Inspirasi

Rama Kertamukti, Lewat Profesi Dosen Advertising Dedikasikan Diri untuk Negeri

Idealnya, lulus kuliah saatnya menjelajah mencari pekerjaan yang sesuai bidang. Namun ada kalanya idealisme itu harus terpaksa gugur, karena keadaan. Karena berprinsip, lulus kuliah harus kerja dan berdaya. Begitulah sekelumit gambaran kisah perjalanan karir seorang Rama Kertamukti, yang pada akhirnya melabuhkan diri menjadi seorang dosen periklanan di universitas negeri. Bagaimanakah kisahnya hingga akhirnya berprofesi dosen dan menjadi passionnya? Simak wawancara duniadosen.com berikut.

Rama Kertamukti, S.Sos.,M.Sn. merupakan dosen Program Studi (prodi) Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Fishum UIN Suka) Yogyakarta. Sebelum sampai di UIN, perjalanan karir Rama dimulai dari mencicipi beberapa pekerjaan yang sebenarnya tidak sesuai passionnya. Hingga akhirnya sampailah di Yogyakarta dan ditawari menjadi dosen periklanan di sejumlah Perguruan Tinggi.

”Dari awal sama sekali tidak tertarik dengan dunia dosen. Apalagi dulu waktu kuliah termasuk aktivis, sama sekali nggak ada niat kesana (menjadi dosen-red). Saya pernah mengalami kehidupan dimana seorang mahasiswa menjadi aktivis gerakan. Dulu, nggak suka jadi PNS karena bisanya cuma tiga; catur, badminton, sama ngobrol,” ujar Rama, panggilan akrabnya, seraya tertawa.

Krisis 1998, Mengawali Karir dengan Bekerja Apa Saja

Rama memang mengalami pengalaman-pengalaman krisis pada tahun 1998. Krisis Moneter yang juga menjadi salah satu pengalaman kelam seluruh masyarakat Indonesia, masa itu bertepatan dengan kelulusan jenjang sarjana Rama dari Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Rama Kertamukti, S.Sos.,M.Sn. (ke-6 dari kanan). (Sumber foto: ISTIMEWA)

”Saat itu karena kondisinya sedang nggak benar, yaudah que sera-sera. Saya ambil yang ada saja. Saya berpikir, nggak apa-apa lah bekerja dimana saja. Dan saya minta tolong saudara untuk mencarikan pekerjaan. Kebetulan beliau bekerja di Kanwil Deparpostel Jawa Tengah (sekarang Dekominfo),” ujarnya mengenang.

Saat itu, Rama melakoni apa saja yang bisa dilakoni. Padahal, saat itu ia ingin sekali menjadi presenter televisi. Tapi tak ada pilihan karena memang kondisi saat itu tidak mendukung cita-citanya menjadi presenter. Rama pun menerima rekomendasi pekerjaan dari saudaranya di perusahaan Telekomunikasi di bagian Public Relation (PR). Namun, seiring berjalannya waktu, Rama tak betah.

”Dari dulu suka desain, gambar, saya gak tahu dunia PR. Karena di Unpad itu dipisah jurusan komunikasinya. Ada orang gak suka karena ada unsur KKN, ya wajar sih. Ya udah saya keluar aja,” ujarnya.

Selepas dari perusahaan Telekomunikasi, Rama ditawari menjadi wartawan seni dan budaya di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Biro Jawa Barat yang dia pikir masih relevan dengan ilmu yang dia pelajari saat kuliah. Tapi belum lama ia menikmati pekerjaannya sebagai jurnalis seni dan budaya, Rama di rolling di bidang kriminal. Posisi tersebut membuatnya tak bertahan lama. Ia pun kembali memutus hubungan kerja.

Kondisi tersebut membuatnya nekat mengadu nasib ke Jakarta dan bekerja sebagai copywriter di Jakarta dan sempat bekerja di Kompas Gramedia. Nyaman di Jakarta, ia pun berencana tinggal lama di ibu kota. Cita-cita masa depan itupun disampaikan ke calon istrinya, dan menawari untuk menikah serta tinggal di Jakarta. Ternyata sang calon istri yang saat itu menjadi dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Purworejo, menolak.

Kembali Rama berpikir, memutuskan untuk meninggalkan dunia advertisingnya dan hijrah ke kota lain yang tidak jauh dari domisili sang calon istri. Akhirnya, pria berkacamata ini pun memilih Yogyakarta sebagai kota merajut masa depan karir dan keluarganya.

”Kerja di Dagadu jadi desainer karena waktu itu terbilang masih sulit mencari desain grafis yang mumpuni. Terus di LBB jadi staff pemasaran bertahan satu setengah tahun. Dan diangkat menjadi kepala pemasaran. Nah lagi-lagi, saya merasakan ketidaknyamanan di posisi tersebut. Akhirnya resign,” ungkapnya.

Melabuhkan Diri Menjadi Dosen

Di Yogyakarta, dan mencicipi beberapa pekerjaan yang belum juga dirasa nyaman, Rama mulai melirik profesi dosen. Karena saat itu ada lowongan dosen di Akademi Komunikasi Indonesia (Akindo) Yogyakarta (sekarang STIKOM.red). Pada 2003, Rama resmi mengajar di Jurusan Advertising di Akindo Yogyakarta. Meski di waktu bersamaan, Rama juga diterima di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Namun, Rama lebih memilih mengajar di Akindo dengan syarat yang fleksibel. ”Kalau di UII tidak bisa mengajar di kampus lain. Di Akindo, saya bisa mengajar di mana saja,” ujarnya.

Rama Kertamukti, S.Sos.,M.Sn. (kiri) memberikan kenang-kenangan salah satu pengisi acara. (Sumber foto: ISTIMEWA)

Fans berat Armand Maulana ini mengungkapkan, saat itu dosen desain advertising sangat dicari di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta. Tren desain sedang hits kala itu. Rama merasa perlu meningkatkan taraf keilmuannya ke  jenjang S2. Ia melanjutkan pendidikannya jalur beasiswa di DKV ISI. ”Saya sudah belajar dan kerja capek-capek, masa’ mau kuliah S2 biaya sendiri. Carilah beasiswa. Toh ilmu saya juga saya dedikasikan kembali untuk negeri lewat saya mengajar di Perguruan Tinggi,” celetuknya.

Lagi-lagi, pasca lulus dari S2 nya Rama kembali dicari dan mendapat tawaran bekerja di Jakarta sebagai dosen desain dan advertising. Yaitu, Binus dan Paramadina. Namun, Rama enggan tinggal di Jakarta, ia pun menolak tawaran tersebut. Saat itu memang masih sangat jarang lulusn S2 DKV, apalagi yang bersedia menjadi pengajar. Hal itu membuka peluang besar bagi Rama untuk menjadi dosen di sejumlah Perguruan Tinggi ternama di Yogyakarta. Yaitu, Sekolah tinggi pramugari, UII, UPN, UGM, dan lainnya.

2005, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah Yogyakarta membuka lowongan dosen. Rama pun mencoba peluang tersebut, meski sementara itu ia masih mengajar di Akindo. Ia pun harus menyelesaikan tugasnya di Akindo, karena masih menjabat sebagai wakil direktur dan sedang ditawari posisi direktur. ”Selesai di Akindo, 2008 diterima di UIN. PNS nya 2010 dan diminta untuk menjadi wakil dekan. Tapi saya tidak mau, ini bukan tidak bertanggung jawab atas profesi saya atau apa ya. Tapi, karena ada kandidat yang lebih pantas,” ujar mantan awarding director Pinastika tersebut.

Saat menjadi dosen, Rama mengaku cukup menikmatinya. Saat menjadi dosen, Rama sebisa mungkin selalu menyediakan waktu untuk mahasiswanya. ”Saya bisa ditemui oleh mahasiswa kapanpun selama jam kerja. Karena kalau sudah di rumah ya sudah waktu bersama keluarga,” tegasnya.

Baginya, bermanfaat untuk mahasiswa adalah sebuah keharusan karena pada hakikatnya, kampus adalah tempat dosen dan mahasiswa untuk bekerja sama. Menurut dosen lulusan program master di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut, menganggap sebaik-baiknya orang adalah bermanfaat bagi orang lain. ”Ketika kamu menolong orang lain, maka orang lain akan menolong kamu,” ujar dosen yang pernah menulis publikasi ilmiah berjudul Game Online, Sebuah Fenomena Budaya Pergaulan Baru tersebut mantap.

Rama melanjutkan, dirinya ingin sekali menjadi manfaat untuk orang lain. Dalam konteks kampus, dia ingin bermanfaat untuk kampus dan mahasiswanya. Bagi Rama, hubungan baik dengan sesama manusia merupakan cerminan hubungan baik dengan Tuhan. ”Jangan lihat manusia sebagai objek, tapi sebagai subjek. Konsep saya, ketika saya meludahi seseorang, mungkin yang marah bukan yang saya ludahi, tapi penciptanya. Harus berlaku baik dengan mahasiswa. Bekerja merupakan bagian dari ‘merayu’ Allah,” ungkap ayah 3 orang anak ini.

Selama menjadi dosen, Rama sudah pernah menduduki beberapa jabatan strategis. Saat ini, Rama didapuk sebagai Sekretaris Tim Bidang Branding dan Staf Ahli Penelitian dan Pengembangan di Fishum UIN Suka Yogyakarta. Meski begitu, Rama mengaku enggan untuk menjadi pimpinan dalam sebuah institusi. ”Meski saya terlibat dalam posisi strategis, saya kurang suka menduduki tampuk pemimpinan tertinggi secara struktural,” ujar dosen yang pernah menolak ketika ditawari menjadi dekan tersebut.

(Sumber foto: ISTIMEWA)

Rama mengaku tak ingin disuruh-suruh. Oleh sebab itu, dia saat ini melanjutkan pendidikan doktoral di Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM. ”Dalam hal ini, ketika saya masih master saya kan sering disuruh untuk memimpin ini memimpin itu. Saya tidak suka seperti itu. Makanya, saya lanjut program doktoral. Kalau sudah jadi doktor, kan saya bisa menolak saat disuruh,” ungkapnya sambil tertawa.

Sampai saat ini, Rama sudah beberapa kali menorehkan prestasi saat menjadi dosen, beberapa di antaranya adalah juara fotografi yang diadakan oleh Ogilvy Indonesia, mendapat penghargaan proposal penelitian terbaik di Fishum UIN Suka Yogyakarta, dan menjadi pengurus Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). ”Padahal, saya nggak punya perusahaan. Tapi karena saya akademisi, mereka percaya dengan saya. Jika sudah dipercaya orang, itu gampang. Asal prinsipnya kolaborasi, bukan ambisi untuk mengalahkan orang,” jelasnya.

Jadilah Pionir dan Jalin Kolaborasi

Menurutnya, sebagai dosen juga perlu mengembangkan jaringan. Tak hanya dengan sesama dosen, namun juga dengan berbagai praktisi di perusahaan yang memiliki latar belakang berbeda. ”Bekerja kalo kolaborasi itu lebih ringan dibanding bekerja sendirian,” jelas Sekretaris Jurnal Fishum UIN Yogyakarta itu.

(Sumber foto: ISTIMEWA)

Rama yang juga hobi menggambar dan bermusik ini melanjutkan, keterlibatan dosen di berbagai instansi dan jaringan dapat membantu mahasiswa. Bagi Rama memiliki banyak jaringan, ia bisa membantu mahasiswa saat membutuhkan narasumber untuk pembicara maupun tempat untuk magang.

Pun, menjadi dosen adalah bagaimana menjadi berkesan. Menurut Rama, salah satu cara menjadi dosen yang berkesan adalah menjadi pionir atau pelopor. ”Pengikut 100 pun, yang diingat itu selalu pionirnya. Banyak hal yang meniru, tapi pasti yang paling diingat adalah yang ditiru, yang menjadi pionir. Hidup harus berkesan. Kita harus menciptakan kesan. Saya harus bangun lebih pagi dibanding orang lain, itu motto saya,” tegasnya.

Dosen yang pernah menjadi kepala jurusan di Akindo Yogyakarta tersebut juga menegaskan bahwa hidup perlu strategi. Ia mencontohkan anjuran agama untuk bangun malam untuk melaksanakan salat. ”Hidup itu harus memiliki strategi. Contohnya, kenapa Allah menyuruh kita salat malam? itu strategi yang diberi tahu oleh Allah. Di saat yang lain matiin lampu, saya sendiri yang nyalain lampu. Artinya, saya lebih ‘terlihat’ oleh Allah,” jelasnya.

Rama; Tentang Menulis Buku dan Tantangan Menjadi Dosen

Sampai saat ini, Rama sudah menelurkan empat buku melalui percetakan dan beberapa buku yang tidak diterbitkan. Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Rama antara lain Komunikasi Visual dalam Periklanan (2012), Copywriter (2013), Strategi Kreatif dalam Periklanan (2015), dan Creative Branding Strategy (2008). Menurut Rama, menulis buku itu penting.

Copywriters (2013) salah satu buku yang ditulis oleh Rama Kertamukti dan best seller. (duniadosen.com/taw)
Salah satu buku karya Rama Kertamukti. (Sumber: ISTIMEWA)

”Dosen bisa dianggap dosen yang baik harus punya tulisan, termasuk buku dan penelitian. Itu salah satu alasan kenapa saya diangkat sebagai staf ahli pengembangan,” terang Rama.

Karena saat ini sedang sibuk dengan menyelesaikan pendidikan doktoral di UGM, Rama ingin fokus untuk itu terlebih dahulu. Meski begitu, Rama memiliki keinginan untuk kembali menulis buku. ”Tapi pasti akan menulis lagi, tapi nanti dulu setelah selesai pendidikan doktoralnya, biar lebih senggang,” ujar dosen yang ingin membuat Pusat Studi Kajian dan Media di UIN Suka Yogyakarta tersebut.

Menurut Rama, dosen saat ini memiliki tantangan yang lebih berat, terutama kaitannya dengan Revolusi Industri 4,0. Rama menilai masih banyak dosen yang menyadur buku. “Jadi, yang mereka baca di buku, mereka sampaikan. Kenapa nggak sekalian ngasih bukunya ke mahasiswa? Dosen harus up to date dong,” kata Ketua Branding UIN dan PTKEIN Branding Syariah Indonesia ini.

Rama Kertamukti, S.Sos.,M.Sn. merupakan dosen Program Studi (prodi) Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Fishum UIN Suka) Yogyakarta saat menjadi pembicara. (Sumber foto: ISTIMEWA)

Rama melanjutkan, cara untuk menjadi lebih update adalah dengan memperbanyak interaksi di luar kampus. Dosen tak boleh tertinggal dari mahasiswa, apalagi perkembangan zaman. Dosen perlu berlari bersama perkembangan zaman yang ada.

”Sekarang kan zamannya generasi 4,0. Bagaimana teknologi embodied sama kita. Sekarang, harus melihat sesuatu dengan kacamata teknologi. Dosen harus berlari bersama zaman. Nanti juga berpengaruh terhadap mahasiswa. Jika mahasiswa nggak bisa jawab kalau lulus mau jadi apa, artinya dosen masih belum berhasil dan kurikulum masih belum baik karena belum mempersiapkan mahasiswa untuk menjadi ’sesuatu’,” pungkas dosen yang hobi menggambar sketsa tersebut. (duniadosen.com/az)

Redaksi

Recent Posts

Penerapan Metode Pembelajaran Case Study di Perguruan Tinggi

Sejalan dengan diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024, maka diterbitkan pula pedoman pelaksanaan berisi standar…

5 days ago

6 Solusi saat Google Scholar Tidak Bisa Dibuka

Mau upload publikasi tapi Google Scholar tidak bisa dibuka? Kondisi ini bisa dialami oleh pemilik…

5 days ago

Artikel Tidak Terdeteksi Google Scholar? Ini 2 Solusinya

Beberapa dosen memiliki kendala artikel tidak terdeteksi Google Scholar. Artinya, publikasi ilmiah dalam bentuk artikel…

5 days ago

S2-S3 Gratis di Thailand dengan Vistec Scholarship 2025

Mau lanjut studi pascasarjana dengan beasiswa tetapi berat karena harus meninggalkan keluarga? Tak perlu khawatir,…

5 days ago

Chinese Government Scholarship Dibuka untuk S1 Hingga S3, Daftar Segera!

Anda sudah menjadi dosen harus melanjutkan S3? Jika Anda menargetkan beasiswa fully funded dan masih…

1 week ago

Stipendium Hungaricum Scholarship Programme 2025 Dibuka, Cek Sekarang!

Melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di luar negeri, semakin mudah dengan berbagai program beasiswa.…

2 weeks ago