Yogyakarta – Sri Wiyanti Eddyono atau yang biasa disapa Iyik ini mengklaim dirinya sebagai feminist lawyer. Iyik menjelaskan, feminis itu intinya adalah mereka yang memperjuangkan hak-hak perempuan yang setara di hadapan Tuhan, pemerintah, masyarakat, hukum, dan kehidupan.
”Feminisme, sebagai aliran feminis itu banyak sekali. Kalau saya feminis postkolonialis, yaitu melakukan kritik terhadap diskriminasi terhadap perempuan karena ada pengaruh kolonialisasi,” katanya saat ditemui duniadosen.com ketika mengantar putrinya berkegiatan di Museum Affandi Yogyakarta, Sabtu (3/11).
Tak hanya itu, Iyik juga menganggap dirinya sebagai seorang feminis Islam. Dia percaya sesungguhnya Agama Islam itu sifatnya membebaskan perempuan. ”Saya tidak percaya Islam itu mengungkung perempuan. Itu sangat misoginis dan dipengaruhi oleh sistem patriarki yang masih kental,” ujarnya.
Menurutnya, isu perempuan dan kaum marjinal adalah isu yang perlu diperjuangkan, apalagi menilik konteks Indonesia yang sangat patriarkis. Dalam berbagai kegiatannya, Iyik selalu berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan, misalnya pelatihan sampai advokasi kebijakan. Salah satu advokasi kebijakan yang dilakukan yaitu memperjuangkan disahkannya Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dan juga penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang saat ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Perempuan yang juga menjabat sebagai pengelola Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) tersebut memang sudah lama berkutat dalam isu gender, perempuan, dan perjuangan kaum marjinal. ”Sejak mahasiswa, saya tergabung dalam lembaga studi perempuan dan anak. Hidup saya, salah satunya adalah untuk memperjuangkan hak-hak perempuan,” ungkap perempuan berkacamata ini.
Iyik melanjutkan, perempuan masih menjadi kaum yang inferior, terutama dalam lingkup kehidupan patriarkis. Salah satu isu paling mendesak dari isu perempuan adalah kekerasan seksual yang trennya cenderung meningkat setiap tahun.
Menurutnya, masih ada relasi kuasa sehingga perempuan diposisikan sebagai kelompok marjinal. Kekerasan itu tidak akan terjadi kalau tidak ada relasi yang tidak seimbang. ”Ada relasi yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang menyebabkan terjadinya kekerasan berbasis gender,” jelasnya.
Iyik menilai tidak adanya pengakuan terhadap perempuan, menjadikannya makin dianggap inferior yang akhirnya berpengaruh terhadap bagaimana laki-laki memperlakukan perempuan. ”Saya hampir setiap bulan mendapat informasi kekerasan terhadap perempuan, bahkan mahasiswa di sini (UGM-red) mengalami kekerasan, mulai dari pacarnya sampai dalam keluarga,” terangnya.
Selain itu, Iyik menyebut sedikitnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan adalah isu perempuan yang saat ini perlu dijadikan fokus. Dalam sistem patriarki, kepala keluarga itu laki-laki. Hal itu menjadikan laki-laki memiliki privilage untuk melakukan pengambilan keputusan. Perempuan memang dilibatkan, namun tidak berada dalam posisi strategis.
”Padahal peran real mereka kuat dalam komunitas. Dampaknya banyak kepentingan perempuan tidak diakomodir dalam kebijakan. Program-program umum tidak berbicara tentang kebutuhan perempuan,” paparnya.
Dosen lulusan Monash University, Australia tersebut menganggap kajian hukum terkait kelompok marjinal dan perempuan harus diperbanyak. Meski menurutnya ada peningkatan kualitas hukum dari pasca orde baru (orba), tetap saja diperlukan upaya progresif seperti fokus tentang kekerasan seksual yang menurutnya memiliki perlindungan hukum yang tidak memadai. Makanya, ia membuat sebuah pusat studi terkait gender, perempuan, dan masyarakat di UGM.
”Baru berdiri Maret 2018 lalu. Kajian ini untuk mendorong mempercepat efektivitas hukum atau merumuskan hukum yang lebih baik lagi,” terangnya.
Tak hanya itu, dosen yang pernah terlibat dalam Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia tersebut juga menganggap hukum Indonesia masih memiliki kekosongan dalam mengatur kekerasan seksual yang padahal jumlahnya sangat banyak. ”Hukum lebih melindungi pelaku daripada hak-hak korban. Isu korban terabaikan. Makanya kita dorong terus mengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang lebih menggunakan perspektif korban. Korban memiliki hak atas pemulihan dan penanganan,” bebernya.
Sebagai feminis, Iyik sangat gigih dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kaum marjinal. Baginya, perempuan memiliki andil penting dalam perkembangan sebuah bangsa. ”Penyangga kehidupan adalah perempuan. Saya mendukung pengakuan terhadap perempuan di segala bidang. Kita harus sadar perempuan berkontribusi besar terhadap kemajuan bangsa,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…