Di antara kritik yang sering dilontarkan terkait kualitas dosen perguruan tinggi di Indonesia adalah: Pertama, sekarang ini minat sebagian dosen untuk terus membaca dan mengerjakan karya ilmiah di bidang keilmuannya sudah menurun. Mereka tampak sudah merasa puas dengan gelar doktor atau Ph.D. yang diraihnya. Mereka sudah tidak lagi sibuk dengan karya ilmiah yang menjadi tugas pokok mereka untuk menyumbangkan hal-hal baru dalam bidang keilmuannya. Kalaupun mereka melakukan sebuah penelitian, biasanya itu tidak dimaksudkan untuk menemukan hal baru atau menyumbang sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat, tetapi untuk meraih kenaikan pangkat atau mencapai posisi guru besar .
Kedua, tidak sedikit para dosen yang beranggapan bahwa tugas utamanya hanya menyampaikan pengetahuan atau menugaskan karya ilmiah kepada para mahasiswa. Mereka sering alpa bahwa mereka adalah pendidik dalam pengertian seluas-luasnya. Di pundak mereka terpikul tanggung jawab yang melampaui tembok kampus, yaitu untuk mendidik mahasiswa, baik dari sisi keilmuan, mental, cara berpikir, perilaku, dan sebagainya.
Ketiga, banyak dosen yang menghindarkan diri dari tugas utamanya sebagai pendidik dengan berbagai cara untuk menutupi kekurangannya. Misalnya dengan menerapkan “despotisme ilmiah” karena tidak mampu mengatasi dialog kritis dengan mahasiswa, lari dari topik utama perkuliahan untuk menghabiskan waktu karena tidak menguasai materi, atau memberi penugasan kemudian membiarkan para mahasiswa berdebat sendiri dengan alasan melatih mereka berdiskusi, dan sebagainya.
Data yang dimiliki Litbang Depdiknas menunjukkan, dari 120.000 dosen tetap PTS dan PTN di Indonesia, masih ada 50,65 persen atau sekitar 60.000 di antaranya belum berpendidikan S2 atau baru S1. Menurut data lain, jumlah seluruh dosen di PTN sebanyak 240.000 orang, 50% di antaranya belum memiliki kualifikasi pendidikan setara S2.
Di antara jumlah tersebut, baru 15% dosen yang bergelar doktor. Sementara itu, di perguruan tinggi di Malaysia, Singapura, dan Filipina jumlah doktornya sudah mencapai angka 60% lebih. Jika dibandingkan dengan Indonesia, maka tampak bahwa dosen di perguruan tinggi Indonesia masih jauh ketinggalan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada jurang yang lebar antara cita-cita ideal, dan kondisi riil para dosen perguruan tinggi di Indonesia saat ini. Kondisi tersebut tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti manajemen pendidikan, ekonomi, realitas sosial, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk membenahinya juga diperlukan sebuah program pengembangan profesionalisme dosen yang komprehensif serta melibatkan berbagai pihak, mulai dari perguruan tinggi, pemerintah, hingga masyarakat.
Menurut Permendiknas No.16 tahun 2007, dijelaskan bahwa seorang dosen harus memiliki empat jenis kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Merujuk pada gagasan Spencer (Learning and Teaching in The Clinical Environment, 2003), bahwa kompetensi terdiri dari 5 (Lima) Karakteristik:
- Motives
Motif ialah sesuatu dimana seseorang secara konsisten berfikir sehingga ia melakukan tindakan. Spencer menambahkan bahwa motives adalah “drive, direct and select behavior toward certain actions or goals and away from others“. Misalnya, seseorang yang memiliki motivasi berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang memberi suatu tantangan pada dirinya sendiri. Kemudian, bertanggung jawab penuh untuk mencapai tujuan tersebut. Serta mengharapkan semacam feedback untuk memperbaiki dirinya.
- Traits
Traits Artinya watak yang membuat orang untuk berperilaku atau bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu. Sebagai contoh seperti percaya diri, kontrol diri, ketabahan atau daya tahan.
- Self Concept
Maksudnya adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sikap dan nilai diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui nilai yang dimiliki seseorang dan apa yang menarik bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.
- Knowledge
Maksudnya adalah nformasi yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks. Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta untuk memilih jawaban yang paling benar tetapi tidak bias melihat apakah seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
- Skills
Ini adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik secara fisik maupun mental. Dengan mengetahui tingkat kompetensi maka perencanaan sumber daya manusia akan lebih baik hasilnya.
Rencana program pengembangan profesionalisme dosen dapat dilakukan dengan mengetahui terlebih dahulu karakteristik kompetensi yang profesional. Tujuannya agar dapat memetakan kebutuhan program tersebut.
Profesionalisme merupakan elemen dari motivasi yang berkontribusi terhadap kinerja tugas yang tinggi. Adanya hubungan kontributif ini mengimplikasikan perlunya peningkatan profesionalisme bagi yang menggeluti suatu bidang profesi, termasuk profesi dosen. Dosen yang profesional diharapkan memiliki kinerja yang dapat memuaskan semua pihak yang berkepentingan stakeholders, yaitu mahasiswa, orang tua, dan masyarakat dalam arti luas. Di samping memuaskan stakeholders, kinerja yang tinggi ini juga memuaskan diri sendiri. Bagi seorang profesional, kepuasan rohani merupakan kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan. Sedangkan kepuasan material merupakan hal sekunder.