fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Perjalanan Mamnu’ah Berkarir sebagai Dosen Keperawatan di Unisa Yogyakarta

dosen UNISA Yogyakarta
Ns. Mamnu’ah, M. Kep. Sp. Kep.J., dosen pengampu program studi Sarjana Keperawatan Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) usai mempresentasikan disertasinya untuk gelar doktornya didampingi sang suami Dr. Triyono., SP., MP. (dok. Facebook)

Mengalahkan egonya dan menuruti kata orang tua, justru membuat mudah langkahnya menggapai karir gemilang. Ns. Mamnu’ah, M. Kep. Sp. Kep.J., dosen pengampu program studi Sarjana Keperawatan Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA) sebelumnya tidak menyangka jika perjalanan karirnya akhirnya jatuh pada profesi dosen. Padahal, sejak awal kuliah di D3 Keperawatan di Akademi Kesehatan Aisyiyah Yogyakarta ia tak pernah bercita-cita sebagai dosen.

“Lulus SMA tahun 1992 terus merantau ke Jogja karena asli saya Indramayu. Kalau cita-cita ingin jadi insinyur pertanian, makanya sempat mendaftar pertanian. Tapi almarhum Bapak menginginkan saya sekolah di kesehatan. Akhirnya daftar juga di kesehatan. Alhamdulillah keterima semua, tapi ya saya pilih yang kesehatan di D3 Akademi Kesehatan Aisyiyah,” ungkap Nu’ah.

Nu’ah menceritakan alasan mengapa ia ingin sekali menjadi insinyur pertanian, tak lain karena dahulu ia menonton presiden Soeharto di televisi yang kerap sekali berkumpul dengan para petani. Ia melihat begitu menyenangkannya menjadi seorang insinyur pertanian. Sejak usia Sekolah Dasar tak jarang pula, ketika ditanya cita-cita, Nu’ah lugas menjawab ingin menjadi insinyur pertanian. Meski cita-citanya tersebut harus jauh ia urungkan, namun tak ada penyesalan. Nu’ah pun sangat bersyukur karena dirinya menjadi seorang istri insinyur pertanian.

Masuk di Akademi Kesehatan Aisyiyah, MamNu’ah memilih untuk tinggal di asrama. Karena saat itu asrama masih sangat longgar untuk ditinggali 40 orang mahasiswi pada setiap angkatan dengan total ada tiga angkatan sehingga jumlah mahasiswi pada saat itu ada 120 orang. Menariknya, setiap mahasiswi di sana pasti saling mengenal.

Lulus D3 pada angkatan kedua, Nu’ah langsung ditawari mengajar di Akademi Kesehatan Aisyiyah meski mayoritas teman seangkatannya memilih bekerja di RS PKU. Akhirnya, usai lulus Nu’ah mengurungkan pulang ke kampung halamannya di Indramayu, Jawa Barat. Ia diminta menjadi pengawas asrama dan tinggal bersama mahasiswa yang notabene adik-adik tingkat Nu’ah. Nu’ah diminta tinggal maksimal selama dua tahun selama belum menikah. Hal itu dianggap sebagai bentuk pengabdiannya pada Akademi Kesehatan Aisyiyah.

Karena Nu’ah lulusan D3, pada tahun 1997 Nu’ah menempuh pendidikan akta 3 sebagai ketentuan syarat mengajar di IKIP Jakarat sekarang Universitas Negeri Jakarta (UNJ) selama 2,5 bulan. Kembali ke Yogyakarta Nu’ah disibukkan mengajar dan jadwal praktik sebagai perawat. Hampir setiap hari Nu’ah mengajar dan praktik yang ia tempuh dari Kampus Aisyiyah ke RS. Sardjito dengan mengendarai sepeda motor. Sepanjang perjalanan itu, Nu’ah selalu melewati Universitas Gadjah Mada (UGM) sambil berangan-angan dan berdoa ia ingin sekali bisa melanjutkan pendidikan di UGM.

Bersyukur, doa dan harapan Nu’ah untuk masuk UGM dikabulkan. Tepatnya tahun 1999 Ia berhasil melanjutkan studi S1 nya di universitas kenamaan di Yogyakarta tersebut. Setelah S1, kemudian Ners 1,5 tahun teori dan 1 tahun profesi.

2006 Nu’ah kembali melanjutkan S2 Keperawatan Jiwa di Universitas Indonesia (UI) Depok. Ia ambil spesialis, perjuangannya melanjutkan S2 nya begitu luar biasa. Ia harus rela meninggalkan anaknya yang masih balita dan setiap akhir pekan untuk bolak balik Yogyakarta- Jakarta dengan naik kereta ekonomi, pulang Jumat Kembali Ahad (PJKA). Kondisi kereta api ekonomi pada Ahad malam saat itu memang penuh sesak, sehingga Nu’ah terbiasa tidur di kolong-kolong tempat duduk kereta beralaskan koran.  Tiga tahun Nu’ah menjalaninya. Karena ia harus cuti satu tahun lamanya dikarenakan suaminya sakit.

“Dulu sebetulnya saya ingin di keperawatan anak, kemudian saya harus segera lanjut sekolah S2. Dan saat itu keperawatan anak belum ada, di UI baru ada keperawatan jiwa, ya sudah ambil saja. Karena gak boleh peluang itu disia-siakan. Tapi setelah saya jalani ternyata saya suka dan banyak manfaatnya, bukan untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain. Akhirnya banyak belajar dari situ,” terangnya.

Satu tahun berikutnya Nu’ah melanjutkan program pesialis selama 1 tahun (2009-2010) dengan praktinya di Bogor, Jawa Barat. Karena dahulu, rumah sakit jiwa terbesar berada di Bogor. Setelah selesai Nu’ah kembali ke kampus Aisyiyah untuk melanjutkan mengajar sebagai dosen.

2015 Akademi Kesehatan Aisyiyah berubah nama menjadi Universitas Aisyiyah Yogyakarta (UNISA), satu tahun sebelum itu Nu’ah diminta pihak kampus untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3. Lagi-lagi, saat Nu’ah menempuh S3 nya terpaksa ia harus mengambil cuti selama 1 tahun dikarenakan sakit yang membutuhkan terapi panjang.

“Saya S3 itu luar biasa, jadi suami saya sama-sama sedang menempuh S3 jadi kami gantian, suami saya sakit, terus kemudian saya. Ternyata S3 itu ujiannya tidak hanya materi penelitian, tetapi juga dari kesehatan,” ungkap Nu’ah.

Meski begitu, akhirnya Nu’ah berhasil menyelesaikan pendidikan S3 nya dan meraih gelar doktor yang diberikan UGM atas disertasinya berjudul Recovery Pada Pasien Skizofrenia di Komunitas, pada (23/07/2019) lalu. Ia pun merasakan dukungan luar biasa dari pihak keluarga, suami, anak-anak dan pihak kampus Aisyiyah sehingga Nu’ah bisa menyelesaikan S3 nya dengan baik.

“Saya juga tidak menyangka dan tidak terasa tiba-tiba selesai. Jadi merasa, ya Allah ini mungkin janji Allah itu betul ya. Setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan. Kemudahannya berlipat-lipat,” ujarnya.

Suka Duka Menjadi Dosen

Nu’ah mengaku tidak ada kendala berarti ketika ia diangkat menjadi dosen. Ia merasa beruntung menjadi dosen ketika masih di awal-awal, karena persyaratannya tidak serumit sekarang. Untuk sertifikasi dosen ia juga menempuhnya dengan mudah. Begitu pula dalam proses mengajar. Nu’ah begitu menikmati dan selalu ada materi yang baru. Tak lain, karena Nu’ah kerap melakukan penelitian, pengabdian sehingga ilmu yang diperolehnya terus ia sampaikan dan upgrade untuk mahasiswanya.

Dengan kerap melalukan penelitian dan pengabdian masyarakat bersama mahasiswa, Nu’ah merasa senang karena mahasiswanya bisa berinteraksi langsung dengan pasien. Pasien pun lebih leluasa untuk bercerita, mahasiswa pun tidak selalu teks book dan bisa mengembangkan temuan-temuannya di lapangan. Baik kondisi di rumah sakit, di puskesmas, dan organisasi atau komunitas lain.

Jurusan keperawatan jiwa di UNISA terdapat praktik di komunitas, sehingga setiap sepekan sekali Nu’ah dan mahasiswanya datang ke masyarakat. Disana pula Nu’ah dan mahasiswa melakukan pendampingan, baik datang langsung ke keluarga pasien ODGJ, melihat kondisinya ketika berada di rumah, bagaimana cara mereka merawat keluarga yang ODGJ, dan memberikan penyuluhan tentang bagaimana membersihkan, merapikan rumahnya.

Dari sana Nu’ah juga merasa prihatin, karena ternyata masih banyak pasien ODGJ yang dirawat di rumah karena keterbatasan biaya. Sehingga pasien tidak bisa dirawat di rumah sakit. Dan bagi Nu’ah merasa perlu untuk mengedukasi keluarga pasien. Saat-saat itu juga menjadi bagian momen berkesan Nu’ah sebagai dosen. Tak hanya dirinya yang merasa senang bisa berinteraksi dengan pasien, tetapi juga mahasiswanya yang juga mengaku senang ketika melaksanakan praktik langsung.

Kegiatannya sebagai dosen memang lebih banyak menerapkan Tridharma perguruan tinggi. Meski sebenarnya ada keinginan Nu’ah untuk bisa membangun sebuah usaha. Tapi, keterbatasan waktu yang dimiliki membuatnya sulit memulai. Ia pun akhirnya memtuskan untuk fokus menjalankan amanahnya sebagai dosen keperawatan jiwa di UNISA.

Kendala Membagi Waktu

Semasa lulus D3 dan menempuh pendidikan S1 yang juga mengajar sebagai dosen keperawatan di Akademi Kesehatan Aisyiyah bagi Nu’ah tidak ada kendala dalam memanage waktunya. Begitu ia menempuh S2 dan sudah menikah Nu’ah mulai merasa kerepotan. Namun, ada sosok suami Dr. Triyono, SP.MP., yang legowo dan senantiasa membantu tugas sang istri. Di saat Nu’ah kuliah di Jakarta sang suami lah yang merawat putra pertama mereka yang masih balita. Tapi ketika Nu’ah kembali ke Yogyakarta, Nu’ah harus meluangkan waktu untuk keluarga di hari Sabtu atau Ahad.

“Suami saya luar biasa, saat itu saya tinggali anak masih bayi. Mungkin repot juga kan beliau. Tapi ya saya harus di Jakarta. Meski rencana weekend harus untuk keluarga terkadang juga tersita lagi karena untuk mengerjakan tugas dan tak jarang kalau Sabtu masih membimbing mahasiswa keperawatan saya ke Grasia karena ada praktik bersama dokter jiwa di sana,” akunya.

Nu’ah pun memiliki cara mencegah anaknya protes dan marah kepadanya. Setiap pulang ke Yogyakarta, suami Nu’ah dan putra pertamanya senantiasa menjemput dan menyambut kedatangannya. Pada moment tersebutlah Nu’ah memberikan oleh-oleh untuk anak laki-lakinya tersebut. Hal itu ia lakukan sebagai hadiah karena anaknya bisa menerima kondisi ibunya yang harus menempuh pendidikan di luar kota.

“Saat S2 itu anak baru satu masih kecil beberapa bulan, tapi kalau saya pulang ke Jogja saya bawa oleh-oleh mainan, harganya tidak seberapa yang penting ada yang diberikan. Kalau dia ikut pas saya berangkat ke Jakarta pasti kelayu, kalau jemput habis subuh itu dia senang. Ya ini saya merasa bersalah, karena setiap pulang pasti ada oleh-oleh, ini cara ortu yang tidak punya waktu membahagiakan anaknya. Ya mereka tidak protes, karena mereka dapat materi,” sesalnya.

Kembali saat S3 Nu’ah harus pandai-pandai membagi waktu, karena memiliki dua buah hati. Belum lagi saat S3 Nu’ah harus memperbaiki bahasa Inggrisnya, sehingga kedua anaknya dan suami ia bawa saat mengikuti les. Itu juga alasan Nu’ah lebih memilih Yogyakarta untuk melanjutkan S3 nya.

Dukungan Suami

Mamnu’ah dan Triyono menikah pada 2004, Nu’ah merasa terlambat menikah karena menikah di usia 30 tahun. Ia pun berdoa meski terlambat menikah tetapi segera diberi momongan. Bersyukur,  di usia satu tahun pernikahannya dikaruniai putra laki-laki yang kini duduk di bangku SMP kelas 3.

Nu’ah pun merasa sedih, ketika ingat masa lampau sampai ia harus meninggalkan putranya ketika bayi dan membutuhkan asupan ASI. Kesedihannya makin terhanyut ketika ingat ia tak bisa memberikan ASI eksklusif kepada buah hatinya selama 18 bulan. Mengandung anak ke dua, usia Nu’ah 37 tahun tentu hal itu menjadi kekhawatiran karena masuk pada masa berisiko ibu hamil, saat itu Nu’ah juga mengalami hipertensi. Belum lagi saat mengandung anak kedua Nu’ah tengah menempuh S2.

“Anak pertama dengan anak kedua jaraknya 7 tahun, Alhamdulillah lahir normal dan sudah lengkap putra putri,” kata dosen berprestasi UNISA tahun 2018 ini.

Mamnu’ah didampingi humas Unisa Yogyakarta ketika ditemui awak media, beberapa waktu lalu usai meraih gelar doktor dari UGM. (dok. duniadosen.com/ta)

Putri keduanyalah yang mulai protes akan kesibukan ibunya yang terus bersekolah, putrinya pun merasakan kurangnya kehadiran sosok ibu. Nu’ah pun memberikan pengertian kepada putrinya yang masih kelas 2 SD tersebut. Nu’ah berusaha menjelaskan bahwa mencari ilmu, belajar itu dimulai sejak di ayunan sampai liang lahat. Artinya, belajar itu harus seumur hidup dan itu juga akan dilakukan putrinya kelak.

Bagi dosen keperawatan jiwa ini, dukungan sang suami yang juga sebagai dosen Pertanian di salah satu universitas swasta di Yogyakarta ini sangat luar biasa, terkadang ia pun sampai merasa segan kepada sang suami. Ketika diminta menceritakan, Nu’ah pun merasa haru sampai bingung ingin bercerita dari mana, karena begitu banyak kebaikan yang dilakukan sang suami.

“Kemana-kemana selalu ada suami. Suami support semuanya jadi beliau itu luar biasa. Dulu saya pernah bilang, saya itu gak usah kerja aja, tapi malah gak boleh, karena mungkin beliau tahu kebermanfaatannya lebih kalau saya sekolah dan berkarir dosen. Jadi suami sangat mendukung, mulai daftar menyiapkan berkas dan diantar kemana-kemana. Saat penelitian pengambilan data, meski beliau kurang fit karena masih proses pemulihan mau mengantar sampai ke Kulon Progo. Tapi ya kadang yang nyetir gantian. Itu suami saya dari dulu seperti itu, di pekerjaan juga seperti itu. Meski lagi sakit juga antar saya ke Grasia. Kalau Sabtu saat libur pun mau mengantar bersama anak-anak. Jadi serasa piknik, karena sepulang dari Grasia kami membeli pisang,” ceritanya.

Nu’ah merasa sangat bersyukur dengan apa yang ia terima saat ini. Terutama nikmat sehat, karena dengan kondisi kesehatan yang prima ia bisa terus membagi keilmuannya tentang keperawatan jiwa. Meski sebelumnya, Nu’ah tidak pernah berpikir untuk menjadi dosen. Ia memutuskan untuk kuliah di keperawatan karena keinginan ayahnya, dan Nu’ah berpikir lulus dari sana akan menjadi perawat. Tapi Tuhan memberikan jalan lain.

“Dulu pikir saya mau jadi perawat. Tapi waktu jadi mahasiswa, saya selalu bawa minyak angin, karena perut saya kembung gampang masuk angin, jadi kantong saya isinya minyak kayu putih. Mungkin itu, dari pada jadi perawat yang harus kuat jaga malem kan saya ga mampu. Ya sudah jadi dosen saja. Meski dari awal saya tidak punya pikiran jadi dosen. Tapi waktu ada tawaran ngajar ya sudah mana yang duluan saja,” bebernya.

Mamnu’ah bersama putra putrinya ketika mendampingi suaminya Dr. Triyono, SP., MP., wisuda atas gelar doktor. (dok. Facebook)

Adapun keinginan Nu’ah yang belum tercapai sampai saat ini adalah untuk bisa menerbitkan buku. Ia mengaku sudah memiliki banyak rencana untuk menulis beberapa judul buku, tapi lagi-lagi ia kehabisan waktu. Kerap penelitian, membuat Nu’ah memiliki banyak bahan untuk ia tulis dan publikasi. Belum lagi beberapa waktu lalu ia sempat sakit, sehingga harus mengurungkan kembali tulisannya.

“Motto hidup saya, jalani saja setiap kehidupan, kalau ada apa-apa gak usah banyak bertanya kenapa begini, pasti ada hikmah di balik kejadian. Kalau gak dapat hikmah itu ya dicari, carilah hikmah disetiap kejadian itu,” pungkasnya. (duniadosen.com/ta)