Selain mendapat gelar akademik Profesor, dosen di Indonesia juga berkesempatan meraih gelar Profesor Kehormatan. Gelar ini bisa diberikan kepada dosen yang sudah menjadi Profesor (Guru Besar) dan memenuhi syarat atau kualifikasi lain sesuai ketentuan.
Secara umum, dosen yang sudah Profesor dan memiliki pencapaian akademik luar biasa dipandang layak menerima gelar kehormatan tersebut. Gelar ini lantas memberi hak dan kewajiban baru kepada dosen yang bersangkutan.
Kesempatan meraih gelar ini terbuka semakin lebar untuk dosen yang mengabdi di PT dengan akreditasi A atau Unggul. Jadi, apa saja syarat yang harus dipenuhi dosen agar menerima gelar kehormatan ini?
Secara umum, Profesor Kehormatan adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kompetensi dan prestasi luar biasa, serta jasa khusus yang relevan dengan pekerjaan seorang Profesor.
Sementara itu, Profesor adalah jabatan fungsional tertinggi di kalangan dosen pada institusi perguruan tinggi yang mendapat rekognisi pemerintah serta telah memenuhi kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Lewat definisi ini, gelar kehormatan tersebut secara umum diberikan hanya kepada dosen yang sudah memenuhi syarat. Syarat dan juga prosedur pengajuan pemberian gelar diatur di dalam Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 sebagai acuan terbaru.
Sebelumnya, ada beberapa permen atau peraturan menteri yang mengatur gelar kehormatan tersebut. Permen pertama diketahui dirilis di tahun 2012 dan terus diperbaharui sampai tahun 2024 ini.
Jika dulunya gelar kehormatan ini bisa diberikan sebuah perguruan tinggi kepada siapa saja, bukan dosen. Maka lain halnya dengan masa sekarang, sesuai permen terbaru tersebut, gelar kehormatan ini hanya bisa diberikan kepada kalangan dosen.
Keberadaan gelar kehormatan ini dimulai dari dirilisnya Permendikbudristek Nomor 40 Tahun 2012. Permen ini menjadi regulasi pertama yang membuat gelar kehormatan tersebut “lahir” di Indonesia. Pada permen tersebut, gelar yang digunakan bukan gelar seperti sekarang melainkan “Profesor Tidak Tetap”.
Syarat mendapatkan gelar kehormatan ini hanya memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa. Selain itu, tidak disebutkan gelar ini diterima oleh siapa saja. Artinya, gelar Profesor Tidak Tetap bisa diberikan kepada dosen maupun bukan dosen.
Permen yang rilis pada 7 Juni 2012 tersebut kemudian dicabut, melalui perilisan Permendikbudristek Nomor 88 Tahun 2013. Pada permen terbaru ini, pemberian gelar Profesor Tidak Tetap hanya bisa dilakukan oleh PTN. Sehingga, PTS tidak bisa memberikan gelar tersebut.
Selain itu, syarat untuk menerima gelar kehormatan tersebut dikembangkan lagi. Tidak hanya memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa. Namun, penerima gelar juga wajib memiliki kompetensi luar biasa. Ditegaskan pula, penerima gelar tidak mendapatkan tunjangan apapun.
Adapun kompetensi luar biasa yang dimaksud dalam Permen Nomor 88 ini adalah penerima gelar memiliki karya yang bersifat pengetahuan tacit yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia.
Regulasi Profesor Kehormatan kemudian dikembangkan lagi, permen lama digantikan dengan permen baru, yakni Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021. Dalam permen ini dijelaskan secara detail mengenai syarat, hak, dan kewajiban penerima gelar kehormatan tersebut.
Selain itu, gelar kehormatan ini dijelaskan tidak lagi dimiliki seseorang seumur hidup. Melainkan ada masa berlakunya. Tak sampai disitu, permen tersebut kemudian kembali digantikan dengan Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024.
Dalam permen terbaru tersebut, pengaturan pemberian gelar kehormatan pada Profesor dibuat lebih rinci. Ada syarat yang harus dipenuhi dosen sebagai penerima gelar dan syarat untuk PT yang memberi gelar tersebut.
Jika dulunya pejabat publik yang tidak menjadi dosen bisa meraih gelar kehormatan ini, sekarang tidak bisa dengan aturan atau regulasi yang baru ini karena gelar profesor kehormatan hanya bisa diterima oleh dosen yang memenuhi persyaratan.
PT diwajibkan untuk mengusulkan pemberian gelar kehormatan kepada Menteri, selanjutnya akan diproses sesuai ketentuan. Setiap PT hanya bisa memberi gelar Profesor Kehormatan pada satu dosen di satu rumpun ilmu dan berlaku selama 5 tahun tanpa bisa diperpanjang.
Baca Juga: Isu Jalan Pintas Menjadi Guru Besar di Indonesia, Apakah Mungkin Bisa Terjadi?
Mengacu pada isi dari Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024, pada Pasal 42 dijelaskan mengenai sejumlah syarat yang harus dipenuhi dosen agar menerima gelar Profesor Kehormatan. Syarat tersebut antara lain:
Seperti yang disampaikan di awal, tidak semua PT bisa mengajukan pemberian gelar kehormatan ini. Hanya PT tertentu yang sudah memenuhi persyaratan yang boleh memberikan promosi dosen, persyaratan tersebut meliputi:
Jika mengacu pada ketentuan ini, PTN dan PTS diketahui memiliki hak untuk mengajukan promosi dosen. Maka, pemberian gelar Profesor Kehormatan tidak hanya bisa diusulkan PTN, melainkan juga PTS yang memenuhi syarat di atas.
PT kemudian mengusulkan nama dosen yang akan menjadi calon penerima gelar kehormatan kepada Menteri atau kementerian. Selanjutnya akan diproses sesuai ketentuan dan dirilis SK pemberian gelar kehormatan tersebut.
Gelar kehormatan ini kemudian hanya berlaku selama 5 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Selain itu, dosen yang selama masa berlaku gelar sudah memasuki masa pensiun. Maka, gelar kehormatan ini otomatis akan dicabut.
Setiap PT yang memenuhi syarat maksimal mengajukan pemberian gelar kepada satu orang dosen di setiap satu rumpun ilmu. Jika PT tersebut memiliki 10 rumpun ilmu, maka minimal bisa memberikan gelar kehormatan ini kepada 10 dosen yang memenuhi persyaratan.
Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 juga menjelaskan secara rinci mengenai hak dan kewajiban penerima gelar Profesor Kehormatan. Mengenai hak pemilik gelar tertuang di dalam Pasal 43 Ayat (2), yaitu:
Hak pertama yang dimiliki penerima gelar kehormatan ini adalah mencantumkannya dalam nama. Profesor Kehormatan kemudian gelarnya disingkat menjadi prof.(hon.) dan diikuti dengan nama PT yang memberi gelar tersebut.
Bagi dosen penerima gelar bisa mencantumkan gelar ini setiap kali namanya dimuat di media apapun. Baik dalam SK, maupun dalam momen lain yang sekiranya dianggap perlu mencantumkan gelar kehormatan.
Hak ini kemudian mencegah orang lain yang tidak menerima gelar kehormatan secara resmi mencantumkannya. Sebab, mendapat gelar kehormatan ini sendiri ada syarat yang harus dipenuhi dan syarat tersebut sulit.
Hak kedua yang diterima pemilik gelar Profesor Kehormatan adalah honorarium dari PT. Gelar kehormatan ini bisa menjadi sumber penghasilan tambahan untuk dosen yang bersangkutan.
Honorarium kemudian diberikan dan disediakan oleh PT sesuai ketentuan. Mengenai besaran honorarium adalah disesuaikan dengan kinerja dan kontribusi dalam melaksanakan tri dharma perguruan tinggi.
Sehingga, ada mekanisme perhitungan tersendiri dan nominalnya menjadi tidak tetap. Sebab akan disesuaikan dengan kinerja akademik yang dilaporkan dosen secara berkala di BKD.
Baca Juga: Kasus Guru Besar Dicopot, Penyebab dan Sanksi
Sementara jika dilihat dari sisi kewajiban, pemilik gelar kehormatan ini setidaknya memiliki 3 kewajiban utama dan tertuang di dalam Pasal 43 Ayat (1), yaitu:
Kewajiban yang pertama bagi penerima gelar kehormatan ini adalah menjaga nama baik PT. Sehingga, penerima wajib menjaga sikap dan perilaku dimanapun penerima gelar berada.
Secara umum, kewajiban ini juga dimiliki oleh dosen lain. Sebab, menjaga nama baik PT adalah tugas dan tanggung jawab bersama. Tidak hanya untuk dosen, melainkan untuk seluruh SDM di bawah naungan PT tersebut.
Menjaga nama baik PT bisa dilakukan dengan banyak cara. Namun yang paling umum adalah dengan menghindari segala bentuk pelanggaran etika dan hukum. Sehingga nama baik PT tidak tercoreng ketika ada kasus yang dihadapi pemilik gelar.
Kewajiban yang kedua adalah melaksanakan tri dharma. Hal ini semakin menegaskan bahwa gelar Profesor Kehormatan hanya untuk kalangan dosen. Sebab aktivitas tri dharma memang hanya dilaksanakan dosen.
Tri dharma perguruan tinggi sendiri terdiri dari tiga tugas pokok yang wajib dijalankan dosen selama masa pengabdian, yakni tugas pendidikan dan pengajaran, tugas penelitian dan pengabdian, dan tugas pengabdian kepada masyarakat.
Seluruh tugas akademik tersebut wajib dijalankan sesuai ketentuan. Baik dari segi proporsi sampai indikator maupun kriteria penilaian yang harus terpenuhi. Sehingga, ada ketentuan yang menyertai setiap pelaksanaan isi tri dharma.
Kewajiban yang ketiga sekaligus yang terakhir untuk penerima gelar Profesor Kehormatan adalah mematuhi kode etik dosen, yaitu norma dan etika yang mengikat perilaku Dosen dalam melaksanakan tugas Tridharma secara profesional.
Kode etik dosen terbagi menjadi dua, yakni kode etik nasional dosen dan kode etik dosen pada perguruan tinggi. Kode etik nasional dosen sendiri antara lain:
Kode etik dosen juga mencakup kode perilaku dosen, yang juga diatur di dalam Permendikbudrisek Nomor 44 Tahun 2024, diantaranya:
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, gelar Profesor Kehormatan tidak dimiliki dosen untuk seumur hidup melainkan ada masa berlakunya. Masa berlaku gelar profesor kehormatan hanya 5 tahun dan tidak bisa diperpanjang.
Hanya saja, PT yang memberi gelar kehormatan tersebut bisa mencabut pemberian gelar karena beberapa hal. Sehingga, sebelum masa 5 tahun berakhir, sangat mungkin dosen kehilangan gelar kehormatan tersebut. Penyebabnya antara lain:
Adanya ketentuan ini, tentu menjadi perhatian bagi semua dosen terutama yang sudah mendapat gelar kehormatan. Sebab ada kemungkinan gelar ini dicabut oleh PT jika memang ada salah satu sebab yang disebutkan di atas.
Meski memenuhi syarat mendapatkan gelar Profesor Kehormatan tidak mudah. Namun, tidak berlebihan jika dosen berusaha memenuhinya. Sebab sesuai penjelasan di atas tentunya diketahui ada banyak manfaat bisa didapatkan jika gelar ini berhasil diraih, diantaranya:
Manfaat yang pertama adalah gelar kehormatan tersebut menjadi bukti dosen sudah berhasil profesional. Sebab, gelar ini baru bisa didapatkan jika dosen memiliki prestasi yang luar biasa.
Tentunya tanpa bersikap profesional, dosen akan kesulitan memenuhi syarat mendapat gelar ini. Sehingga, memiliki gelar kehormatan satu ini berdampak positif bagi ctra dosen, personal branding, dan juga pengembangan diri maupun karir dosen.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak semua dosen bisa memenuhi syarat untuk mendapat gelar kehormatan ini. Maka, gelar ini menjadi bukti dosen sudah memiliki prestasi akademik di atas rata-rata. Pencapaian ini tentu menjadi sumber kebanggaan bagi dosen, orang terdekat, dan PT yang menaunginya.
Dosen dengan gelar kehormatan ini bisa mendapat tambahan penghasilan, yakni melalui hak honorarium yang diberikan oleh PT yang memberi gelar. Meski jumlahnya disesuaikan kinerja dosen, yang artinya tidak tetap. Namun, honorarium bisa memberi tambahan pemasukan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan dosen.
Dengan berbagai manfaat tersebut, tidak keliru jika dosen berusaha meraih gelar Profesor Kehormatan. Gelar ini sekaligus menjadi bukti PT yang menaungi dosen memiliki kualitas yang baik. Sebab, PT yang memberi gelar kehormatan ini juga wajib memenuhi sejumlah syarat yang tidak mudah dipenuhi.
Jika memiliki pertanyaan atau ingin sharing pengalaman berkaitan dengan topik dalam artikel ini. Jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share agar informasi dalam artikel ini tidak berhenti di Anda saja. Semoga bermanfaat.
Pada saat menyusun karya tulis ilmiah, apapun jenisnya, dijamin karya ini diharapkan bebas dari kesalahan.…
Pada saat melakukan penelitian, maka biasanya akan menyusun proposal penelitian terlebih dahulu. Salah satu bagian…
Dosen yang sudah berstatus sebagai dosen tetap, maka memiliki homebase. Jika hendak pindah homebase dosen,…
Pada saat memilih jurnal untuk keperluan publikasi ilmiah, Anda perlu memperhatikan scope jurnal tersebut untuk…
Memahami cara melihat DOI jurnal pada riwayat publikasi ilmiah yang dilakukan tentu penting. Terutama bagi…
Dosen di Indonesia diketahui memiliki kewajiban untuk melakukan publikasi ilmiah, termasuk publikasi di jurnal nasional…