Persoalan mengenai vokasi dengan industri memang menjadi polemik yang masih hangat diperbincangkan. Di mana kondisi yang terjadi saat ini adalah adanya ketidaksinkronan antara kompeten lulusan vokasi dengan kebutuhan industri atau dunia kerja.
Meskipun hal ini sudah menjadi tantangan, namun munculnya tantangan baru saat ini ialah ketika terjadinya pandemi COVID-19. Penyelesaian dan strategi untuk menyelesaikan masalah ini pun akan bergeser, mengikuti arus permasalahan yang sedang dihadapi.
Beranjak dari isu inilah, webinar bertajuk “Strategi Pernikahan Massal (Link and Match) Vokasi dan Industri Pasca Pandemi COVID-19” menjadi salah satu wadah berdiskusi bersama. Webinar yang diadakan Kamis (03/04/2021) ini mendatangkan dua keynote speaker yaitu bapak Wikan Sakarinto, Ph.D selaku Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dan ibu Ir. Hetifah Sjaifudian selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RI dan Ketua Forum Perempuan Insinyur – Persatuan Insinyur Indonesia.
Webinar ini diawali dengan sambutan oleh Sugianto Halim MMT selaku Direktur Utama dari Sevima, yang membahas mengenai tantangan saat ini di dunia industri, bagaimana menerapkan link and match dengan kalangan akademisi. Bapak Halim juga menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Bapak Menteri dan Kemendikbud mengenai Kampus Merdeka.
Namun yang disayangkan adalah semenjak adanya pandemi COVID-19 ini memang menjadi hambatan dalam berjalannya beberapa program yang direncanakan. Maka melalui webinar yang dihadiri oleh ratusan peserta pada platform Zoom dan Youtube ini, membahas beberapa arahan terkait strategi pernikahan massal vokasi dan industri oleh dua pembicara utama dan juga sesi diskusi yang diramaikan bersama beberapa narasumber dari perguruan tinggi vokasi se-Indonesia.
Daftar Isi
ToggleMenuju Pendidikan Vokasi Berdaya Saing Global
Dalam webinar kali ini, keynote speaker pertama yang membahas persoalan nikah massal ini adalah Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RI dan Ketua Forum Perempuan Insinyur – Persatuan Insinyur Indonesia. Ibu Hetifah sedikit banyak memberikan tips serta arahan bagi perguruan tinggi vokasi untuk mewujudkan link and match atau yang disebut juga dengan istilah nikah massal.
Teknologi Menjadi Salah Satu Kunci
Ir. Hetifah membuka topik dengan membahas bagaimana pentingnya teknologi yang secara global ini kian mengalami perubahan. Banyaknya perubahan dan disrupsi di bidang teknologi, sosiokultural, dan lingkungan menyebabkan cara bekerja di masa depan akan jauh berbeda dibandingkan dengan masa ini. Maka dari itu, vokasi diharapkan dan dijadikan tulang punggung untuk memberikan berbagai bentuk dan tipe pekerjaan sebagai solusi dari masalah ini.
Kendala Pendidikan Vokasi di Indonesia
Berdasarkan pernyataan Ibu Hetifah “sebetulnya bukan hanya SMK, tapi juga secara umum pendidikan atau lulusan dari diploma maupun universitas kita makin banyak yang tidak bekerja”. Inilah suatu kunci masalah sehingga diperlukan nikah massal atau strategi khusus untuk menanganinya. Beberapa kendala ini di antaranya adalah:
- Komitmen kebersamaan masih lemah dari segala unsur
- Kurikulum belum beradaptasi dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri, seperti adanya ketidakcocokan antara yang diajarkan oleh kampus dengan yang dibutuhkan oleh industri
- Masyarakat secara umum masih belum menyadari bahwa pendidikan vokasi sangat layak menjadi pilihan utama
- Meskipun mengalami pertumbuhan yang pesat, namun alokasi anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan vokasi masih terbilang belum mencukupi
- SDM tenaga pendidik dalam pendidikan vokasi umumnya berlatar belakang pendidikan akademis
Vokasi, Industri, dan Pemerintah yang Saling Bersinergi
Selanjutnya Ibu Hetifah mencari jawaban untuk bagaimana agar masing-masing institusi vokasi, industri, dan pemerintah dapat saling bekerja agar ketiga unsur ini saling bersinergi.
Yang pertama yaitu vokasi dapat melakukan beberapa hal, seperti melakukan program magang dan penempatan langsung dengan pelaku industri, mengembangkan kurikulum dan skema penilaian bersama industri, melatih guru dan mempekerjakan praktisi industri, serta memastikan fasilitas setara dengan standar industri.
Sedangkan untuk industri, yang mencakup asosiasi dan serikat pekerja, dapat mengembangkan bersama kurikulum atau program, memberikan investasi berupa peralatan/infrastruktur pedagogi untuk siswa/mahasiswa, memberikan beasiswa, terlibat aktif dalam program magang dan penempatan langsung seperti yang sejalan dengan program belajar kampus merdeka, menyediakan pelatihan praktis dan relevan untuk dosen/guru vokasi, membuat program pertukaran magang praktisi industri, dan memastikan kesesuaian atau tingkat perekrutan dengan siswa/mahasiswa berdasarkan keterampilan.
Yang terakhir untuk pemerintah, di mana pemerintah dapat mengembangkan dan mengimplementasikan kebijakan untuk menarik keterlibatan industri, memungkinkan otonomi/fleksibilitas yang lebih besar bagi institusi vokasi, memfasilitasi diskusi dan interaksi antara perguruan tinggi vokasi dan industri, memberikan insentif-insentif, mendorong kelompok industri dan vokasi untuk menciptakan distribusi yang merata, mendorong komunikasi komunitas seperti membangun public relations yang baik untuk meningkatkan persepsi publik, serta membentuk jalur yang fleksibel antara jalur akademis dan vokasi dalam ekosistem vokasi dan dari tempat kerja.
SMK Pusat Keunggulan dengan Dunia Kerja
Terdapat visi yang disusun untuk program SMK Pusat Keunggulan. Melalui visi ini diharapkan lulusan SMK bisa diproyeksikan untuk bekerja, melanjutkan studi, maupun berwirausaha. Adapun keselarasan SMK Pusat Keunggulan dengan Dunia Kerja yang ingin dicapai ialah dengan prinsip 8+I Link & Match yaitu adanya keterlibatan dunia kerja di segala aspek penyelenggaraan pendidikan vokasi.
Strategi Nikah Massal Link and Match 8+I
Topik nikah massal dilanjutkan oleh keynote speaker yang kedua yaitu Wikan Sakarinto, Ph.D selaku Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Pak Dirjend memulai pembahasan dengan menjelaskan bagaimana asal mula lahirnya terminologi nikah massal, yaitu berawal dari kata link and match antara vokasi dan industri. Karena ketika sudah link, selanjutnya harus match agar tercapainya yang disebut dengan “nikah”, di mana keduanya cocok dan sudah win-win atau sama-sama menguntungkan.
Dengan adanya strategi nikah massal ini, lulusan yang diharapkan ialah yang memenuhi cakupan kompetensi kognitif (hardskills), softskills, dan integritas. Lulusan dengan kompetensi ini kemudian dapat melanjutkan capaiannya dengan yang disebut Bapak Wikan sebagai “BMW”, yaitu B untuk bekerja, M untuk melanjutkan studi, dan W untuk berwirausaha.
Dunia Kerja Masih Mengeluhkan Lulusan
Ketika lulusan memilih perjalanan hidup B, yaitu bekerja dan memasuki dunia kerja, muncul beberapa keluhan dari dunia kerja karena adanya ketidakcocokan. Dinyatakan oleh Pak Dirjend, Jika masih terdapat keluhan-keluhan pada lulusan kita, artinya tidak terjadi “nikah” atau link and match.
Mengingat semua aspek yang menjadi keluhan di atas termasuk dalam softskills, lantas muncul pertanyaan bagaimana agar dunia kerja atau industri tidak lagi komplen? Dan bagaimana memastikan agar lulusan vokasi sesuai dengan kebutuhan DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri)?
Jawabannya ialah dengan menghasilkan lulusan yang kompeten, yaitu lulusan yang memenuhi perpaduan antara kognitif (hardskills), softfkills, dan integritas (karakter).
Mewujudkan Link and Match 8+I
Dalam menggambarkan permasalahan yang terjadi antara Vokasi dan DUDI ini, Pak Dirjend menyampaikannya dengan ilustrasi tentang memasak. Kampus, SMK, dan LKP (Lembaga Khusus Pelatihan) diibaratkan memasak sendiri (mengedukasi mahasiswanya) yang kemudian setelah selesai akan dicicipi (dilihat, dites, dan dicek) oleh industri. Namun ternyata rasa yang dicicipi oleh industri tidak sesuai dengan keinginannya, artinya kompetensi mahasiswa tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Dengan begitu, maka proses yang disarankan oleh Pak Dirjend Vokasi ialah dengan mewujudkan langkah-langkah dari link and match 8+I. Seperti yang sudah disampaikan oleh Ibu Hetifah sebelumnya, 8+I inilah yang menjadi kunci untuk mencapai link and match. “Link and match 8+I itu adalah standar minimum kalau berani mengaku sudah menikah sama industri dan dunia kerja,” ujar Wikan.
Pak Dirjen juga menekankan bahwa untuk mencapai kolaborasi ini, bukan hanya bergantung pada dekan atau rektor yang berhasil menciptakan MoU/PKS (Perjanjian Kerja Sama) dengan industri saja, melainkan juga melibatkan mindset guru atau dosen di dalamnya. Mindset yang dimaksud adalah mindset dosen yang tidak mampu mengajarkan softskills.
Penulis: duniadosen.com/NurfadhelaFaizti