fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

4 Alasan Rektor UII Minta Gelar Akademiknya Tidak Ditulis


Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid merilis surat edaran yang meminta agar gelar akademiknya tidak dicantumkan di dokumen kampus. Surat edaran dan isinya ini tentu mencuri perhatian publik luas. 

Sebab selama ini, mencantumkan gelar akademik maupun gelar terkait jabatan fungsional yang dipangku dosen di berbagai dokumen adalah hal lumrah. Rupanya, Rektor UII memiliki alasan tersendiri kenapa keputusan ini diambil. 

Rektor UII Minta Gelar Akademiknya Tidak Ditulis 

Pengumuman berisi Rektor UII minta gelar akademiknya tidak ditulis di dokumen kampus manapun dilakukan lewat surat edaran. Surat edaran tersebut adalah surat dengan nomor 2748/Rek/10/SP/VIW2024 tanggal 18 Juli 2024 yang ditujukan untuk pejabat struktural di lingkungan kampus UII Yogyakarta. 

Dikutip melalui website MSN, dijelaskan bahwa dalam surat edaran tersebut, Fathul meminta agar namanya tidak ada penambahan gelar kehormatan (Profesor) dan gelar akademik di penulisan dokumen dan korespondensi. 

Seperti yang diketahui, Rektor UII satu ini memiliki gelar Profesor karena memang sudah memangku jabatan fungsional Guru Besar. Sementara untuk gelar akademiknya sendiri, total ada 3 gelar yang berasal dari pendidikan formal di jenjang S1, S2, dan S3. Mencakup gelar S.T., M.Sc., dan Ph.D. 

“Agar seluruh korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum selain ijazah, transkrip nilai, dan yang setara itu dengan penandatangan rektor yang selama ini tertulis gelar lengkap, agar dituliskan tanpa gelar menjadi ‘Fathul Wahid’,” kata Fathul Wahid dalam surat edaran tersebut. 

Melalui isi surat edaran ini, maka salah satu tujuan keputusan tidak mencantumkan gelar apapun dalam dokumen dan korespondensi adalah untuk menguatkan atmosfer kolegial dalam tata kelola perguruan tinggi.

Langkah Rektor UII minta gelar akademiknya tidak ditulis di dokumen apapun selain ijazah dan transkrip nilai kemudian menjadi perbincangan di media sosial. Warganet banyak menghubungkan keputusan Rektor UII ini dengan langkah sejumlah oknum politisi yang kurang etis. Yakni kedapatan menambahkan gelar Profesor yang didapatkan tidak sesuai ketentuan. 

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Majalah Tempo, sejumlah politisi memiliki gelar Profesor yang didapatkan dengan penuh keganjilan. Salah satunya ada dugaan tidak pernah menjadi Guru Besar dan asal mencatut gelar kehormatan tersebut. Sehingga muncul seruan agar perguruan tinggi tidak sembarangan dalam memberi gelar Profesor. 

Alasan Menolak Penulisan Gelar di Dokumen Kampus 

Dikutip melalui detik.com, Fathul Wahid ketika ditemui wartawan membeberkan sejumlah alasan dari keputusan permintaan untuk tidak mencantumkan gelar akademiknya di dokumen manapun. Berikut rangkumannya: 

  1. Gelar Profesor adalah Tanggung Jawab Besar 

Alasan yang pertama kenapa ada keputusan Rektor UII minta agar gelar akademiknya tidak ditulis adalah karena gelar Profesor merupakan tanggung jawab besar. 

Menjadi Guru Besar dan meraih gelar kehormatan Profesor memang tidak mudah. Maka lumrah seorang dosen bangga atas pencapaian ini. Namun, di balik gelar kehormatan tersebut seorang dosen punya tanggung jawab besar. 

Maka sudah sepatutnya gelar ini dicantumkan di momen-momen yang memang relevan. Tidak dicantumkan di semua dokumen, terutama yang tidak berkaitan dengan dunia akademik. 

Oleh sebab itu, mencantumkan gelar Profesor di semua dokumen adalah langkah kurang tepat menurut Fathul. Sebab ada beban berupa tanggung jawab dari kepemilikan gelar ini yang perlu ditunaikan, alih-alih sekedar memamerkannya ke publik. 

“Latar belakangnya, satu, sebetulnya upaya itu sudah saya lakukan sejak lama, sejak saya diangkat profesor. Karena kami menganggap itu kan terkait dengan jabatan akademik, yang lebih punya tanggung jawab daripada berkah kira-kira gitu kan,” ujar Fathul kepada wartawan. 

  1. Gelar Akademik Tidak Relevan untuk Korespondensi 

Alasan kedua kenapa Rektor UII minta gelar akademiknya tidak ditulis adalah karena merasa tidak ada relevansi untuk dicantumkan di korespondensi. Tidak semua dokumen  memerlukan pencantuman gelar kehormatan dan gelar akademik. 

Hal ini sejalan dengan alasan yang pertama, dimana gelar kehormatan seperti Profesor adalah tanggung jawab besar. Begitu pula dengan gelar akademik yang didapatkan dengan susah payah saat menempuh pendidikan tinggi. 

Maka sudah sepatutnya menjadi gelar yang dinikmati secara personal oleh pemiliknya. Sekaligus dicantumkan untuk dokumen yang relevan seperti transkrip nilai dan ijazah. 

“Artinya itu kan tanggung jawab akademik moralnya itu jadi sangat penting dan itu tidak sangat relevan lah untuk dicantumkan dalam dokumen-dokumen. Termasuk dalam kartu nama dan lain-lain,”  terang Fathul. 

  1. Keinginan Hati Kecil Fathul Wahid 

Alasan ketiga adalah menjadi sumber kebahagiaan bagi hati kecil Rektor UII tersebut. Sebab diakuinya bahwa meminta gelar kehormatan dan gelar akademik tidak dicantumkan selain pada ijazah dan transkrip nilai adalah keinginan hati kecilnya. Sekaligus menjadi keinginan pribadinya. 

Secara pribadi, Fathul menjelaskan jika keputusan dan keinginan ini personal dan tidak meminta dan memaksa dosen manapun mengikuti langkahnya. Apalagi, seperti yang sudah disampaikan bahwa keinginan ini sudah muncul sejak pertama kali diangkat sebagai Guru Besar. 

“Ya silakan itu kan personal, kita kan tidak bisa melarang to. Cuma kalau yang saya lakukan yang kecil ini diikuti saya akan sangat berbahagia,” katanya.

Meskipun begitu, jika langkah personal ini kemudian menjadi kolektif. Dalam artian diikuti juga oleh dosen lain di Indonesia maka akan berdampak positif. Salah satunya bisa menjadikan gelar Profesor seorang dosen lebih terhormat. 

“Kalau ini menjadi gerakan kolektif banyak kita mendesakralisasi jabatan profesor dan lebih menekankan profesor sebagai tanggung jawab amanah akademik, kita berharap profesi ini menjadi terhormat,” imbuhnya.

  1. Mengantisipasi Lomba Meraih Status Akademik Tinggi 

Alasan lain dari keputusan Rektor UII minta agar gelar akademiknya tidak ditulis di dokumen manapun di kampus adalah mengantisipasi lomba meraih status akademik tinggi. Hal ini menjadi perhatian Rektor UII dari kasus politisi yang berlomba mencantumkan gelar Profesor. 

Beberapa diantaranya bahkan mendapat gelar tersebut secara ganjil sesuai hasil penelusuran Majalah Tempo yang dijelaskan sebelumnya. Sehingga langkah ini diharapkan bisa memberi penjelasan kepada publik dan para politisi bahwa gelar Profesor adalah tanggung jawab besar bukan sekedar status. 

“Dengan tanggung jawab yang besar dengan demikian kita tidak ingin ke depan di Indonesia paling tidak, ada lah sekelompok orang termasuk para politisi dan pejabat itu mengejar-ngejar jabatan ini. Karena yang dilihat tampaknya lebih ke status ya. Bukan sebagai tanggung jawab amanah,” pungkas Fathul.

Langkah Rektor UII yang masih terbilang langka ini tentunya menjadi perbincangan hangat. Setiap dosen tentu memiliki pandangan masing-masing mengenai perlu tidaknya mencantumkan gelar kehormatan dan gelar akademik. Maka sudah sepatutnya untuk saling menghargai keputusan masing-masing. 

Jika memiliki pertanyaan atau ingin sharing pengalaman berkaitan dengan topik dalam artikel ini. Jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share untuk memastikan informasi penting dan berharga dalam artikel ini tidak berhenti di Anda saja. Semoga bermanfaat.