Inspirasi

Tri Ambulanto, Dosen Administrasi Negara yang Mengabdi untuk Desa

Belajar di mana saja dan kapan saja, begitu petuah Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia, Ki Hadjar Dewantoro. Kutipan tersebut menjadi inspirasi Drs. Tri Ambulanto, M.Si., untuk menjadi dosen. Tri, memilih berkarir sebagai dosen dalam rangka melanggengkan ilmu yang ia dapatkan. Sebagai dosen Administrasi Negara, Tri juga melaksanakan tridharma perguruan tinggi salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat ia wujudkan dengan mengabdi untuk desanya yaitu menjadi kepala desa.

Tri merupakan seorang dosen di Universitas Kadiri (Unik), salah satu perguruan tinggi swasta di Kediri, Jawa Timur. Sejak tahun 1986, Tri mengajar program studi (prodi) Administrasi Negara di kampus yang terletak di Mojoroto, Kediri tersebut. Meski begitu, ternyata karir dosen Tri tak dimulai dari sana.

Sebelumnya, Tri bergabung sebagai salah satu anggota partai Masyarakat Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) dengan Universitas Blitar yang saat itu berada di bawah induk Yayasan MKGR. MKGR adalah salah satu partai politik peserta pemilu tahun 1999.

”Namun, lambat laun Universitas Blitar tidak mendapatkan izin pendirian. Maka dari itu, pada akhirnya Universitas Blitar bergabung dengan Universitas Kadiri yang terlebih dahulu berdiri dibawah naungan Yayasan yang sama,” terang Tri.

Sebagai dosen, Tri ingin senantiasa belajar. Baginya, seorang dosen memiliki priviles untuk mendapatkan akses media pembelajaran yang melimpah. Sehingga harus terus belajar sebagai proses melanggengkan ilmu, dan menjadi manusia yang terus berkembang.

Meski begitu, sarjana Ilmu Administrasi Negara dari Universitas Jember (Unej) tersebut menolak untuk berkeinginan muluk. Ia ingin menikmati perannya sebagai dosen selayaknya air mengalir. ”Setiap apa yang saya peroleh hari ini adalah segala bentuk rezeki dari Tuhan dan saya sangat mensyukurinya,” jawab Tri santai.

Tri memulai karir dosennya dari bawah. Sebelum memiliki mobil sendiri, dulu Tri yang tinggal di Udanawu, Blitar, bersama rekan dosennya bersepeda motor dari Blitar ke Kediri setiap menghadiri rapat, mengajar, maupun kegiatan akademik lainnya. Kenangan tersebut, bagi Tri, memiliki kesan yang mendalam.

”Saya dan rekan di saat sekarang kami sudah semakin menua, kami mengenang masa-masa perjuangan masa itu. Justru kenangan semacam itu yang merekatkan hubungan kami tidak hanya sebagai rekan kerja, tapi juga seperti saudara sendiri,” kenang pria 60 tahun tersebut.

Profesi Dosen Penuh Tantangan

Menurutnya, dosen adalah pekerjaan yang penuh kenangan sekaligus tantangan. Bagi generasi yang ada sebelum teknologi digital mengalami viralisasi. Sehingga makin masif, Tri mengaku teknologi adalah tantangan terbesar bagi sebagian besar dosen.

Master bidang administrasi negara tersebut menuturkan, perkembangan teknologi yang tak bisa dihentikan menuntut dosen, termasuk dirinya, untuk terus belajar. Tak hanya terkait materi terbaru, namun juga bagaimana menggunakan teknologi dengan baik. Tri mengaku sering kesulitan jika berhadapan dengan teknologi.

”Saya sadar usia tidak lagi muda dan kemauan untuk belajar teknologi juga makin berkurang. Sehingga saya sering meminta bantuan anak buah atau keluarga untuk menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan teknologi,” ungkapnya.

Karena relatif lemah dalam bidang teknologi, Tri memiliki kiat khusus kaitannya dengan proses pengajaran di kelas. Mantan Kepala Sekolah Menengah Kejuruan YP 17 Blitar tersebut sering menggunakan metode diskusi (sharing) berdasar pengalamannya sebagai praktisi administrasi.

”Dengan begini saya merasa penyampaian saya terasa lebih natural dan mengalir. Sehingga mahasiswa juga dapat dengan mudah menangkap apa yang saya sampaikan. Saya berusaha membuat suasana yang cair dan santai saat berada di kelas sehingga tidak tegang,” ujarnya.

Selain itu, tantangan juga dihadapi Tri dalam aspek perbedaan generasi dengan mahasiswa. Kebanyakan, mahasiswanya adalah mahasiswa milenial. Dalam menghadapi mahasiswa milenial, Tri ingin mencoba untuk bersikap lebih terbuka. ”Dari dulu metode mengajar saya masih sama. Mencoba untuk menjelaskan materi secara mengalir seperti orang bercerita saja,” lanjutnya.

Dalam hidup, Tri selalu berpegang pada motto Sudiro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti (segala angkara murka akan selalu kalah oleh kebaikan). Baginya, hidup ibarat bertani. Apa yang dipanen adalah apa yang ditanam. Ketika petani menanam padi, maka yang muncul adalah padi.

”Saya selalu menjadikannya sebagai pegangan hidup. Segala hal yang saya tanam itu harus baik, karena kelak yang akan dipanen adalah hal yang baik pula. Motivasi saya adalah untuk selalu berbuat yang terbaik yang saya bisa untuk kemajuan masyarakat dan bangsa,” tegasnya.

Tak ayal, dalam setiap aktivitas, Tri ingin selalu memberikan manfaat kepada orang sekitar. Ia menuturkan kebaikan yang bermanfaat kepada orang lain adalah sebuah bentuk ibadah. Alasan itulah yang turut melatarbelakangi Tri untuk kembali ke desa untuk berkontribusi pada masyarakat.

Mengabdi untuk Desanya dengan Menjadi Kepala Desa

Sebagai dosen yang menggeluti bidang Administrasi Negara, Tri juga ingin bermanfaat untuk lingkungan sekitar, ia pun memilih untuk terjun langsung dalam pengelolaan desa. Sejak 2007, Tri mengabdi sebagai Kepala Desa Jati, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar. Praktis, kegiatan utamanya selain menjadi dosen adalah berkecimpung dalam urusan desa.

Menjadi Kepala Desa adalah salah satu cara Tri melakukan pengabdian kepada masyarakat. Berbekal ilmu Administrasi Negara dan pengalaman teoritiknya ketika menjadi dosen, Tri ingin menjadi manfaat untuk desa yang dipimpinnya. Sebaliknya, pengalaman dalam mengelola desa juga memiliki manfaat praktis ketika ia implementasikan dalam proses pengajaran di kampus.

Menurut Tri, menjadi kepala desa adalah sebuah amanah. Tri menyadari masyarakat mempercayakan pengelolaan desa kepadanya. Artinya, dia harus maksimal dalam melaksanakan perannya sebagai kepala pemerintahan desa.

”Waktu itu, masyarakat sendiri yang meminta saya pulang ke desa untuk membangun desa secara fisik beserta sumberdaya manusianya. Apalah guna pembangunan secara fisik, namun masyarakat tidak mengalami kemajuan secara ekonomi dan kesejahteraannya,” ujar pengagum Soekarno tersebut.

Menjadi kepala desa adalah wujud kecintaannya terhadap tanah kelahiran. Maka, Tri sangat ingin mengabdi membangun desa sepenuh hatinya. Setidaknya, ada dua strategi pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintahan Tri, yaitu pembangunan fisik dan non-fisik.

Baginya, pembangunan infrastruktur harus menjadi prioritas utama selain sektor lainnya karena ketika pembangunan fisik sudah terealisasi, maka keberlanjutan untuk membangun sektor lain bisa lebih mudah. Selain itu, Tri juga membuat kebijakan bantuan kepada masyarakat kurang mampu melalui skema bantuan berkelanjutan yang melibatkan partisipasi masyarakat.

”Adanya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), koperasi masyarakat, bantuan bedah rumah, pemberian kambing dan bibit duku bagi masyarakat tidak mampu, akan membantu mereka untuk dapat kesempatan yang sama seperti masyarakat lain untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya,” katanya.

Tri mengaku, adanya bantuan dari pemerintah melalui skema Dana Desa cukup membantunya dalam mengelola desa. Berbagai kegiatan dan pembangunan di Desa Jati bersumber dari Dana Desa yang dikucurkan setiap tahun. Meski begitu, Tri menyadari Dana Desa tak akan berarti apa-apa jika tak dikelola dengan baik dan bertanggung jawab.

Aksi Tri Ambulanto (paling kiri, memegang microphone) saat membuka salah satu kegiatan di Desa Jati. (Foto: dok. Tri Ambulanto)

”Dana Desa memiliki manfaat yang sangat besar bagi perkembangan desa dan sejalan dengan cita-cita saya yang ingin memastikan desa saya mengalami kemajuan yang pesat yang dapat terus dirasakan selama sepuluh, dua puluh, lima puluh bahkan hingga ratusan tahun kedepan. Namun, dengan catatan pengelolaannya harus dapat dijalankan dengan baik sesuai dengan aturan dan tepat sasaran,” ungkap Tri.

Berbagai kebijakan pembangunan membuat desanya berkembang. Hasilnya, Desa Jati menerima berbagai penghargaan baik level lokal maupun nasional. Pada 2017 lalu, Desa Jati berhasil mendapat juara 1 dalam lomba desa tingkat nasional.

”Saya dan tim mempersiapkan segala sesuatunya sepenuh hati dan proses tersebut membuahkan prestasi yang memuaskan. Merupakan sebuah kebanggan tersendiri buat saya. Artinya kerja keras kami di Desa Jati untuk menunjukkan kepada orang-orang diluar sana bahwa desa kami mampu sudah berhasil saya lakukan,” tegasnya bangga.

Saat ini, Tri mengaku sedang fokus dalam pemberdayaan masyarakat dengan mengadakan berbagai kursus serta pelatihan bagi masyarakat untuk dapat memiliki keahlian yang bermanfaat untuk kehidupannya. Pemberdayaan tersebut merupakan salah satu bentuk pembangunan non-fisik berupa SDM setelah tahapan pembangunan infrastruktur.

Salah satu pemberdayaan yang dilakukan adalah pelatihan membuat batik khas Desa Jati, yaitu Batik Janggleng. ‘Janggleng’ memiliki arti bunga jati yang memiliki asosiasi dengan nama Desa Jati. Tri berharap ke depannya, Batik Janggleng dapat menjadi sumber perekonomian masyarakat secara lebih luas.

Tantangan Sebagai Kepala Desa

Menjadi kepala desa nyatanya tak lepas dari tantangan. Dari berbagai tantangan yang dihadapi selama menjabat sebagai bapaknya Desa Jati, Tri mengaku meyakinkan masyarakat ihwal kebijakan yang ia buat menjadi salah satu tantangan paling sulit.

”Harus diakui bahwa masih banyak masyarakat yang belum mampu menerima program pembangunan yang kami tawarkan. Seperti yang banyak orang ketahui, masyarakat desa masih cenderung kolot. Sehingga inovasi yang kami ciptakan bisa saja ditolak mentah-mentah,” sesalnya.

Meski begitu, penolakan tersebut adalah tantangan yang harus dihadapi dan dicari solusinya bersama. ”Kami terus berupaya mengakomodasi setiap kebutuhan masyarakat. Kami akan tetap berusaha untuk mengajak semua masyarakat untuk maju bersama,” ujarnya mantap.

Ke depannya, Tri ingin tetap menikmati perannya sebagai dosen administrasi negara dan juga kepala desa. Baginya, menjadi dosen hanyalah salah satu cara untuk menebar kebaikan melalui berbagai ilmu. Tetap, passion Tri adalah menjadi seorang ‘bapak’ bagi masyarakat Desa Jati. Keduanya, lanjut Tri, harus berjalan beriringan. (duniadosen.com/az)

Redaksi

Recent Posts

Cara Menyusun Artikel Jurnal dengan Prinsip Piramida Terbalik

Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…

4 days ago

Time Table dan Manfaatnya dalam Melancarkan Penelitian

Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…

4 days ago

Syarat dan Prosedur Pengajuan Pindah Homebase Dosen

Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…

4 days ago

Scope Jurnal & Cek Dulu Agar Naskah Sesuai Jurnal Tujuan

Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…

4 days ago

6 Cara Mengecek DOI Jurnal, Pahami untuk Isian Publikasi

Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…

4 days ago

Cara Mengecek Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi, Pahami Sebelum Publikasi

Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…

5 days ago