Pro dan kontra di kalangan dosen dan rektor tanah air masih saja bergulir, hal tersebut merupakan reaksi akan rencana pemerintah datangkan dosen dan rektor asing untuk mengajar dan memimpin perguruan tinggi di Indonesia. Lantas seperti apa pendapat mereka? Berikut adalah opini dari Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Edy Suandi Hamid.
Rektor UWM Yogyakarta Edy Suandi Hamid meragukan rektor asing bisa dengan mudah mengatasi masalah yang ada di perguruan tinggi swasta (PTS). Rektor asing yang datang untuk memimpin PTS harus siap dengan masalah-masalah seperti mencari mahasiswa dan mencari dana.
“Tugas rektor asing itu nggak ringan karena situasi PTS di Indonesia itu berbeda dengan di Amerika atau Eropa. Mereka relatif uang tidak masalah. Sementara, di kita, uang itu masih masalah besar,” kata dia, Selasa (20/8).
Dia mengatakan, memang pemerintah bisa saja memilih PTS yang sudah mapan untuk didatangkan rektor asing. Tapi, menurut Edy, PTS yang sudah mapan tentunya sudah memiliki sistem yang baik dan tidak membutuhkannya.
Menurut Edy, kebijakan tersebut harus dikaji kembali. Sebab, kebijakan ini terkesan spontan dan tanpa persiapan yang jelas. Hal itu terlihat dari berubah-ubahnya pernyataan Menteri Riset Pendidikan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir.
“Awalnya, Pak Menteri bilang mau dicobakan ke PTN (perguruan tinggi negeri), tapi ternyata banyak regulasi yang harus diubah. Lalu, sekarang tiba-tiba ke PTS. Ini menggambarkan konsep ini belum matang,” kata Edy.
Dia menilai, itu bukanlah langkah yang tepat. Salah satu tujuan mendatangkan rektor asing, seperti yang pernah diungkapkan Menristekdikti adalah ingin memasukkan universitas di Indonesia menjadi kelas dunia. Hal tersebut, menurut Edy, perlu dilihat universitas kelas dunia itu seperti apa.
Edy mencontohkan, universitas kelas dunia harus memiliki publikasi ilmiah internasional dalam jumlah banyak. Apabila ingin mendatangkan ahli dari asing agar meningkatkan publikasi ilmiah ini, tidak harus dengan mengimpor rektor.
Ahli dari asing harus diberikan tugas yang spesifik, bukan menjadi rektor yang memiliki berbagai macam tugas. “Kalau kita butuh orang untuk meningkatkan publikasi ilmiah, misalnya, ya angkat orang untuk mendorong publikasi ilmiah. Tidak menjadi rektornya sendiri. Rektor kan tugasnya macam-macam,” ujar dia.
Nasir sebelumnya mengatakan, saat ini sedang disiapkan aturan terkait mendatangkan rektor asing ke perguruan tinggi negeri. Ada 14 peraturan pemerintah (PP) yang rencananya diubah agar kebijakannya bisa dilakukan.
Saat ini, Nasir mengaku, masih memetakan perguruan tinggi mana yang paling siap untuk didatangkan. Tapi, dia menargetkan, hingga 2024 rektor asing bisa mulai memimpin di paling tidak dua sampai lima perguruan tinggi negeri.
Ia melanjutkan, akan diujicobakan terlebih dahulu di universitas-universitas swasta. Universitas swasta disebut lebih realistis lantaran regulasinya tak seketat di universitas negeri. “Mudah-mudahan, dalam periode ini bisa saya launching swasta yang sudah jalan,” ujar dia.
Rektor Telkom University Adiwijaya menilai, rektor asing harus menguasai hal yang ada di dalam PTS tersebut. Seorang rektor tidak bisa bekerja sendiri dan harus ada tim di PTS itu agar peningkatan kualitas pendidikan tinggi bisa terjadi. “Pemerintah juga tidak bisa hanya melepas rektor asing untuk membenahi PTS,” ujar dia.
Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah memfasilitasi PTS agar memiliki sarana prasarana yang memadai. Dia mencontohkan, jika pemerintah hanya mendatangkan lalu melepaskannya, seperti motor bebek yang dikendari oleh seorang pembalap profesional. Motor bebek tentu tidak memiliki akselerasi sehebat motor balap.
Menurut dia, peringkat yang meningkat di dunia internasional memang baik, tapi yang terpenting juga bagaimana kebijakan pemerintah bisa mempertahankan kualias perguruan tinggi. Manfaat yang didapatkan dari rencana pemerintah ini harus lebih besar daripada sekadar meningkatkan peringkat di dunia internasional.
“Kita perlu bantuan rekan-rekan di kampus tersebut, sehingga bisa mengakselerasi dengan cepat problem-problemnya. Hal ini bisa dijadikan sebuah challenge untuk kita berpikir cepat, sehingga akselerasi dari setiap perguruan tinggi bisa cepat dan tepat,” kata dia.
(Pernah dimuat pada laman: www.republika.co.id pada Rabu, 21 Agustus 2019)