Inspirasi

Tumbuh dari Keluarga Broken Home, Ali Muhammad Bertekad Menjadi Dosen dan Membangun Kehidupan Bahagia

Muhammad Ali, S.Pd., MM., memulai karir dosen sejak 25 Agustus 2005. Ia adalah dosen STIE Bima. Impian menjadi dosen sebenarnya bukanlah impian sejak kecil. Ali mengaku keinginan menjadi dosen muncul saat pertengahan hingga akhir masa studi S1 di IKIP Mataram.

“Saya terinspirasi oleh gaya dan cara mengajar dosen yang menurut saya sangat bagus. Selain itu, saya juga termotivasi oleh kegagalan saya mengikuti seleksi anggota TNI dan POLRI. Saya ingin bekerja dan mendapatkan pekerjaan yang tidak kalah juga stratanya dengan menjadi anggota TNI dan POLRI,” ujar Ali, si sulung dari tiga bersaudara ini.

Ia berasal dari keluarga broken home. Kedua orang tuanya berpisah saat ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Kepada duniadosen.com, ia mengungkapkan, kedua orang tua bukanlah dari kalangan pendidik. Bahkan mereka tidak tamat Sekolah Dasar. Orang tuanya bekerja sebagai petani.

“Saya termasuk anak yang merasakan kurangnya kasih sayang orang tua dan kebahagiaan di waktu kecil. Saya harus berpindah-pindah rumah dari rumah saudara almarhumah ibu yang satu ke yang lain. Belajar hidup mandiri dari kecil. Mulai dari menyabit rumput untuk dijual, membuat layang-layang untuk dijual hingga mencari sisa kedelai setelah dipanen dan dibersihkan untuk dijual,” ungkap lelaki yang lahir di Parado Rato, 15 Agustus 1979 ini. Lantas ia tumbuh dan berkembang dari pendidikan keluarga ibunya yang agamis.

Ia memilih manajemen SDM karena relevan dengan pendidikan sarjananya. Mulanya ia ingin melanjutkan S2 Bahasa Inggris. Bahkan ia telah mengikuti tes S2 Bahasa Inggris di Universitas Negeri Malang tahun 2011 namun gagal. Pada tahun yang sama ia juga mengikuti test S2 di Universitas Negeri Yogyakarta. Ia tidak lolos pilihan pertama Bahasa Inggris akan tetapi lolos pilihan kedua yakni Pendidikan Sastra Anak.

Hanya saja ia kurang berminat dengan Pendidikan Sastra Anak. Di sisi lain tidak ada perguruan tinggi yang  membuka program studi Sastra Anak, sehingga ia tidak mengambil studi S2 di UNY tersebut.

Secara jujur, ia memang menyukai bidang manajemen SDM sejak mulai mengajar menjadi dosen di STIE Bima. Kesadaran akan adanya potensi tersebut mulai ia rasakan semenjak kuliah S1 di IKIP Mataram. Selain itu, juga dilatarbelakangi oleh kehidupan keluarga dan masa kecil yang pahit dan tidak membahagiakan. Ia ingin berubah. Ia tidak ingin menyerah dengan keadaan ekonomi dan keluarga. Ia sadar mempunyai potensi yang sama dengan orang lain.

Gugup Saat Kali Pertama Menjadi Dosen

Saat ia menapaki karir sebagai dosen tidak ada kendala yang berarti. Baginya lumrah merasakan gugup, kaku, grogi atau kurang percaya diri di awal-awal karirnya sebagai dosen. Rasa gugup, tegang, kaku, grogi, serta kurangnya rasa percaya diri saat menjadi dosen pemula.

Ada banyak tantangan menjadi dosen. Mulai dari meningkatkan dan mengembangkan diri hingga melengkapi diri dengan informasi dan ilmu yang up to date. Hal tersebut sebagai salah satu yang menyenangkan untuk Ali. Tantangan sekaligus terdapat unsur pengembangan diri. Dukanya, ketika pembelajaran di kelas dan di luar kelas tidak sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan yang paling berkesan adalah diikutsertakan dalam kegiatan seminar dan pelatihan serta workshop maupun wisuda sarjana setiap tahunnya.

“Saya bercita-cita ingin menjadi profesor. Sebagaimana ungkapan sang proklamator kita Soekarno “Gantunglah cita-citamu setinggi langit meskipun engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang”. Saya terinspirasi dan mengagumi dosen-dosen yang sudah mendapatkan gelar profesor,” terang Ali.

Ia mengagumi cara mengajar dan penyampaian materinya, bahasa dan komunikasi, serta wawasan dan ilmu yang dimiliki. Ia juga mengagumi banyak tokoh nasional dan illmuan seperti Habibi, Susilo Bambang Yudhoyono, Jokowi, Yusril Ihza Mahendra, Amien Rais, Mahfud MD, dan sebagainya. Tidak dapat dipungkiri tokoh-tokoh tersebut mempengaruhi dan menginpirasinya. Ia berhapa bisa mengikuti jejak mereka.

“Belakangan ini saya sangat terinspirasi oleh Ayahanda Prof. DR. Ahmad Thib Raya, MA. Beliau memiliki perjalanan karir yang luar biasa yang dapat menginspirasi dan memotivasi saya sebagai dosen. Saya juga pernah diberikan buku karangan beliau secara langsung,” lanjut Ali.

Sebagai dosen di STIE Bima ia berharap ke depannya terus berkembang dan menjadi perguruan tinggi percontohan dan mendapatkan akreditasi institusi dan prodi dengan nilai A. Selain itu, ia berharap agar STIE Bima dapat membuka prodi baru dan tidak bertahan dengan satu prodi saja. Mengusulkan semua dosen untuk mendapatkan sertifikasi dan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan doktor. Yang perlu ditingkatkan adalah mutu dan kualitas baik mutu dan kualitas pelayanan, pembelajaran serta dosen.

“Selain bercita-cita ingin menjadi profesor, saya juga ingin membahagiakan keluarga kecil saya. Mulai dari menjadi bapak yang baik, mampu memenuhi segala kebutuhan hidup keluarga hingga menyekolahkan anak-anak ke jenjang pendidikan yang paling tinggi,” ujar Ali, bapak dari dua anak ini.

Hal ini juga sesuai dengan kegemaran Ali. Selain gemar membaca, ia juga senang berkumpul bersama keluarga. Tak mengherankan jika ia memiliki kecintaan yang besar terhadap keluarga.

Ia membagi waktu kapan harus bersama keluarga dan ke kampus untuk mengajar. Berusaha mengikuti dan melaksanakan semua kegiatan kampus yang telah terjadwal. Jika tidak ada kegiatan di kampus ia akan menghabiskan waktu bersama keluarga.

“Motivasi dan motto hidup saya, saya ingin menjadikan keluarga dan keluarga besar saya berhasil dalam belajar dan pendidikan. Sebagaimana keluarga sukses dan teladan lainnya,” tekan Ali yang di tengah kesibukannya sebagai dosen, ia memilih membantu sang istri berbisnis.

Strategi Mengajar di Era 4.0

Secara pengalaman, Ali memang belum mencapai banyak hal dalam karirnya menjadi dosen. Namun selama perjalanannya hingga detik ini, terdapat pembelajaran yang dapat dipetik. Sejauh ini, bagi Ali, prestasi tertinggi adalah bisa melanjutkan pendidikan S2. Baginya ini adalah tahap yang tidak biasa apalagi mengingat latar belakang ekonomi dan keluarganya.

“Tidak semua orang memiliki kesanggupan dan kemampuan untuk mencapainya karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran, keterbatasan fisik dan mental, dan kurangnya kesadaran akan potensi diri yang dapat dikembangkan,” kata Ali.

Bagi Ali menjadi dosen bukan hanya sekadar profesi melainkan juga panggilan jiwa. Dosen harus melaksanakan tridharma perguruan tinggi secara penuh. Bukan hanya mengajar tetapi juga melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dosen dituntut untuk terus mengembangkan potensi diri dengan berkreasi dan berinovasi. Memiliki ide kreatis dan inovatif.

Dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 dosen dapat terus mengembangkan diri. Memperkaya pengetahuan dan wawasan yang terkait dengan isu nasional dan kekinian. Melakukan inovasi pembelajaran, memotivasi mahasiswa untuk belajar serta membekali mereka dengan keterampilan dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Agar keterampilan dan kompetensinya sesuai dengan kebutuhan revolusi industri 4.0.

Sebelum Indonesia memasuki era revolusi industri 4.0 gaya dan cara mengajar ia cenderung stagnan tidak mengalami perubahan. Namun karena tuntutan era revolusi industri 4.0 cara dan gaya mengajarnya mengalami perubahan. Ia berusaha untuk meningkatkan kreatifitas dan inovasi belajar dan pembelajaran baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Ia mengajar dengan menggunakan media pembelajaran seperti labtop, LCD, dan TV. Selain itu, ia juga memberdayakan mahasiswa untuk menggunakan handphone-nya dalam kelas sebagai media dan sumber belajar. Hai ini dilakukan untuk menghindarkan mereka dari penyalahgunaan handphone seperti bermain game, facebook, twitter, dan sebagainya.

“Menurut saya sistem pengajaran dosen harus ada perubahan. Tidak terpaku dan monoton pada gaya dan cara mengajar klasik yang tidak sesuai dengan kemajuan IPTEK. Misalnya dengan mengelola kelas dengan baik, memberikan dan meyediakan waktu bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis, menyampaikan argumentasi, tanya jawab dan berdiskusi,”.

Baginya mengejar materi itu tidak penting, yang terpenting adalah sebagai dosen dapat memotivasi mahasiswa untuk berdiskusi, belajar, dan berpikir. Agar mahasiswa dapat mengembangkan potensi diri.

Dalam mengajar, ia menggunakan pendekatan student centered learning. Pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Mahasiswa  adalah the agent of leraning sesungguhnya yang belajar adalah mahasiswa. Menurutnya, fungsi dosen hanya sebagai fasilitator, motivator, mediator, serta inspirator yang memberikan stimulan agar mahasiswa dapat belajar dan menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan.

Pada awal kelas, ia selalu membuka pertanyaan sebagai warming up dan engagement agar para mahasiswa mulai berpikir dan fokus pada materi yang sedang didiskusikan. Selanjutnya, ia mempresentasikan materi dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan pertanyaan dan berdiskusi.

Sehingga tidak jarang setiap ia masuk kelas materi tidak sampai selesai karena alokasi waktu untuk berdiskusi. Bagi saya, mengejar materi itu tidak penting, yang terpenting adalah saya dapat memotivasi mereka untuk belajar serta mengembangkan potensi dirinya. Dan dalam memberikan penilaian saya mengutamakan nilai proses bukan nilai hasil.

Terkait hubungan dengan mahasiswa, Ali mengdepankan ketiadaan gap dengan mahasiswanya. Ia membangun komunikasi dan sering berdiskusi dengan mereka. Bahkan ia tidak ingin membatasi diri. Mencoba membangun budaya belajar dan mendorong mereka agar dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris di lingkungan kampus serta mendorong untuk membaca dan menulis.

Untuk pengabdian masyarakat, ia telah laksanakan antara lain melakukan bakti sosial dengan berdonor darah dan membersihkan tempat umum, memberikan seminar kewirausahaan, menulis artikel, menjadi pengurus masjid serta ceramah dan berkhutbah.

Hingga saat ini ia masih fokus dan konsen dengan masyarakat. Memikirkan apa kontribusi yang bisa diberikan untuk masyarakat dalam membangun bangsa dan negara seperti membentuk komunitas atau kelompok masyarakat Bahasa Inggris, english zone community.

Sementara itu inovasi yang telah dihasilkan oleh Ali adalah menciptakan teori belajar otodidak. Hasil kajian teori dan praktek serta pengalaman empiris saya sendiri dan orang lain. Saya berkeinginan untuk mengusulkannya untuk mendapatkan HKI.

“Saat ini saya sedang melakukan penelitian dari dana hibah kemenristekdikti, penelitian dosen pemula,” tutup Ali. (duniadosen.com/aw)

Redaksi

Recent Posts

Cara Menyusun Artikel Jurnal dengan Prinsip Piramida Terbalik

Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…

4 days ago

Time Table dan Manfaatnya dalam Melancarkan Penelitian

Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…

4 days ago

Syarat dan Prosedur Pengajuan Pindah Homebase Dosen

Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…

4 days ago

Scope Jurnal & Cek Dulu Agar Naskah Sesuai Jurnal Tujuan

Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…

4 days ago

6 Cara Mengecek DOI Jurnal, Pahami untuk Isian Publikasi

Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…

4 days ago

Cara Mengecek Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi, Pahami Sebelum Publikasi

Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…

5 days ago