Hayat, S.AP., M.Si. menapaki profesi dosen di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang (Unisma) sejak tahun 2012. Ia mengungkapkan, upayanya meraih gelar sarjana dan menjadi dosen adalah perjuangan yang luar biasa. Hal tersebut sebagai bentuk usaha mewujudkan cita-citanya sejak kecil yaitu menjadi pendidik.
Menurutnya menjadi dosen merupakan pekerjaan yang menggabungkan antara pekerjaan fisik dan psikologis. Dinamika kehidupan menjadi dosen sangat dinamis dan masuk ke semua lini dan aspek. Sebagai dosen, ia dapat mengembangkan keilmuan secara berkelanjutan dan menyesuaikan kondisi atau zamannya. Dunia dosen juga memberikan inspirasi untuk melakukan kebaikan-kebaikan dengan cara mengajarkan, mengamal, dan menemukan ilmu.
“Profesi dosen adalah profesi yang sangat mulia dan berharga karena mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan handal untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik dan berdaya saing. Di samping tuntutan untuk melakukan riset dan pengabdian sebagai alternatif menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat,” ujar Hayat kepada tim duniadosen.com.
Bagi dosen Unisma, ia mengampu mata kuliah yang sesuai dengan bidang keilmuannya, yaitu: 1) Manajemen Pelayanan Publik; 2) Hukum Administrasi Negara; 3) Reformasi Administrasi Negera; 4) kebijakan Publik; dan 5) Asas-asas Manajemen ini, meraih gelar dosen adalah perjuangan yang sangat luar biasa karena waktu itu persyaratan untuk menjadi dosen sudah diberlakukan bergelar magister (S2).
Masa-masa kecilnya ia habiskan di kampung halaman di Sampang. Kampung tersebut masih terbilang jauh dari hiruk-pikuk. Walaupun tidak termasuk daerah yang terbelakang tetapi masyarakat di kampungnya masih rendah tingkat pendidikannya. Rata-rata mereka lulusan SD atau SMP. Hayat mengaku sempat mengikuti jejak seperti teman-temannya di kampung. Setelah lulus dari Madrasah Tsanawiyah (MTs)/setingkat Sekolah Menengah Pertama, ia meminta kepada kedua orang tua untuk melanjutkan ke pendidikan non formal, yaitu pondok pesantren.
“Sebelumnya saya lulusan dari MI (Madrasah Ibtidaiyah). Pendidikan nonformal saya tempuh alasannya adalah karena terpengaruh oleh kondisi dan lingkungan saya, yaitu hampir rata-rata para remaja di kampung saya adalah berpendidikan nonformal pondok persantren salaf,” terang Hayat.
Tiga tahun berselang, ia memutuskan untuk berhenti karena mengalami sakit cikungunya. Karena diserang cikungunya, ia lumpuh dan kembali ke rumah. Itulah titik balik dalam kehidupan Hayat. Ia membulatkan tekad untuk melanjutkan pendidikan formal meski tanpa sepengetahuan orang tua. Sejak di pondok pesantren, sebenarnya Hayat telah mempertimbangkan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Lantas ia pun mengunjungi MTs tempatnya sekolah dulu karena lembaga pendidikannya lengkap dari TK, MI, MTs, hingga MA. Ia berkonsultasi dengan salah satu guru agar bisa melanjutkan sekolah. Akhirnya ia bisa diterima dan masuk di sekolah MA tersebut.
“Dengan semangat yang terus membuncah, saya putuskan untuk melanjutkan pendidikan saya ke perguruan tinggi. Karena keinginan untuk menjadi guru masih kuat, saya pilih pendidikan Bahasa Inggris sebagai pilihan di perguruan tinggi. Tetapi di pertengahan semester tiga ada hal yang mengubah alam pikiran saya untuk pindah jurusan, yaitu ke jurusan Ilmu Administrasi Publik,” ungkap lelaki yang bercita-cita menjadi guru sejak kecil tersebut. Setelah berpindah ke jurusan Ilmu Administrasi Publik, ia menikmati aktivitas dan mengikuti perkembangan di dunia akademik.
Usai menuntaskan pendidikan strata 1, ia kembali ke kampung halamannya. Ada sebuah sekolah negeri yang memintanya untuk menjadi guru. Dengan semangat yang kuat, ia menerima tawaran tersebut meskipun bidang keilmuannya tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Setelah tiga tahun, ia merasa tidak mengalami perkembangan dan akhirnya melanjutkan pendidikan magister dengan kondisi biaya yang minim.
“Jiwa idealismenya kadang muncul, maka diputuskanlah untuk melanjutkan ke S2, dengan harapan ada perubahan di dalam diri saya, keluarga saya, maupun lingkungan saya. Maka berangkatlah ke jenjang magister dengan harapan dapat menjadi lebih baik, walaupun pada saat itu kondisi biaya sangat minim. Saya menjual motor saya untuk bisa mendaftar ke tingkat magister, uang hasil jual motor saya pakai untuk uang pendaftaran dan biaya lain-lain termasuk SPP satu semester,” ujar Hayat.
Bahkan di masa itu, ia tidak memikirkan akan tinggal di mana di Malang dan makan apa. Namun ia bertemu dengan seorang teman seangkatan saat S1. Ia tinggal bersamanya temannya sekaligus menjadi karyawan di usaha retail milik temannya tersebut sampai selesai kuliah.
Usai lulus S2, ia diminta mengelola jurnal di Univeristas Islam Malang, tempatnya menempuh pendidikan S1. Awalnya ia diberi tanggung jawab sebagai bagian dari tim pengelola jurnal, belum mendapatkan jam mengajar. Di sana ia belajar menulis dari artikel-artikel yang masuk dan belajar bagaimana menulis yang baik dan benar. Semester berikutnya ia diberikan jam mengajar untuk memulai menjadi dosen dengan tanggung jawab tridharma perguruan tinggi.
Sekian tahun berprofesi sebagai dosen, Hayat mengungkapkan banyak sekali tantangan menjadi dosen seperti menghadapi berbagai karakter mahasiswa, melakukan inovasi-inovasi untuk memberikan transformasi keilmuan yang terupdate, riset yang menjadi tantangan dan harapan, serta tantangan membangun sumber daya manusia yang dapat diterima oleh masyarakat.
“Proses pembelajaran yang smart dan dinamis perlu di bangun di perguruan tinggi dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki serta memberikan ruang yang luas bagi seluruh stakeholder terutama mahasiswa di dalam dunia akademiknya. Pun demikiran keterlibatan mahasiswa dengan tri dharma perguruan tinggi juga perlu untuk terus ditingkatkan guna melahirkan ilmuan-ilmuan yang handal dan mempunyai daya saing tinggi secara global,” ucap Hayat mengenai bagaimana pembelajaran di ranah perguruan tinggi saat ini. Dalam proses pembelajaran, ia sendiri memanfaatkan hasil penelitian termasuk hasil penelitian yang dilakukannya. Harapannya kebaruan informasi tetap didapatkan oleh mahasiswa.
Di sisi lain, ia menekankan pentingnya partisipasi mahasiswa sehingga mahasiswa mendapatkan ruang untuk belajar, berkembang, dan memahami konteks. Di samping itu, ia selalu berusaha untuk menghasilkan output berupa buku yang ditulis secara bersama-sama satu kelas, kemudian di terbitkan menjadi buku pengayaan, atau buku referensi.
Sementara itu dalam ranah penelitian dan pengabdian, Hayat menyatakan mendapatkan banyak pengalaman selama mengelola jurnal saat masih tergabung dalam tim pengelola jurnal. Baginya, mencari tema penelitian tidak mudah, butuh perenungan dan bahan bacaan yang luar biasa banyak dengan penyelesaian yang konkrit dan bagus. Begitu juga ketika harus melakukan pengabdian dengan berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dalam bidang sosial, politik, dan budaya dan lain sebagainya.
Terakhir, Hayat membagikan pengalaman mengesankan saat pertama kali menjadi dosen saya dan menuangkan kisah tersebut dalam sebuah buku antologi bersama teman-teman dosen yang tergabung di Forum Dosen Indonesia. Ia mendapatkan banyak pengalaman terutama pengalaman spiritual yang karena mampu mengubah pola pikir, perilaku, dan kehidupannya.
“Mulai dari ketika mengajar, banyak sekali hal yang saya alami dan dianggap menarik. Meneliti dan menjadi ilmuan, serta menjadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat luas, terutama bagi yang membutuhkan,” tutupnya. (duniadosen.com/aw)