Categories: Inspirasi

Sri Wiyanti Eddyono, Dari Praktisi Menjadi Dosen Berprestasi

Sri Wiyanti Eddyono, Dari Praktisi Menjadi Dosen Berprestasi – Bekerja sebagai dosen, memang menjadi suatu profesi yang membanggakan. Tak ayal, profesi dosen menjadi salah satu cita-cita favorit. Namun, tak sedikit pula ternyata para dosen yang memulai karir mengajarnya bukan karena cita-cita, melainkan dimulai sebagai praktisi. Di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), ada banyak pakar hukum yang mengawali karir di luar akademik. Salah satunya Dr. Sri Wiyanti Eddyono, SH, LLM (HR).

Bu Iyik, begitu panggilan akrabnya, adalah salah satu dosen di FH UGM. Saat ini, perempuan alumni S2 dari The University of Hongkong dan S3 Monash University, Australia tersebut menjabat sebagai sekretaris pengelola Magister Ilmu Hukum FH UGM. Menariknya, jabatan tersebut dimandatkan kepadanya saat baru menjadi dosen di UGM satu tahun.

Setelah menamatkan pendidikan di Monash University, Bu Iyik kemudian melamar menjadi dosen di UGM dan diterima pada 2016 di Departemen Hukum Pidana yang kemudian mendapat mandat untuk mengelola Magister Ilmu Hukum FH UGM.

”Waktu itu saya baru satu tahun menjadi dosen, tapi dimandatkan mengelola Magister Ilmu Hukum. Namun, dekan waktu itu Prof. Sigit Riyanto bilang di UGM tidak ada seperti itu, jabatan tidak berpatokan dengan lamanya mengajar. Kalau diberi amanah ya dijalankan. Dan mulai saat itu saya mencoba beradaptasi,” terang dosen yang pernah mengajar di FH Universitas Indonesia tersebut.

Sebagai Praktisi Hukum

Bu Iyik tergolong dosen baru di UGM. Sebelum menjadi dosen tamu dan Collaborative Teaching di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) pada 1999 sampai 2007, Bu Iyik adalah seorang praktisi hukum. Dia pernah melakukan praktik pengacara dan bekerja di Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan menangani berbagai kasus hukum.

Dr. Sri Wiyanti Eddyono, SH, LLM (HR) yang juga alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada lulusan 1996. (Sumber: Facebook)

Sebagai praktisi, Bu Iyik tidak hanya menangani kasus, namun juga melakukan penanganan dan mengadakan program pelatihan penegak hukum semacam workshop dengan pengacara, hakim, polisi, dan jaksa. Meski demikian, saat melakukan praktik pengacara tersebut, Bu Iyik merasa dirinya perlu terjun ke dunia akademik sebagai dosen.

”Dari proses itu saya tahu bahwa penegak hukum harus di-challenge keberpihakannya dan harus di-update pengetahuannya. Tapi, kalau kita baru intervensi saat dia jadi penegak hukum, saya jadi berpikir, kenapa nggak memengaruhi dari awal saja saat jadi mahasiswa agar pemahamannya lebih kuat,” ujar dosen yang pernah meraih Allison Sudrajat Awards itu.

Tertarik Menjadi Dosen

Menurutnya, melakukan sosialisasi hukum perlu dilakukan sedini mungkin. Saat itu Bu Iyik pikir harus lebih banyak masuk ke kampus untuk memengaruhi dosen dan mahasiswa. Gayung bersambut, FH UI pun meliriknya dan menjadikan Ibu dengan dua putri ini sebagai dosen tamu. Karena dianggap memiliki pengalaman dalam bidang hukum.

”Dari situ saya mulai tertarik untuk mengajar. Pengalaman saya sebagai praktisi cukup banyak, mulai dari yang baik, buruk, hukum yang tidak ideal. Kalau saya punya kesempatan, saya harus balik ke kampus,” serunya. Perlahan, kecintaannya terhadap profesi dosen mulai muncul.

Perempuan yang pernah mendapatkan penghargaan Australia Leadership Awards (ALA) tersebut mengaku dosen-dosen dan kultur akademik di Monash University, tempatnya mengenyam pendidikan doktoral turut menginspirasinya menjadi dosen.

”Ketika saya di Monash University, saya senang dengan dunia kampus. Saya melihat dosen di sana integritasnya baik, perspektif luas, dan dekat dengan mahasiswa. Saya jadi tertarik untuk menjadi dosen,” kenangnya.

Menurutnya, setiap pengalaman bertatap muka dengan mahasiswa amat berkesan. Interaksi dengan mahasiswa baginya hal yang luar biasa. Setiap orang punya potensi yang perlu dikembangkan. Ada banyak mahasiswa yang curhat masalah pribadi kepadanya. Sebagai seorang dosen pun, Bu Iyik harus membuka diri sehingga mahasiswa juga terbuka. ”Kalau bisa bantu, ya saya bantu. Anak muda itu dinamis. Saya belajar banyak dari mereka,” katanya seraya tersenyum simpul.

Sebagai salah satu pengelola program Magister Ilmu Hukum, Bu Iyik sadar betul kampus memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas hukum di Indonesia. Indonesia tidak hanya Jawa, tapi pihaknya juga mendorong kontribusi aktif membantu kapasitas hukum di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). ”Selain itu, kampus harus semakin lebih dekat dengan kehidupan masyarakat, dan harus repsonsif. UGM harus menjadi rumah masyarakat lokal maupun internasional,” tegasnya.

Dosen Berprestasi – Fokus Bidang Perempuan dan HAM

Tak hanya sibuk di kampus, perempuan yang pernah menjadi peneliti di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tersebut juga memiliki berbagai kesibukan di luar kampus, terutama dalam isu perempuan dan HAM. ”Balik dari kuliah, saya terpilih menjadi komisioner Komnas Perempuan. Kemudian, saya membuat lembaga riset dan menjadi direktur di sana. Fokus kajian kami adalah hukum dan konsultasi,” terang direktur Semarak Cerlang Nusa Consultancy, Research, and Education for Social Transform (SCN CREST) tersebut.

Tak hanya itu, pada Maret 2018 lalu, Bu Iyik bersama dua belas dosen FH UGM mendirikan Pusat Kajian Hukum, Perempuan, dan Masyarakat di UGM. Pusat kajian tersebut fokus menyoroti kajian, penelitian, dan pengabdian kajian hukum terkait isu kelompok marjinal (perempuan, anak, disabilitas). Bertemakan access to justice yaitu, peran perempuan dalam mencegah radikalisme, perlindungan pekerja migran, dan sebagainya. ”Intinya, bagaimana hukum merespons dan memberikan perlindungan kepada kelompok marjinal. Kami bekerja sama dengan Monash University Australia, Migrant Care, dan International Organisation of Migration (IOM) Indonesia,” terangnya.

Bu Iyik sejak lama fokus kepada isu perempuan dan kaum marjinal. Sejak berada di bangku kuliah, perempuan berkacamata tersebut getol memperjuangkan isu-isu perempuan. Sejak mahasiswa sudah tergabung dalam lembaga studi perempuan dan anak. Ia juga berkeliling Indonesia untuk melihat kondisi perempuan. Wacana keadilan gender sudah menjadi bagian dari dirinya. Ia merasa hidupnya harus bisa memperjuangkan hak-hak perempuan.

Harus Mandiri dan Kontributif

Bu Iyik ingin menjadi bermanfaat untuk orang lain melalui perjuangannya dalam isu perempuan, masyarakat marjinal, dan HAM. Baginya penghargaan itu hal kesekian. Yang utama adalah harus menjadi mandiri dan kontributif. ”Saya selalu ingin berkontribusi. Saya berhasil mendorong pengesahan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan mengembangkan pelatihan paralegal dan masyarakat biasa yang bisa menangani kasus hukum,” ungkap perempuan yang pernah melakukan advokasi kebijakan untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut berbinar.

Dr. Sri Wiyanti Eddyono, SH, LLM (HR) lakukan advokasi untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Sumber: Facebook)

Disinggung terkait fokusnya di bidang hukum, baginya hukum sangat erat kaitannya dengan isu perempuan, kaum marjinal, dan HAM yang menjadi fokusnya.  “Hukum dapat menjadikan amunisi bagi permepuan dan masyarakat untk memperjuangkan haknya. Apalagi kita saat ini masih terkungkung dalam kehidupan yang sangat patriarkis,” ujarnya menggebu.

Kesibukannya di bidang akademik maupun luar kampus membuatnya menjadi orang super sibuk. Bagaimana cara membagi waktu? ”Kunci utamanya ya bekerja sama dengan suami dan pembantu rumah tangga (PRT). Itu harus. Saya menjaga untuk tidak membuka komputer hari Sabtu, salah satu upayanya ya itu. Senin sampai jumat saya fokus bekerja. Prinsip saya semua penting,” tegasnya.

Hobi Menulis

Disinggung ihwal rencana ke depan sebagai dosen, Bu Iyik mengaku sangat ingin menulis. ”Di kampus ada kewajiban penelitian, saat ini sedang mengembangkan riset kolaboratif. Namun, saya ingin sekali menulis buku. Saya senang menulis, membaca, dan senang traveling. Saat penelitian, itulah kesempatan saya traveling, kemudian share hasil penelitian melalui buku. Namun, juga ingin (menulis-red) novel juga,” ucapnya sumringah.

Bu Iyik mengaku sudah ada beberapa buku yang siap terbit tahun ini. ”Ada dua buku yaitu Womens Empowerment in Indonesia dan Womens Rule in Preventing Radicalisme yang terbit Desember 2018 nanti,” katanya. Selain itu, ia ingin menyisihkan waktu untuk fokus menulis tahun depan.

”Menulis itu menyosialisasikan ide. Nulis itu butuh waktu tenaga pikiran. Sekarang, terus terang saya terengah-engah. Waktu mengajar banyak, rapat juga banyak. Saya merasa, kalau mau fokus nulis, harus ada waktu untuk cooling down. Tahun depan saya ingin mengatur waktu untuk menulis ttg isu perempuan dan hukum,” tutupnya. (az/duniadosen.com)

Redaksi

Recent Posts

Cara Menyusun Artikel Jurnal dengan Prinsip Piramida Terbalik

Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…

4 days ago

Time Table dan Manfaatnya dalam Melancarkan Penelitian

Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…

4 days ago

Syarat dan Prosedur Pengajuan Pindah Homebase Dosen

Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…

4 days ago

Scope Jurnal & Cek Dulu Agar Naskah Sesuai Jurnal Tujuan

Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…

4 days ago

6 Cara Mengecek DOI Jurnal, Pahami untuk Isian Publikasi

Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…

4 days ago

Cara Mengecek Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi, Pahami Sebelum Publikasi

Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…

5 days ago