Bagi para dosen di Indonesia yang ingin menjadi ketua pengusul dalam program hibah Dikti 2024, maka wajib memenuhi beberapa syarat dan ketentuan. Salah satunya memiliki publikasi ilmiah sebagai penulis pertama atau sebagai penulis korespondensi.
Jika memenuhi syarat tersebut, maka setidaknya proposal usulan besar kemungkinan lolos di tahap seleksi administrasi. Sebab syarat yang dijelaskan tersebut juga termasuk dalam indikator penilaian administrasi oleh asesor program hibah Dikti. Lalu, apa itu koresponden dalam publikasi ilmiah?
Memiliki riwayat publikasi ilmiah di jurnal nasional maupun jurnal internasional, menjadi salah satu indikator penilaian seleksi administrasi di program hibah. Tidak hanya dipahami bahwa dosen pengusul punya riwayat publikasi ke jurnal ilmiah.
Melainkan juga dilihat peran yang dimiliki dalam jurnal tersebut. Dikutip dari Buku Panduan Penelitian dan Pengabdian 2024, minimal dosen pengusul yang berstatus sebagai ketua pengusul menjadi penulis pertama atau first author.
Selain itu, ketua pengusul juga bisa menjadi penulis korespondensi atau Corresponding Author. Syarat ini sendiri ditujukan untuk skema Penelitian Terapan, jadi bagi dosen yang berencana menjadi pengusul di skema ini bisa mempersiapkan rekam jejak publikasi ilmiah yang sesuai.
Lalu, apa sebenarnya penulis korespondensi? Dikutip melalui laman resmi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, penulis korespondensi adalah penulis yang bertanggung jawab untuk kegiatan korespondensi dalam proses publikasi artikel ke jurnal ilmiah.
Sementara, kegiatan korespondensi sendiri adalah proses keterhubungan antara penulis paper dan penerbit jurnal, yang dalam sistem OJS, seluruhnya dilaksanakan secara online sesuai ketentuan sistem manajemen jurnal.
Secara sederhana, penulis akan mengurus kegiatan publikasi dan segala bentuk komunikasi dengan pengelola jurnal. Mulai dari proses pemilihan jurnal yang sesuai, submit artikel, proses revisi (khusus revisi minor), dan sampai artikel tersebut diterima dan diterbitkan jurnal tersebut.
Biasanya, dalam proses publikasi ilmiah ke jurnal, penulis yang mengurus korespondensi adalah dosen atau peneliti senior yang memiliki pemahaman lebih baik dalam proses pemilihan jurnal sampai mengurus publikasi artikel ke pengelola jurnal.
Secara umum, proses penyusunan artikel ilmiah dan mengurus publikasinya ke jurnal ilmiah dilakukan beberapa penulis. Setidaknya ada tiga penulis yang akan terlibat. Dimulai dari penulis pertama atau sering disebut juga sebagai penulis utama.
Kemudian dibantu oleh penulis pendamping dan penulis korespondensi. Ketiga penulis ini biasanya akan selalu ada dalam proses pengurusan publikasi ilmiah. Selain itu, pembagian tugas atau tanggung jawab masing-masing penulis biasanya sudah jelas.
Pada corresponding author, tugas dan tanggung jawab yang dimiliki lebih ke arah korespondensi. Berikut penjelasannya:
Tugas corresponding author yang pertama adalah submit atau mengirimkan artikel ilmiah ke pihak pengelola jurnal. Sebelum submit dilakukan, biasanya corresponding author adalah memilih jurnal yang tepat.
Dalam menentukan jurnal untuk proses publikasi ilmiah, corresponding author akan memperhatikan beberapa hal penting berikut ini:
Pada saat sebuah jurnal dipahami seluruh syarat dan ketentuannya serta dirasa sesuai dengan karakter artikel ilmiah yang disusun. Maka penulis korespondensi atau corresponding author tadi akan berdiskusi dengan penulis lainnya.
Sehingga didapatkan kesepakatan untuk memilih jurnal ilmiah yang mana dan tentunya diharapkan menjadi pilihan terbaik. Biasanya akan diprioritaskan jurnal dengan indeks global yang bereputasi serta impact factor yang tinggi.
Tugas atau tanggung jawab kedua dari corresponding author dalam publikasi ilmiah ke jurnal adalah menyelesaikan revisi. Jadi, pada saat submit artikel biasanya akan dikirimkan abstrak dulu sambil menunggu respon pengelola jurnal.
Jika sudah ada respon dan konfirmasi lebih lanjut, maka artikel akan di submit secara utuh atau sesuai kebijakan pengelola jurnal. Sebagus apapun dan seteliti apapun isi dari artikel ilmiah, biasanya revisi tetap akan didapatkan.
Poin yang membedakan adalah skalanya. Dimulai dari revisi minor atau skala kecil, kemudian revisi mayor yakni skala besar, dan ada resiko artikel yang di submit ditolak atau rejected.
Seorang corresponding author biasanya akan bertanggung jawab melakukan revisi skala minor. Misalnya terkait teknik penyusunan artikel yang kurang sesuai dengan ketentuan pihak jurnal. Jika revisi mayor, maka akan direvisi bersama-sama penulis lainnya.
Biasanya, corresponding author akan mencantumkan alamat email ke pihak pengelola jurnal. Sehingga segala bentuk informasi terkait progres dan status artikel yang di submit akan dilakukan di alamat email milik corresponding author tersebut.
Tugas terakhir dari penulis korespondensi adalah mengurus proses finalisasi dalam publikasi ke jurnal ilmiah. Artinya, corresponding author akan memastikan bahwa artikel sudah diterima dan akan diterbitkan oleh pengelola jurnal tersebut.
Pada tahap akhir ini, masih ada kemungkinan terjadi komunikasi intens antara pengelola jurnal dengan corresponding author. Misalnya ada komunikasi mengenai perlu tidaknya artikel dialihkan ke jurnal lain sesuai rekomendasi pengelola jurnal karena alasan tertentu.
Sehingga komunikasi ini akan terjadi cukup sering sampai dipastikan artikel terpublikasi dan diakses oleh para pembaca. Jadi, proses komunikasi ini akan tetap dilakukan melalui email milik corresponding author yang dijelaskan sebelumnya.
Apakah Anda mau publikasi di jurnal terindeks Scopus. Jangan lewatkan ini:
Jika Anda menjadi penulis korespondensi dalam publikasi ilmiah di sebuah jurnal, maka biasanya akan diminta untuk dibuktikan. Pertanyaannya, bagaimana cara membuktikan jika Anda merupakan corresponding author?
Terkait hal ini, para corresponding author akan diminta untuk mencantumkan bukti semua aktivitas korespondensi dari publikasi ilmiah tersebut. Mulai dari melampirkan gambar atau screenshot komunikasi via email dengan pengelola jurnal sampai progres artikel di website jurnal tersebut. Berikut beberapa contohnya:
Berikut adalah beberapa contoh bukti komunikasi corresponding author dengan pihak pengelola jurnal melalui email:
Secara umum, email yang menunjukan komunikasi dan proses korespondensi dalam publikasi ke jurnal dilakukan beberapa kali. Disesuaikan dengan berapa kali revisi akan dilakukan, karena revisi bisa lebih dari sekali.
Selain itu, penulis korespondensi juga bisa mencantumkan bukti berupa gambar tangkapan layar dari progres artikel di website resmi pengelola jurnal. Berikut beberapa contohnya:
Bukti yang terakhir dan perlu dicantumkan adalah bukti dilakukan proses revisi dan bagaimana komentar dari editor maupun reviewer sebuah jurnal ilmiah. Berikut beberapa contohnya:
Pada dasarnya, bukti bahwa Anda adalah penulis korespondensi adalah seluruh tahapan publikasi. Yakni dari proses submit artikel, proses revisi, dan proses komunikasi dengan pihak pengelola jurnal.
Bukti-bukti tersebut dibuat dalam bentuk gambar tangkapan layar dan disusun dalam satu file dokumen. File dokumen ini yang kemudian dilampirkan saat mengajukan proposal usulan ke hibah Dikti 2024. Sehingga bukti sudah lengkap dan bisa dipertanggungjawabkan.
Jangan berhenti di jurnal, ubah hasil penelitian Anda jadi buku untuk menambah angka kredit Anda:
Jika membahas mengenai penulis korespondensi maka dijamin akan selalu dikaitkan dengan penulis utama dan penulis pendamping. Sebab memang memiliki hubungan antara satu sama lain dalam proses publikasi ke jurnal ilmiah.
Menariknya, belum banyak yang memahami perbedaan dari ketiga kategori penulis dalam publikasi ilmiah tersebut. Termasuk perbedaan antara penulis pertama dengan penulis korespondensi.
Dikutip dari berbagai sumber, berikut adalah beberapa hal yang membedakan antara kedua kategori penulis tersebut:
Perbedaan yang pertama antara penulis utama dengan korespondensi adalah dari skala kontribusinya. Penulis utama memiliki kontribusi skala besar dalam menyusun artikel ilmiah yang akan dipublikasikan ke sebuah jurnal ilmiah.
Misalnya dari 100% isi naskah, biasanya penulis utama menyumbang kontribusi lebih dari 50% atau bahkan sampai 80%, tergantung pada kondisi dan faktor lainnya. Sementara penulis pendamping memiliki skala kontribusi lebih kecil dan biasanya pada penyusunan tugas akhir. Misalnya skripsi, tesis, dan disertasi.
Bagaimana dengan corresponding author? Sesuai dengan namanya, untuk menyusun isi naskah artikel ilmiah penulis kategori ini tidak berkontribusi. Sebab kontribusi utamanya adalah pada kegiatan korespondensi ketika artikel akan dipublikasikan.
Sebagai catatan tambahan, penulis utama juga bisa sekaligus menjadi corresponding author. Sehingga memiliki peran dan tugas ganda, tidak hanya menyusun sebagian besar isi naskah tapi juga mengurus korespondensi publikasinya.
Perbedaan penulis utama dengan penulis korespondensi yang kedua adalah dari segi bentuk tugas dan tanggung jawab. Khusus untuk penulis koresponden memiliki tugas dan tanggung jawab seperti penjelasan sebelumnya.
Sementara pada penulis utama, tanggung jawab utamanya adalah menyusun naskah artikel ilmiah atau paper dalam skala besar. Sehingga fokus utamanya adalah memastikan artikel yang disusun sudah baik dan benar.
Perbedaan selanjutnya adalah berkaitan dengan nilai KUM atau angka kredit. Seperti yang diketahui, publikasi ilmiah ke jurnal akan memberi tambahan KUM pada dosen. Baik itu sebagai penulis utama maupun pendamping dan korespondensi.
Namun, jumlah KUM yang didapatkan tidak 100% melainkan dibagi sesuai skala kontribusi dan mengikuti ketentuan yang berlaku. Dikutip melalui laman PAK Kemendikbud, penulis utama sekaligus korespondensi berhak atas 60% dari total KUM publikasi ke jurnal ilmiah.
Jika penulis menjadi penulis utama saja atau menjadi penulis korespondensi saja, maka masing-masing berhak menerima 40% dari total KUM jurnal. Sedangkan jika artikel disusun tanpa penulis pendamping, masing-masing mendapat KUM sebesar 50%. Jadi total KUM jurnal dibagi kepada 2 orang penulis saja.
Dari penjelasan tersebut, maka diharapkan bisa mengetahui secara detail apa yang membedakan antara penulis pertama dengan penulis korespondensi. Jadi, ketika Anda mengurus publikasi ke jurnal ilmiah bisa menentukan siapa yang menjadi penulis utama dan siapa yang menjadi penulis di kategori lainnya.
Jika Anda ingin menjadi ketua pengusul dalam program hibah Dikti, maka sebaiknya memiliki riwayat sebagai penulis utama maupun penulis korespondensi. Sehingga peluang proposal yang diusulkan lolos lebih tinggi.
Jika memiliki pertanyaan berkaitan dengan isi artikel ini atau ingin sharing pengalaman, jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share untuk membagikan artikel ini ke orang terdekat Anda. Semoga bermanfaat.
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…