Inspirasi

Sri Rum Giyarsih, Tak Sengaja Tekuni Geografi dan Kini Jadi Ahli

Sri Rum Giyarsih, Tak Sengaja Tekuni Geografi dan Kini Jadi Ahli.

Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki banyak dosen-dosen berkualitas secara akademik. Perguruan tinggi peringkat dua nasional tahun 2018 menurut Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tersebut, memiliki persebaran dosen berkualitas di masing-masing bidang ilmu. Dalam bidang ilmu kewilayahan dan kependudukan, UGM memiliki Sri Rum Giyarsih.

Sri Rum Giyarsih adalah dosen di Fakultas Geografi UGM sekaligus kepala prodi (kaprodi). Sejak 2011, perempuan berusia 49 tahun tersebut menjabat posisi tertinggi di Prodi S2 dan S3 Kependudukan UGM. ”Secara legal-formal, sebenarnya saya selesai menjadi kaprodi pada 2015. Namun, karena pertimbangan tertentu yang saya sendiri tidak tahu alasan spesifiknya, saya dipertahankan sampai saat ini,” ujarnya.

Rum, panggilan akrabnya, meski saat ini memegang tampuk kepemimpinan sebagai ketua prodi S2 dan S3 Kependudukan UGM, pada awalnya sama sekali tak bercita-cita menjadi dosen. ”Saya masih ingat betul sewaktu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, guru saya menanyakan apa cita cita saya ke depan, maka waktu itu saya menjawab saya ingin menjadi seorang penjahit walaupun sampai sekarang saya sama sekali tidak bisa menjahit baju,” ujarnya.

Rum melanjutkan, cita-citanya tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi yang saat itu tidak terlalu bagus. ”Cita-cita saya waktu itu adalah gambaran cita-cita sedehana seorang anak desa yang terlahir dari keluarga miskin,” katanya kepada tim duniadosen.com.

Saat menjadi mahasiswa pun, Rum tidak bercita-cita menjadi dosen. ”Cita cita saya ketika mahasiswa adalah menjadi konsultan bidang perencanaan pembangunan wilayah. Cita-cita sebagai dosen tidak pernah terbersit sedikitpun di benak saya,” lanjutnya.

Menolak Putus Asa Meski Berasal dari Keluarga Tak Berada

Rum adalah dosen yang memiliki kisah unik di masa lalu. Dosen yang sering ke berbagai daerah untuk memfasilitasi pelatihan tersebut, bukan berasal dari keluarga berada. Bahkan, Rum pernah mengalami belajar menggunakan penerangan temaram dari sorot lampu minyak tanah saat mahasiswa.

”Sejak kecil saya belajar dalam temaramnya lampu minyak tanah. Kemiskinan itulah yang menjadikan keluarga kami tidak mampu membayar biaya pemasangan instalasi jaringan listrik. Sampai saya lulus S1, rumah saya masih menggunakan penerangan lampu minyak,” kenangnya.

Meski begitu, Rum menolak putus asa. Baginya, kemiskinan tak bisa dijadikan alasan untuk bermalas-malasan dan meredupkan mimpi yang ada dalam diri. Justru, menurut Rum, kemiskinan itulah yang menjadi motivasinya untuk maju. ”Kemiskinan itu yang membuat saya mempunyai komitmen yang tinggi dan tak mudah putus asa ketika banyak hambatan mulai menghadang,” ungkapnya.

Pun, dukungan keluarga menjadi salah satu motivasinya untuk tetap semangat menghadapi hidup. Bagi Rum, doa restu dan dukungan orang tua adalah satu hal yang penting dalam hidup. Ia selalu minta doa restu orang tua dalam setiap langkah hidupnya. ”Yang terakhir adalah usaha secara fisik tak akan ada artinya, apabila tidak disertai dengan doa kepada Tuhan karena Tuhanlah skenario kehidupan Yang Maha Sempurna. Saya percaya ampuhnya doa kepada Tuhan,” jelasnya.

‘Tak Sengaja’ Menekuni Bidang Geografi

Saat ini, Rum mendedikasikan kehidupan akademiknya untuk mengembangkan kajian tentang geografi di Fakultas Geografi UGM. Namun, ternyata Geografi bukanlah disiplin ilmu yang dia pilih dengan sengaja. Saat itu keinginannya hanya masuk UGM, dan tidak peduli jurusannya apa. Ia memiliki tekad harus bisa berkuliah di UGM, karena jika di luar kota, orang tuanya harus mengeluarkan biaya kos.

”Saat itu, ada kakak kelas saya di SMA diterima di Geografi UGM. Terinspirasi oleh dia, saya memutuskan untuk memilih Fakultas Geografi UGM dengan harapan dapat diterima tanpa tes dan alhamdulillah saya diterima melalui jalur PMDK waktu itu,” cerita Rum.

Padahal, saat itu Rum mengaku sama sekali tidak tahu apa saja yang akan dipelajari di bidang geografi. Setelah ia menjadi mahasiswa di Fakultas Geografi UGM, ternyata Rum sangat mencintai bidang ilmu tersebut. ”Ini juga didasarkan pada keyakinan apa yang saya alami sudah menjadi kehendak Tuhan dan saya harus menerimanya. Untuk bisa menerimanya, maka saya harus mencintainya. Maka sejak saat itulah saya mencintai bidang ilmu Geografi sampai sekarang,” tuturnya.

(sumber foto: Pusat Penelitian Kependudukan Lipi)

Perempuan kelahiran Bantul, 8 Mei 1969 tersebut memiliki berbagai prestasi mentereng di bidang akademik, di antaranya penerima hibah dari Badan Penerbit dan Publikasi (BPP) UGM sejak 2014 sampai sekarang, peraih predikat dosen teladan Fakultas Geografi 2003, dosen berprestasi Sekolah Pascasarjana UGM 2014, dan peraih penghargaan Anugerah Satyalancana Karya Satya 25 Tahun Pengabdian Kepada Pemerintah Republik Indonesia pada 2017 lalu. Satyalancana Karya Satya adalah sebuah tanda penghargaan yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang telah berbakti selama lebih dari 20 tahun.

Selalu Ingin Menghasilkan Manfaat

Selain prestasi-prestasi prestisius yang diraih, Ibu Rum merupakan salah satu dosen yang dicintai mahasiswanya karena dianggap tak memiliki sekat dengan mahasiswa. Rum bersredia siap 24 jam untuk melayani mahasiswa, dan menyilakan jika ingin menghubunginya kapan saja.

Perempuan yang tinggal di Kasihan, Kabupaten Bantul tersebut menganggap dirinya adalah ‘pelayan’ bagi mahasiswa. Menurutnya, sukses adalah ketika seseorang bisa bermanfaat untuk orang lain.

Rum menjadi dosen sejak 1993 yang dimulai sebagai dosen honorer selama kurang lebih satu tahun. Ia selalu ingin menjadi bermanfaat untuk orang lain. Ia mengibaratkan, dosen adalah penjual, sementara mahasiswanya adalah pembelinya. ”Pembeli itu raja. Hidup-mati saya sebagai dosen harus melayani mahasiswa,” lanjutnya.

Rum pernah mengalami pengalaman berkesan ketika menjadi dosen. Satu hal, ketika beberapa kali ia memberi manfaat bagi mahasiswa. Wujud manfaatnya adalah beberapa kali punya mahasiswa bimbingan bercerita pada Rum tentang persoalannya. ”Nggak hanya akademik, namun juga masalah keluarga dan lain sebagainya. Ketika saya menjadi solusi bagi mereka, bagi saya itu yang paling berkesan,” ujarnya berbinar.

Perjalanan panjang dalam bidang pendidikan cukup membuat perempuan yang juga menjadi dosen di prodi Ketahanan Nasional UGM tersebut, lebih kuat dalam menghadapi problema hidup. Rum pernah mengajukan diri menjadi Guru Besar pada 2014. Namun, karena ada kendala, maka kesempatan tersebut baru datang tahun ini.

”Allah adalah pengatur skenario terbaik hidup manusia. Meski menyakitkan, namun saya yakin itu yang terbaik bagi saya. Mungkin, jika dikabulkan saat itu, saya bisa sombong. Makanya baru dikasih tahun ini,” ucapnya sambil tersenyum.

Dr. Sri Rum Giyarsih, S.Si., M.Si., bersama rekan dan mahasiswanya ketika berkunjung di Kantor Pusat Kependudukan Lipi. (sumber foto: Pusat Penelitian Kependudukan Lipi)

Melansir Google Schoolar, sampai saat ini penulis buku Aspek Sosial Banjir Lahar (2014) tersebut telah menerbitkan 125 publikasi ilmiah, mayoritas di antaranya masuk jurnal internasional seperti Scopus, DOAJ, Thompson Reuters, Copernicus, dan Prosiding Seminar Internasional. Pun, Rum juga pernah menulis buku kolaborasi bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Nagoya, Jepang pada 2010 berjudul Comparative Study of Settlement Quality Before and Post Earthquake at Pleret District Bantul Regency (Geographical Perspective).

Komitmen, Kunci Sukses Membagi Waktu

Di luar kehidupannya sebagai dosen di berbagai prodi di UGM, Rum mengaku masih bisa produktif di luar kampus. Sebagai bentuk Tri Dharma Perguruan tinggi bidang pengabdian, Rum cukup aktif mengikuti kegiatan luar kampus. Di luar keterlibatan akademik, perempuan yang memiliki dua anak tersebut pernah di Koalisi Kependudukan Indonesia.

”Sekarang aktif di Srikandi Sungai Indonesia, yautu bentuk komunitas nirlaba yang tujuannya mengelola lingkungan, fokusnya ke kelestarian sungai,” jelasnya.

Selain itu, Rum juga aktif mengisi pelatihan dalam bidang kependudukan, penulisan jurnal, dan perbedayaan masyarakat. Dibalik berbagai kesibukannya, Rum sadar dia masih memiliki kewajiban di sektor domestik. Dia bersyukur bahwa keluarganya sangat suportif dalam kaitannya dengan kehidupan akademiknya.

”Dalam keluarga, ada bentuk gotong royong. Meski perempuan identik di sektor domestik, saya tetap bisa bagi waktu dengan baik. Saya tak punya pembantu, tapi keluarga tidak membatasi gerak saya untuk mengembangkan diri,” terangnya.

Untuk membagi waktu antara peran saya di sektor publik dan sektor domestik Ibu Rum menjelaskan komitmen adalah kuncinya. Komitmen, yaitu tetap menjalankan peran keduanya sesuai dengan peran masing-masing. Artinya tetap menjalankan tugasnya sebagai dosen tetapi juga kewajibannya sebagai ibu rumah tangga tidak terbengkalai.

Dosen yang fokus pada masalah tata wilayah tersebut, menilai anak muda perlu semangat dalam menjalani hidup. Menurut Rum, semangat akan muncul ketika seorang sadar apa yang dilakukan akan menghasilkan manfaat.

“Kalau kita yakin pekerjaan kita memberi manfaat, maka kita terus semangat untuk menjalaninya. Saya yang tua saja masih semangat belajar dan maju terus, mahasiswa yang lebih muda harus lebih. Capaiannya harus lebih daripada saya,” tutup alumni S1 Jurusan Perencanaan Pengembangan Wilayah dan S2 serta S3 Geografi tersebut menggebu.

Tantangan Dosen dan Kiat Menghadapinya

Dr. Sri Rum Giyarsih, S.Si., M.Si (Kaprodi S2 Kependudukan UGM) dalam kuliah umum “Kemiskinan & Ketimpangan” di Gedung KLMB Fak. Geografi UGM, Rabu (18/04/2018). (Sumber foto: facebook)

Menurut Rum, dosen memiliki tantangan dalam kaitannya dengan profesinya sebagai salah satu pelaku yang bekerja di lembaga yang berfungsi sebagai produsen ilmu pengetahuan. Dosen dituntut untuk terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak terkecuali dalam era revolusi industri 4,0. Pun, interaksi dosen dengan mahasiswa juga perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Bagi Rum, mahasiswa adalah pribadi yang unik. Ketika menghadapi seribu mahasiswa, artinya dosen harus memahami seribu karakter yang berbeda. Maka dari itu, dosen perlu memposisikan diri dengan benar.

”Pada prinsipnya, siapapun orangnya ingin selalu dicintai dan dihargai. Demikian pula dengan mahasiswa. Saya berusaha untuk mencintai dan menghargai mahasiswa. Oleh karena itu, saya selalu berusaha untuk memperlakukan mahasiswa dengan baik. Itulah yang membuat saya dekat dengan mahasiswa,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)

Redaksi

Recent Posts

Biaya Kuliah S3 di Dalam dan Luar Negeri

Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…

2 days ago

5 Tips S3 ke Luar Negeri dengan Membawa Keluarga

Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…

2 days ago

Syarat dan Prosedur Kenaikan Jabatan Asisten Ahli ke Lektor

Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…

2 days ago

Perubahan Status Aktif Dosen Perlu Segera Dilakukan

Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…

2 days ago

7 Jenis Kejahatan Phishing Data yang Bisa Menimpa Dosen

Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…

2 days ago

Cara Menambahkan Buku ke Google Scholar Secara Manual

Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…

2 days ago