Pada kurun waktu 50 tahun ke belakang terdapat negosiasi dan perundingan untuk menentukan siapa, bagaimana, dan kemana tujuan dari pesawat udara untuk dapat melakukan suatu rute penerbangan di dalam dunia aviasi. Proses politik tersebut melibatkan pihak-pihak baik negara maupun orgaisasi internasional yang berfokus pada aviasi global. Mengingat dunia aviasi merupakan salah satu instrumen berfungsi menyatukan lingkungan internasional, baik secara geografis maupun sosial di dalam era globalisasi saat ini.
Guna memahami proses dalam politik aviasi global, studi Hubungan Internasional merupakan dasar kajian dalam keterkaitan antara aviasi dengan politik internasional. Ilmu Hubungan Internasional pada hakikatnya merupakan suatu bidang kajian mengenai kesatuan interaksi serta sosialisasi dengan ruang lingkup yang bersifat global. Dengan tujuan studi untuk mempelajari perilaku antar aktor negara maupun non-negara di dalam konstelasi politik internasional. Perilaku tersebut dapat berwujud kerja sama, pembentukan aliansi, perang-konflik serta interaksi dalam organisasi internasional.
Aviasi internasional bukan hanya mempermasalahkan sistem ekonomi dengan ekologi seperti kebanyakan model bisnis yang terjadi di dalamnya. Menurut Andreas F Lowenfeld isu-isu dalam aviasi internasional mempengaruhi cara pandang suatu pemerintahan dengan pemerintahan lainnya, individu melihat suatu keberadaan negara dan negara lainnya, serta memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung terhadap rasa keamanan.
Pecahnya perang dunia I dan II memberikan pengertian baru terkait aviasi yang mencakup keberadaan ruang udara di atas suatu negara. Berkaca pada kedua perang besar tersebut, penggunaan wahana udara berfungsi sebagai senjata yang dapat mengancam pertahanan dan keamanan suatu negara. Jika melihat dalam beberapa konflik bersenjata 10 tahun terakhir, penggunaan drone serta UAV (unmanned aerial vehicle) dimanfaatkan sebagai salah satu kunci dalam konflik-konflik tersebut dengan instrumen ruang udara.
Baca juga : Manfaat Besar Dari Program Riset Kolaborasi Dosen
Kemampuan teknologi wahana udara semakin maju dalam daya jelajah, kapasitas, ketinggian, maupun kecepatan. Guna menunjang kebutuhan aviasi baik sipil maupun militer, komunitas internasional merumuskan paket pengaturan terkait aviasi secara global. Beberapa pertemuan dan konvensi dari komunitas internasional terselenggarakan untuk membahas masa depan dunia aviasi, seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Havana 1929. Namun Konvensi Chicago 1944 merupakan tonggak kesepakatan politik internasional antar negara-negara pada saat itu dalam konsederasi permasalahan aviasi global sekaligus membatalkan konvensi-konvensi sebelumnya.
Konvensi Chicago 1944 menghasilkan serangkaian keputusan-keputusan tentang bagaimana aviasi internasional dibentuk sedemikian rupa. Dimana pokok-pokok pengaturan yang diterima oleh negara-negara perserta konvensi pada saat itu sebagai lima kebebasan udara. Yaitu dua kebebasan dasar hak lintas damai (innocent passage) dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan bakar dan reparasi (technical stop), serta tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial.
Pada awal mulanya konvensi tersebut hanya di tandatangani oleh 32 negara, namun menurut Frans Likadja tercatat sebanyak 54 negara menandatangani Final Agreement dari Konvensi Chicago 1944. Status hukum internasional konvensi tersebut mulai berlaku pada 7 April 1944, dimana para sarjana dan ahli-ahli hukum internasional sepakat bahwa Konvensi Chicago 1944 merupakan sumber hukum utama atau “Magna Charta” bagi aviasi global.
Salah satu produk yang dihasilkan dalam Konvensi Chicago 1944, ialah terbentuknya organisasi aviasi sipil dunia ICAO yang berdiri pada tanggal 4 April 1947. Badan-badan pelaksana tugas ICAO terdiri dari Sidang Umum (General Assembly), Dewan (Council), dan Sekretarian Jenderal (Secretary General). Dalam perjalanannya, tugas-tugas yang dilaksanakan oleh ICAO berfokus pada aspek-aspek teknis serta hukum dari aviasi sipil internasional. Badan-badan tersebut juga berfungsi sebagai pengawas dan pengendali dengan melalukan audit terhadap negara-negara anggota, yang ICAO mempunyai prinsip tentang kebudayaan keselamatan (safety dengan sendirinya harus menyesuaikan diri demi keamanan penerbangan. Culture).
ICAO menetapkan International Standards and Recommended Practices (SARPs), yang dimuat dalam sembilan belas Annexes (Lampiran-lampiran) untuk diterapkan secara universal bagi negara-negara anggota ICAO dengan bertujuan untuk keseragaman teknis dari aviasi sipil internasional. Annexes tersebut dikembangkan dengan cara-cara yang aman, tertib, serta efisien melalui komisi dan komite yang bersangkutan, secara sederhana Annexs merupakan buku-buku yang berisi pedoman keselamatan penerbangan sipil internasional.
Berdasarkan konstitusi ICAO dalam Konvensi Chicago 1944, adanya kedudukan merupakan keberadaan status dari suatu negara (contracting States) yang menjadi anggota Dewan dan atau negara-negara tersebut hanya menjadi anggota biasa dalam ICAO. Dalam memilih anggotanya, Dewan memberikan tempat (kategorisasi) kepada: Negara-negara yang mempunyai alat angkutan udara yang penting (Kategori I); Negara-negara yang mempunyai kontribusi terbesar dalam menyediakan fasilitas penerbangan sipil internasional (Kategori II); Negara-negara yang penunjukannya mewakili semua wilayah-wilayah geografi dunia (Kategori III).
Sebagai organ yang berdaulat, Dewan mengadakan sidang paling tidak sekali dalam tiga tahun guna meninjau dan membuat garis-garis besar untuk perencanaan masa depan yang terdiri dari 36 negara-negara anggota Dewan. Fungsi serta peran Dewan memiliki aspek legislatif, yudikatif dan administratif sebagai fungsi serta tugas mandatarisnya.
Dalam konteks pendekatan ilmiah, digunakan suatu sistem atau teori/paradigma yang dapat diperuntukan sebagai instrumen analisa untuk menemukan relasi antar fakta dalam suatu situasi atau kenyataan tertentu. Seperti aspek-aspek lainnya, permasalahan serta pembahasan pada sektor aviasi internasional memiliki tingkat kompleksitas yang cukup tinggi dengan variable-variable seperti yang sudah di jelaskan sebelumnya.
Dunia aviasi internasional tidak luput dari para ahli serta ilmuan sebagai bahan penelitian untuk mendapatkan kejalasan tentang fenomena-fenomena dengan mengggunakan paradigma atau teori di dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional. Jika merujuk kepada perilaku serta struktur yang membentuk, aviasi global dapat disejarkan dengan keberadaan suatu rezim atau sistem internasional dengan segala predikat yang melekat di dalamnya.
Penteorisasian tersebut berjalan seiring dengan perkembangan keilmuan yang terjadi dalam Ilmu Hubungan Internasional khususnya pada kurun waktu 1980an pada saat konsep rezim mulai dikenal dan dipelajari. Martin Litx dan Volker Rittberger berpendapat bahwa keberadaan suatu rezim internsional untuk adanya suatu bidang permasalahan secara khusus dan menjadi bagian dari ruang kebijakan yang lebih luas.
Sebagai organisasi internasional dengan fokus kepada isu-isu yang berkaitan dengan aviasi tingkat global, ICAO memiliki peraturan-peraturan berupa produk hukum yang merupakan salah satu ciri dari rezim internasional. Meskipun antara rezim internasional dengan organisasi internasional tidak memiliki kesamaan, namun menurut Stephen D. Krasner, antara organisasi internasional dan rezim internasional saling bersilangan, dengan organisasi internasional dapat menyediakan prosedur pelaksanaan bagi suatu rezim internasional.
Isu-isu penting dalam aviasi internasional berkaitan dengan keberadaan suatu rezim, pada dasarnya menjadi subjek perdebatan antara Realisme dengan Idealisme/Liberalisme yang secara historis merupakan fondasi paradigma dalam kajian Hubungan Internasional.
“Buku Politik Aviasi Dan Tantangan Negara Kepulauan” bisa di dapatkan di penerbitbukudeepublish.com
Pendekatan Realisme tidak mengecualikan adanya kerja sama antar negara, namun terjalinnya kerja sama tersebut dipandang sebagai instrumen yang inheren dengan penggambaran distribusi power. Menurut Baldev Raj Nayar, bagi Realisme dalam melihat sistem atau rezim internasional seperti aviasi merupakan suatu epiphenomena yang merefleksikan adanya balance of power. Seperti rezim internasional lainnya, rezim aviasi didorong oleh power serta kepentingan nasional dan bukan merupakan adanya suatu komitmen bersama dalam norma atau semangat berbagi.
Dari sudut pandang Idealisme/Liberalisme, memiliki pendekatan kontras dibanding dengan Realisme dalam melihat keberadaan rezim aviasi internasional. Idealisme/Liberalisme lebih menekankan pentingnya hukum internasional, keuntungan bersama dari perekonomian, dan rasionalitas diplomasi. Tidak seperti Realisme dengan memandang pesimistis kepada sifat dasar negara, Idealisme/Liberalisme percaya bahwa fitur kerja sama dalam politik internasional memiliki tujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga dan membangun ikatan kepercayaan. Pola-pola kerja sama antar aktor internasional di dalamnya memungkinkan terbentuknya suatu rezim internasional, seperti WTO (World Trade Organization), EU (European Union), PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), dan dalam bidang aviasi yaitu ICAO (International Civil Aviation Organization).
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…