuk menjembatani kampus dan komunitas. Komunitas perlu diundang ke kampus. Selama ini kan mereka (komunitas-red) over exploited. Mereka kita undang ke kampus sebagai dosen tamu, bukan cuman kita yang extracting data, termasuk komunitas marjinal,” jelasnya.
Hubungan kampus dan komunitas, menurutnya sangat penting. Komunitas dan kampus harus sinkron agar ketika berbicara gerakan sosial, kampus tidak lagi ngawang-ngawang. Beberapa waktu lalu, Pipin bersama dosen-dosen di FISIPOL UGM menggelar diskusi bersama mahasiswa yang melibatkan teman-teman kaum marjinal.
”Saat itu pas kuliah Politik Identitas dan Multikulturalisme. Dulu, kita bikin semacam festival of the oppressed. Kita mengundang teman-teman yang termarjinalkan ke kampus, mulai dari kelompok tuna rungu, lesbian, gay, biseksual, transgender, waria, dan aliran kepercayaan minoritas,” terangnya.
Menurutnya, kampus adalah tempat yang bagus untuk membentuk orang-orang yang toleran dan multikultur. Sebagai mimbar akademik, pihaknya bisa mengkaji dengan perspektif akademik mereka dan mahasiswa involved. ”Selama kegiatan, mereka diminta untuk diskusi tentang isu apapun dalam sebuah kelompok. Mereka sendiri mengorganisir diskusi dan mengundang komunitas untuk datang. Tidak hanya diskusi, namun juga ada pameran foto,” lanjutnya.
Pipin mengaku kegiatan tersebut adalah salah satu yang paling berkesan selama dia menjadi dosen. Ketika kampus sudah melibatkan komunitas, hal tersebut mengindikasikan kampus peduli terhadap masyarakatnya.
”Itu merupakan moment yang sangat mengharukan menurut saya. Teman-teman yang selama ini termarjinalkan terus bisa hadir di kampus dan punya posisi yang setara,” kenangnya.
Baginya, memperjuangkan isu gender, kaum marjinal, dan kesehatan reproduksi (kespro) adalah komitmen seumur hidup. Pipin menegaskan dosen perlu memiliki keberpihakan. Dosen adalah cita-cita idealisme dan memiliki peluang untuk bisa didengar. ”Dalam posisi keilmuan, kita harus berpihak. Setiap dosen pasti punya posisi masing-masing. Pilihan saya berpihak terhadap keadilan, Hak Asasi Manusia (HAM), orang yang termarjinalkan, dan itu sudah default pada diri saya,” bebernya.
Meski begitu, Pipin menolak untuk mengkotak-kotakkan pilihan dosen. Dia mencoba memakai nalar konstruktifis. “Posisi politik nanti juga akan berpengaruh kepada posisi keilmuan, atau vice versa. Tapi, di sini saya tidak bicara mana yang lebih baik mana yang lebih buruk. Ilmu sosial harus transformatif. Percaya pada perubahan ke arah yang lebih baik,” tegasnya.
Ia mencontohkan perbedaan sikap dosen-dosen di UGM dalam menyikapi kasus kekerasan seksual terhadap Agni (nama samaran), salah satu mahasiswa FISIPOL UGM, yang mencuat beberapa waktu lalu. Menurutnya, jika dosen menganut asas keadilan, dosen harus adil. ”Tapi saya menghargai semua posisi dan sikap, as long as tidak ada kekerasan,” tambahnya seraya tersenyum.
Sejak S1 sampai S2, Pipin mengenyam pendidikan tinggi dalam bidang politik pemerintahan. Pipin mengaku cita-cita masa kecilnya bukanlah dosen, tapi dia ingin menjadi seorang camat (kepala kecamatan). ”Dulu pengen sekali menjadi camat. Masa kecil saya suka protes, ngeyel, I have to do something. I have to change that. Makanya masuk ilmu pemerintahan,” jelasnya sambil tertawa.
Pipin melanjutkan, dirinya terinspirasi oleh salah satu camat perempuan yang ada di tempat tinggalnya di Salatiga, Jawa Tengah. Dia menilai, kinerja camat tersebut penuh dedikasi dan seorang pemimpin yang brilian. ”Dia kepala wilayah, tapi pada saat itu kiprah dia sebagai camat oke banget dari sisi kebijakan, apalagi dia satu-satunya camat perempuan pada masa itu di tempat saya,” ungkapnya terkagum.
Namun, kenapa menjadi dosen yang cukup vokal dalam isu gender? Perempuan yang pernah mengikuti pertukaran pelajar di Kanada tersebut mengaku hal tersebut merupakan panggilan hati. Dia risih melihat orang diperlakukan tidak adil. ”Misalnya ada kasus perkosaan, aku nggak bisa melihat korbannya disalahin. Melihat ketidakadilan, ya terpanggil. Kita yang punya privilage ya harus berpihak dan bergerak. Makanya tergabung dalam isu perempuan. Melihat realita yang tidak sesuai dengan harapan itu sakit. Supaya sakit saya, kemarahan saya, tersalurkan secara positif ya dengan ikut gerakan,” terangnya lantang.
Gayung bersambut, setelah lulus jenjang sarjana dari FISIPOL UGM, Pipin mendapat beasiswa dari Australia Awards untuk belajar ilmu gender and development (graduate certificate) di University of Melbourne, Australia selama dua tahun. Ia mengaku pengalaman selama di Australia sangat berharga. ”Pengalaman di Australia menambah perspektif baru bagi saya. Pengetahuan makro saya dapat ketika di UGM, perspektif mikro saya dapat di Melbourne karena aspect daily life poltic-nya ngena banget. Pun, saya bertemu teman-teman aktivis dari berbagai negara yang memiliki frekuensi sama,” jelasnya.
Menurut Pipin, dosen memiliki pengaruh besar terhadap mahasiswa. Pipin menilai bahwa menjadi dosen yang bold (vokal) itu tidak apa-apa. Bahkan, menurutnya dosen perlu konsisten dengan sikap yang telah ia pilih.
”Target saya bukan hanya ngajarin HAM itu a, b, c, d. Setelah keluar kelas mereka harus punya sikap egaliter, adil, humanis, dan sebagainya. Jadi tidak hanya kognitif aja. Tidak hanya tahu apa bunyi pasal berapa, tapi juga harus transformatif, adil, respect, dan berpihak. Syukur-syukur bisa mengajak mahasiswa turut serta dalam kaukus dan gerakan yang sedang kami perjuangkan,” ujarnya.
Ia melanjutkan, tantangan dosen saat ini lumayan berat. Dosen di Indonesia mengampu banyak sekali tugas yang diwajibkan oleh pihak kampus. Pipin mengkomparasi dengan tugas dosen di Australia yang tidak sebanyak di Indonesia. ”Kenalan saya dosen di Australia kaget melihat kewajiban dosen di Indonesia yang banyak sekali. Di sana, dosen tugasnya tidak sebanyak di Indonesia,” katanya.
Dosen di Indonesia, menurutnya harus mampu melakukan tiga kegiatan sekaligus yaitu pengajaran, penelitian, dan juga pengabdian kepada masyarakat yang tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang menurut Pipin mirip sebagai eksploitasi. ”Kan dosen harus belajar juga. Itu tantangannya,” tegas dosen yang juga menjabat sebagai Sekretaris Prodi Politik dan Pemerintahan tersebut. (duniadosen.com/az)
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…