Rachmat A. Sriwijaya, Dedikasikan Diri Jadi Dosen Konsinten Ciptakan Inovasi.
B.J. Habibie memberikan inspirasi bagi banyak orang. Pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan tersebut beberapa kali mendapat penghargaan baik nasional maupun internasional dalam bidang astroneutika. Pun, Habibie dianggap berjasa mengembangkan industri pesawat terbang Indonesia pada eranya. Sosok itulah yang menginspirasi Rachmat A. Sriwijaya, S.T., M.T., D.Eng., seorang dosen di Departemen Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM).
Bagi Rachmat, sapaan karibnya, Habibie adalah inspirasi terbesarnya untuk mengambil pendidikan bidang teknik mesin. Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Biak, Rachmat melanjutkan pendidikan tinggi bidang Teknik Mesin pada program sarjana dan magister di UGM sampai doktoral di Tokyo Institute of Technology, Jepang.
”Saya terinspirasi dari Pak Habibie. Beliau sangat fenomenal di bidang teknik mesin, terutama pesawat. Melihat kiprah beliau, teknik mesin itu sebuah keahlian atau profesi yang menantang. Saya dulu ingin sekali merancang pesawat. Idealisme saya dulu itu,” ujar Rachmat saat ditemui duniadosen.com Senin, (5/11) di Fakultas Mesin dan Industri UGM.
Pria kelahiran Yogyakarta 6 Oktober 47 tahun lalu itu mengaku, sejak kecil tidak sama sekali terpikirkan untuk menjadi dosen, tapi cita-citanya dulu adalah menjadi insinyur. Kemudian ingin bekerja di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurutnya, dengan bekerja di BUMN memiliki posisi strategis sebagai penyangga ekonomi nasional.
”Saya ingin membantu pemerintah melayani masyarakat. Pada level tertentu bisa berpindah-pindah tugas. Menurut saya itu peluang bagus untuk lebih mengembangkan diri,” ujar Rachmat yang pernah menjadi Tim Seleksi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) itu.
Keinginan Menjadi Dosen Muncul Ketika Masih Mahasiswa
Ketika ditanya duniadosen.com, kenapa melabuhkan hati untuk menjadi dosen? Rachmat mengaku mendapat inspirasi dari interaksi dosen dengan mahasiswa. Keinginan menjadi dosen itu pun muncul saat dirinya masih mengenyam pendidikan tinggi di UGM dan di Tokyo Institute of Technology, Jepang.
”Saya melihat interaksi dosen dengan mahasiswa itu menarik. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari interaksi tersebut. Menjadi dosen juga dapat kesempatan untuk menemukan hal-hal baru,” ujarnya.
Setelah lulus jenjang sarjana dari FT UGM tahun 1997, Rachmat sempat bekerja di perusahaan swasta. Pada 1999, Rachmat berhenti bekerja dan memilih melanjutkan pendidikan magister di kampus yang sama dan lulus pada 2001. Baginya, pendidikan itu sangat penting. ”S1 itu belum cukup untuk bekal karir bagi saya,” tegasnya.
Setelah itu, pada 2001 memulai menjadi dosen dan dikukuhkan sebagai dosen tetap FT UGM pada 2002 dan memperoleh predikat Pegawai Negeri Sipil (PNS) dua tahun setelahnya. Meski begitu, Rachmat yang selalu haus akan ilmu lantas kemudian melanjutkan pendidikan doktoralnya di bidang teknik mesin di Tokyo Institute of Technology. Pendidikan tersebut ia peroleh lewat jalur beasiswa ASEAN University Network/Southeast Asia Engineering Education Development Network (AUN/SEED-Net), berkat rekomendasi dekannya di FT UGM dan Kepala Jurusan (Kajur) Teknik Mesin dan Industri. Ia lulus pada 2007 dan kemudian kembali ke Indonesia utnuk mengabdi di UGM sampai saat ini.
Sekembalinya ke UGM, Rachmat langsung ditunjuk menjadi Kepala Kantor Urusan Internasional (Office of International Affair) UGM pada 2008. Sebelumnya, ayah satu orang anak ini menjadi relawan di (OIA-red) sebagai staf tim ad hoc. Saat menjadi kepala OIA, Rachmat sering berhubungan dengan organisasi dan komunitas di luar negeri.
”Tugas utama menjadi kepala OIA itu menghubungkan pihak luar. Misal, perguruan tinggi asing, pemerintah asing, non-goverment organisation (NGO) asing atau donatur asing dan UGM, kemudian memobilisasi mahasiswa, dosen, pegawai untuk ke luar negeri,” jelasnya.
Empat tahun kemudian, Rachmat diberikan amanat untuk menjadi Asisten Wakil Rektor Bidang Kerjasama Luar Negeri. Menurutya, tugas sebagai asisten wakil rektor tak jauh dengan tugasnya selama empat tahun di OIA. ”Karena kan urusan internasional, jadi ya tugasnya mirip. Yaitu menghubungkan UGM dengan luar negeri,” ujar laki-laki yang pernah menjadi Erasmus Mundus Promoter pada 2010 tersebut.
Bagi Rachmat, semua pencapaiannya saat ini tidak luput dari dukungan keluarga dan kerja kerasnya. Saat memutuskan kuliah di UGM lewat jalur prestasi, Rachmat harus hidup mandiri jauh dari kedua orang tuanya yang saat itu tugas dinas di Biak. Lulus dari SMAN 1 Biak kemudian hijrah kembali ke kota Gudeg seorang diri. Rachmat muda pun selalu memegang amanah sang ibunda, selama jauh dari orang tua.
”Dulu ibu saya punya wejangan, pandailah memilih pergaulan. Harus bisa jaga diri. Apapun yg kamu pilih, keluarga sangat mendukung. Pertama kuliah di Jogja ya mau tidak mau, ya, karena jauh dari keluarga, harus survive. Itu yang membuat jadi kuat,” lanjutnya.
Beberapa Kali Mendapat Penghargaan Internasional
Selama menjadi dosen, kreativitas Rachmat semakin terasah. Ia pun banyak mendulang prestasi. Tak hanya prestasi nasional, pengurus Keluarga Alumni Teknik Mesin UGM (KAMIGAMA) tersebut juga beberapa kali mendapat penghargaan skala internasional. Pada 2008, Rachmat masuk dalam buku Who’s Who in the World dari Penerbit Marquis Whos’s Who, Amerika Serikat. Yaitu publikasi yang menyajikan liputan tentang kehidupan para pemimpin berprestasi baik dari Amerika Serikat maupun di seluruh dunia, dan dari setiap bidang usaha yang signifikan.
Tak hanya itu, dalam jangka waktu satu tahun nama Rachmat Sriwijaya dinominasikan hampir setiap tahun dalam buku tersebut Who’s Who in the World. Rachmat juga heran, namanya bisa masuk dalam buku bertaraf internasional tersebut.
Selain itu, di 2012, Rachmat Sriwijaya terpilih sebagai peserta ”Education UK-Going Global 4, oleh British Council London. 2010, dirinya terpilih sebagai ”Erasmus Mundus Promoter” di Indonesia yang diselenggarakan DAAD/Erasmus Mundus HQ Jerman. 2011, terpilih sebagai peserta ”Study Visit: Higher Education System in France oleh kedutaan besar Perancis, dan di tahun yang sama pula Rachmat terpilih sebagai peserta ”International Visitor Leadership Program” (IVLP).
”Terakhir saya dinominasikan untuk mendapat Lifetime Achievement Awards pada 2017 dan 2018 ini, namun saya merasa belum siap menerima penghargaan itu. Nanti deh kalau sudah menjadi Guru Besar,” lanjutnya seraya tersenyum.
Masih banyak lagi prestasi Rachmat lainnya. Mulai pengalaman kerjanya sebagai dosen, ia memiliki 10 pengalaman terbaik dalam kurun waktu 1997 hingga 2013. Pengalamannya sebagai reviewer dalam 5 tahun terakhir ini, yang terdiri dari 19 kegiatan. Pengalaman workshop internasional dalam 5 tahun terakhir, pengalaman kepemimpinannya baik skala nasional dan internasional. Dan masih banyak lagi prestasi menonjol tingkal bilateral dan internasional.
Ciptakan Inovasi
Sebagai dosen, Rachmat beberapa kali mencipatkan inovasi yang sudah mendapat hak paten. Inovasi perdananya yaitu membuat kursi roda multi, yang dapat diatur untuk berbaring. ” Ini masih dalam proses paten. Jadi kalau ada pasien yang ingin rebahan tidak perlu dipindah atau diangkat dari kursi roda,” ujarnya bangga.
Selain itu, awal tahun 2018 Rachmat juga membuat mesin pencacah plastik secara kolaboratif yang sudah terdaftar paten. Inovasi tersebut diciptakan karena sebagai pemanfaatan limbah plastik yang sulit diurai. ”Kantong plastik dipecah menjadi butiran kecil-kecil untuk di-recycle. Salah satu pemanfaatannya, bisa digunakan sebagai campuran pembuat aspal jalan,” ungkapnya.
Meski sudah menciptakan karya yang dipatenkan, Rachmat mengaku belum puas. Ia ingin membuat karya-karya selanjutnya yang bermanfaat bagi kehidupan, memiliki hak paten, bisa diproduksi masal, dan bisa digunakan masyarakat. ”Saya ingin sekali membuat paten sebanyak mungkin. Itu kontribusi bagi masyarakat dan industri. Saya ingin membangun budaya baru, yaitu kontribusi di bidang teknologi dan inovasi yang harus konsisten,” katanya menggebu.
Selain itu, Rachmat juga ingin produktif dalam bidang publikasi saat menjadi dosen. Baginya berprofesi sebagai dosen, harus mampu membuat publikasi ilmiah yang diakui oleh komunitas internasional. ”Itu kan kewajiban ya. Selain ingin membuat publikasi ilmiah yang diakui secara internasional, saya juga ingin menjadi Guru Besar. Saya kira itu keinginan ideal ketika seseorang menjadi dosen,” ungkap dosen yang sudah menjadi Dosen Pembimbing Lapangan Kuliah Kerja Nyata (DPL KKN) sejak tahun 2008 tersebut.
Tak hanya itu, Rachmat juga merupakan penggagas kegiatan Dream Summer Program yang pertama diadakan tahun 2009 sampai saat ini. Tujuannya dari kegiatan tersebut, untuk memperkenalkan generasi muda terbaik UGM dengan anak muda terbaik di dunia. ”Kegiatannya di Indonesia selama 10 hari efektif seperti field study, cultural, food, and sport exchange, sampai belajar di kelas bersama. Jadi, ini kombinasi akademik dan juga pertukaran budaya,” ujarnya.
Tantangan Dosen Saat Ini
Rachmat adalah tipe orang yang selalu ingin menyibukkan diri, bermanfaat untuk orang lain, dan menciptakan karya. Selain mengajar, Ia juga disibukkan melakukan bimbingan, rapat, dan lainnya. Saking sibuknya, Rachmat mengaku sampai saat ini belum sempat menulis buku. Padahal, Ia mengaku ingin sekali menulis buku.
”Awal tahun depan ingin sekali menulis buku tentang mekanika kontak. Ini sudah ada draft-nya.” Ujar dosen yang juga menjabat Kepala Urusan Departemen Bidang Penelitian, Pengabdian, dan Kerja sama di Teknik Mesin dan Industri UGM tersebut.
Meski begitu, Rachmat mengaku tak terlalu memiliki kesulitan membagi waktu antara pekerjaannya dalam bidang akademik dan urusan keluarga. ”Meski sibuk di hari kerja, saya usahakan Sabtu dan Minggu menyediakan waktu untuk keluarga. Kalau ada acara di luar kota, saya usahakan pulang saat itu juga pas weekend. Pokoknya Sabtu dan Minggu harus untuk keluarga,” kata Ayah satu putra ini.
Rachmat sadar, perkembangan zaman menuntut pelaku akademik untuk terus belajar dan mengikuti perubahan. Menurutnya, tantangan dosen di era sekarang cukup banyak, salah satunya adalah bagaimana dosen agar terus meng-update pengetahuannya.
”Akses sumber ilmu kan sekarang banyak sekali. Mahasiswa dan dosen punya kesempatan akses yang sama karena semua sudah digital. Dulu, baca publikasi itu bayar mahal, sekarang semuanya bisa diakses melalui internet. Mahasiswa punya lebih banyak bahan kuliah dibanding dosen, karena mereka punya waktu lebih banyak. Makanya, dosen juga harus update pengetahuan melalui membaca,” ujarnya.
Rachmat melanjutkan, dosen harus berinovasi. Dosen perlu mengembangkan creative thinking agar ilmu yang dimiliki dapat ditransfer kepada mahasiswa dengan baik. Perlu juga menerapkan inovasi dalam pengajaran, jangan hanya bertumpuan pada buku tetapi juga mengajar dengan sistem teknologi digital.
”Meningkatkan softskill mahasiswa, terutama di teknik mesin yang porsinya sedikit. Harus diakomodasi di luar kelas, misalnya mengundang praktisi dari luar dan juga alumni yang sukses. Kemudian mengajak mahasiswa ke industri, terkait dengan mata kuliah terkait. Dari situ softskill mahasiswa bisa terasah, dimana tidak terakomodasi dalam kelas. Pun, akan meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)