Pemerintah bertekad merevitalisasi pendidikan tinggi vokasi. Sudahkah pemerintah mengidentifikasi berbagai hambatannya?
Bisakah mencetak tenaga kerja yang tak kalah kompeten dengan tenaga kerja asing?
Tenaga kerja asing di Indonesia sedang marak kabarnya, baik kabar yang dapat dipertanggungjawabkan maupun tidak. Memang, keberadaan tenaga kerja asing di kawasan industri di Indonesia adalah kenyataan. Industri perlu mengerjakan sesuatu yang belum bisa dikerjakan tenaga kerja lokal.
Sementara itu, tentu ada beberapa tenaga kerja asing yang melakukan pelanggaran keimigrasian. Terkait hal itu, pengawasan terhadap tenaga kerja asing pun diperketat.
Kenyataan ketenagakerjaan tersebut menimbulkan pertanyaan, Apakah kompetensi tenaga kerja kita masih kalah jauh dengan tenaga asing? Tentu, kenyataan ini bisa disebabkan banyak faktor, termasuk yang bersifat ekonomis dan politis.
Di sisi lain, kenyataan ini juga menimbulkan pertanyaan, Sudahkah pendidikan kita mencetak tenaga siap kerja? Bagaimanapun, kompetensi tenaga kerja harus didapatkan melalui lembaga pendidikan. Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa fakta-fakta pendidikan kita belum mendukung lahirnya tenaga-tenaga ahli dari bangsa kita sendiri.
Sementara itu, salah satu tekad Joko Widodo adalah mendorong kualitas pendidikan vokasi. Tentu, tekad ini harus segera diimplementasikan oleh Kemenristekdikti. Bukan tanpa masalah, upaya untuk mengembangkan pendidikan vokasi bisa menemui beberapa kendala. Apa saja kendala? Dan, apa saja upaya pemerintah untuk menghadapi kendala-kendala berikut?
1. Dosen Harus Lulusan S2 yang Lebih Menguasai Akademik ketimbang Praktik
Syarat pengajar perguruan tinggi minimal berpendidikan S2 (adapun yang di bawah S2 tidak berhak naik jabatan fungsional). Sayangnya, akademisi S2 cenderung text book. Padahal, dibutuhkan pengajar yang dapat mendidik mahasiswa secara dinamis dan inovatif, tak terpaku pada text book.
Terkait dengan tantangan ini, Menristekdikti membuat terobosan bahwa dosen tidak harus berpendidikan S2, tetapi memiliki level kualifikasi 8 menurut KKNI. Selain lulusan S2, level 8 ini ditempati oleh Spesialis I dan lulusan S2-Terapan.
Sayang, sampai sekarang Tim Dunia Dosen belum menemukan informasi valid tentang UU dan implementasi terkait terobosan tersebut.
2. Jumlah Perguruan Tinggi Vokasi Sedikit
Sebetulnya jumlah perguruan tinggi di Indonesia sudah terlalu banyak. Berdasarkan data PPDIKTI, ada 4.524 perguruan tinggi di Indonesia. Namun untuk perguruan tinggi vokasi seperti politeknik dan institut teknologi, jumlahnya masih sedikit.
Jumlah perguruan tinggi vokasi kurang dari 400 atau sekitar 9% dari jumlah keseluruhan perguruan tinggi. Jumlah ini juga masih sangat jauh jika dibandingkan SMK yang berjumlah 5.545 unit.
Berdasarkan persentase, jumlah perguruan tinggi vokasi kita juga sangat jauh jika dibandingkan di Republik Rakyat Tiongkok. Perbandingan perguruan tinggi vokasi dan akademik di sana adalah 60:40.
Berdasarkan fakta tersebut, pemerintah harus mengatur strategi agar pertumbuhan jumlah perguruan dan prodi vokasi meningkat untuk menyiapkan tenaga kerja ber-skill tinggi. Terkait itu, setidaknya Kemenristekditi tetap memberi kesempatan pendirian perguruan tinggi dan pembukaan prodi baru di bidang vokasi selama moratorium pendirian perguruan tinggi berlaku sejak 1 Januari.
3. Keterbatasan Modal
Pendirian perguruan tinggi dan prodi vokasi terkendala keterbatasan modal. Pendidikan vokasi fokus pada praktik. Artinya, harus ada fasilitas pendukung seperti mesin atau alat-alat yang tentu saja mahal bagi suatu yayasan. Hal ini bisa diatasi apabila perusahaan dan pemerintah mendukung pendirian perguruan tinggi vokasi.
Pemerintah bisa mendirikan perguruan tinggi yang memiliki ikatan dinas dengan kementerian. Yang sudah ada misalnya Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Yogyakarta yang secara kedinasan di bawah Kementerian Informasi dan Komunikasi.
Perusahaan juga bisa mendirikan perguruan tinggi vokasi melalui badan hukum yayasan. Contoh yang sudah ada yaitu PT Astra Honda yang mendirikan Yayasan Federal Bina Ilmu untuk mendirikan dan mengola Politeknik Manufaktur Astra.
4. Pembukaan Jurusan Vokasi Baru Dibatasi UU Pendirian Perguruan Tinggi
Tampaknya niat untuk merevitalisasi pendidikan tinggi vokasi kurang diterapkan sepenuh hati oleh pemerintah sendiri. Adanya Peraturan Menteri Ristek dan Perguruan Tingga (Menristekdikti) Nomor 50 Tahun 2015 dianggap membelenggu pembukaan prodi vokasi.
Hal ini yang sempat ditanggapi Dekan Sekolah Vokasi UGM, Hotma Prawoto. Menurut Hotma, hal yang membelenggu adalah jumlah prodi vokasi tidak lebih dari satu dalam satu daerah. Selain itu, ketetapan universitas tidak boleh membuka program studi vokasi lebih dari 10 persen.
5. Pandangan bahwa gelar Sarjana Lebih Unggul daripada Diploma
Tantangan pendidikan tinggi vokasi tidak hanya datang dari elit pemerintah dan pengelola perguruan tinggi saja. Adapun tantangan yang muncul dari masyarakat, yaitu pola pikir bahwa mendapatkan gelar sarjana lebih bergengsi daripada ahli madya (D3).
Kenyataannya, gelar sarjana belum menjamin seseorang untuk siap bekerja. Kompetensi yang didalami selama kuliah belum tentu langsung dibutuhkan dunia kerja.
Selama di jenjang S1, peserta didik lebih difokuskan pada kompetensi akademik. Maka, tidak heran jika mahasiswa S1 lebih mumpuni dalam bidang penelitian, pengembangan, dan pemberdayaan. Karier di bidang akademik lebih cocok dengan kompetensi mereka. Permasalahannya, tidak semua sarjana ingin melanjutkan karier di bidang akademik.
Sementara di tingkat sekolah menengah, SMA lebih banyak dipilih peserta didik ketimbang SMK. Dari sini pun berkembang berbagai pelabelan negatif yang tidak perlu disematkan kepada sebagian murid SMK, seperti kurang pintar dan suka melanggar aturan.
Pola pikir yang salah kaprah ini bisa kita maklumi tetapi juga harus segera diubah. Kita perlu memahami bahwa sistem pendidikan kita sejak dulu lebih fokus pada penilaian akademik, ketimbang keterampilan dan budi pekerti.
Maka dari itu, perlu ada upaya edukasi kepada masyarakat dan peserta didik di tingkat SMP bahwa pendidikan vokasi adalah pilihan terbaik untuk memasuki dunia kerja dengan lebih mudah. Selain itu, pendidikan vokasi menjanjikan untuk mengembangkan karier hingga menjadi spesialis dan lebih bersaing dalam hal ketenagakerjaan di tingkat global.
Seperti yang dilansir dari website Kopertis 12, Hotma juga pernah mengatakan, “Vokasional adalah jawaban atas kedaulatan bangsa. Kalau kita hanya mengembangkan sains itu akan memperbesar ketergantungan kita pada negara-negara maju. Tapi dengan vokasional ini kita bisa melakukan mulai dari hal-hal yang paling sederhana.”
Jika edukasi ini berhasil tentu bisa meningkatkan permintaan (demand) calon peserta didik untuk melanjutkan studi di pendidikan vokasi.
Baca juga: Tanggapan Netizen Terkait Revitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi
Demikian beberapa tantangan dalam memajukan kualitas pendidikan vokasi di Indonesia. Tantangan-tantangan itulah yang perlu dipertimbangkan pemerintah jika tetap bertekad memajukan pendidikan vokasi.
Jika pendidikan vokasi maju, kesempatan anak bangsa untuk memasuki dunia kerja atau industri lebih terbuka lebar. Anak-anak bangsa akan tumbuh menjadi tenaga-tenaga ahli yang diperhitungkan negara bahkan dunia. Jika visi ini terwujud di masa depan, tentu Indonesia tidak perlu “mengimpor” banyak tenaga kerja asing.
Sumber bacaan:
- Kemenperin Klaim Pengawasan Tenaga Kerja Asing Sudah Ketat
- Komitmen Pemerintah terhadap Pendidikan Vokasi Dipertanyakan
- Makalah: Permasalahan Pendidikan di Indonesia
- Modal Jadi Kendala Vokasi
- Peraturan Menristekdikti Soal Sekolah Vokasi Dipertanyakan