fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Indar Sugiarto, Dosen Teknik Elektro dan Peneliti Bidang Kecerdasan Buatan

dosen teknik elektro
Dr. Ing. Indar Sugiarto, S.T., M.Sc. saat di konferensi tentang teknologi masa depan di Canada, November 2017 lalu. (Foto: Indar)

Dr. Ing. Indar Sugiarto, S.T., M.Sc. sadar betul akan tugasnya sebagai dosen. Baginya sebagai dosen harus siap mengimplementasikan dengan baik tridharma perguruan tinggi sebagai konsekuensi logis. Indar, begitu kerap disapa, sudah sejak kecil menyukai bidang keilmuan dan penelitian. Dosen Teknik Elektro Universitas Kristen (UK) Petra, Surabaya, tersebut mengaku penelitian merupakan bidang yang menyenangkan. Karena melibatkan penalaran dan diskusi sebagai core activities. Dan salah satu fokusnya kini adalah meneliti bidang kecerdasan buatan.

Jiwa penelitianya muncul sejak Indar SMP, dan mengeksplore kemampuannya dengan bergabung dalam Karya Ilmiah Remaja (KIR). Hal itu pun berlanjut ketingkat SMA dan kuliah di Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Di kampus Indar pun menjadi salah satu pengurus kegiatan mahasiswa bidang penalaran.

Indar resmi menjadi dosen Teknik Elektro di UK Petra Surabaya pada 2002 lalu. Sebelumnya, pria kelahiran 14 Mei 1977 tersebut pernah mengajar beberapa mata kuliah yang diselenggarakan oleh Technische Universitat Munchen di Jerman.

Dalam melaksanakan perannya sebagai dosen Teknik Elektro, Indar mengaku membatasi aktivitas. Ia hanya ingin menikmati hari-harinya sebagai akademisi dan peneliti seperti yang dilakukan oleh koleganya sesama peneliti di luar negeri. Indar tak ingin melakukan aktivitas lain seperti meneruskan bisnis yang telah ia rintis, maupun terjun ke dunia politik. Meski dirinya mampu untuk melakukannya.

”Kesibukan saya saat ini ya paling-paling bereksperimen di laboratorium, me-review paper-paper yang dikirim ke beberapa jurnal ilmiah, membimbing skripsi, dan mengajar. Untungnya beban mengajar saya tidak banyak, karena sebagai dosen saya lebih suka meneliti daripada mengajar,” terang dosen kelahiran Malang, Jawa Timur tersebut.

Setiap dosen ingin memiliki pencapaian tertinggi yaitu menjadi Guru Besar, tak terkecuali Indar. Ia mengaku ingin sekali mencapai jenjang Guru Besar suatu saat nanti. ”Saat ini, saya sedang dalam proses untuk menyiapkan kelengkapannya,” katanya kepada duniadosen.com.

Meski begitu, Indar menyebut Guru Besar bukanlah tujuan akhir. Ia melanjutkan, setelah jadi professor, mau apa? Ini adalah pertanyaan yang jauh lebih sulit, karena ada unsur filosofi disana dan berujung pada jawaban yang panjang.

Tantangan Dosen dan Kisahnya Melanjutkan Pendidikan ke Jerman

Menjadi dosen, Indar tak lepas dari tantangan yang harus dihadapi. Menurut Indar, tantangan utama dosen di Indonesia adalah adanya birokrasi yang super mbulet. Tak hanya di tingkat universitas, birokrasi bertele-tele juga terjadi pada tingkatan kementerian yang menangani bidang pendidikan.

”Kalau dosen-dosen Indonesia diharapkan bisa maju, paling tidak bisa sama atau lebih baik dari dosen di negara tetangga (Malaysia, Vietnam, Thailand, dan lainnya), maka benang merah birokrasi pendidikan di Indoensia ini harus di urai total. Dan sepertinya ini sangat sulit, karena kepentingan politik di Indonesia masih teramat sangat dominan,” ujarnya geram.

Dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan sekaligus memenuhi persyaratan administratif sebagai dosen, Indar melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Pria yang tinggal di Waru, Sidoarjo, Jawa Timur tersebut melanjutkan studi S2 di Universitas Bremen, Jerman. Kenapa harus di Jerman?

”Awalnya saya tertarik untuk ke Jepang. Karena Jepang terkenal dengan robotnya. Tetapi saya menemukan justru teknologi yang lebih mendasar itu banyak dikembangkan di Jerman. Di bidang teknologi, Jepang terkenal dengan kreativitasnya, tetapi Jerman terkenal dengan kehandalan dan originalitasnya. Nah, saya lebih tertarik untuk mengetahui lebih dalam, apa sebenarnya yang mendasari teknologi-teknologi itu. Dan terbukti, Jerman adalah negara inisiator Revolusi Industri 4.0,” terang Indar.

Bertemu Angela Markel Sampai Bekerja Bersama Peraih Nobel

Dalam masa studinya tersebut, Indar bercerita pernah bertemu dengan Angela Markel, Kanselir Jerman pada saat itu. ”Saat itu, saya masuk di tim peneliti Universitas Bremen yang waktu itu mempresentasikan hasil penelitian kami tentang BCI (Brain-Computer Interface) di Hannover, Jerman. Saya melihat pribadi yang sangat sederhana dari seorang Kanselir Jerman. Bisa dibilang dia orang terkuat di Eropa saat itu,” ujarnya kagum.

Saat mengambil pendidikan doktoral di Jerman juga, tepatnya di Technische Universitat Munchen, Indar bahkan terlibat kerja sama penelitian bersama Edvard Moser, penerima nobel bidang neuroscience. Tak hanya itu, Indar juga bertemu dengan dua orang penerima nobel dari Inggris yaitu Andre Geim dan Konstantin Novoselov saat bekerja di bawah supervisi Steve Furber sebagai peneliti postdoctoral di Inggris.

Indar Sugiarto bersama robot SpiNNaker dan penerima nobel edvard moser. (Foto: Indar)

”Sebenarnya pengalaman paling berkesan adalah ketika saya masih bekerja sebagai peneliti post doctoral di Inggis, yaitu ketika saya bekerja di bawah supervisi Steve Furber. Dia ini adalah disainer asli dan pembuat microprocessor ARM yang dipakai oleh hampir semua smartphone/tablet dan gadget-gadget yang beredar di pasaran,” akunya bangga.

Selain itu, Indar juga mengaku terhormat bisa tergabung sebagai anggota penelitian proyek SpiNNaker. ”SpiNNaker adalah sebuah proyek raksasa untuk menciptakan otak digital dimana sistem komputer nantinya akan memiliki kemampuan berpikir dan kesadaran seperti manusia,” jelasnya.

Saat ini, Indar menyebut teknologi tersebut masih dalam pengembangan tahap awal. Namun ia percaya, 10 sampai 20 tahun lagi, si baby SpiNNaker ini menjadi salah satu komputer dengan kemampuan inteligensia yang paling baik. Karena dirancang untuk meniru semirip mungkin dengan cara kerja otak manusia. ”Itu sebabnya si baby SpiNNaker ini sering disebut sebagai mesin digital brain,” lanjut pria yang berhasil menyelesaikan program doktoral pada 2015 tersebut.

Ingin Fokus dalam Isu Kecerdasan Buatan

Indar mengaku sangat menikmati hari-harinya sebagai dosen teknik elektro. Ketika masih kecil, Indar memiliki cita-cita menjadi insinyur robot yang bisa menciptakan robot-robot seperti Gundam atau Patlabor. ”Tetapi dengan berjalannya waktu, saya menyadari bahwa teknologi semacam itu masih jauh di belakang,” kenangnya.

Indar menyadari bahwa di masa depan, semua akan jauh lebih canggih dari apa yang dia pikirkan. Semakin lama ia menyadari, teknologi semacam itu mungkin tidak relevan di masa depan. Tetapi Indar tetap tertarik dengan teknologi kecerdasan buatannya. ”Dan sekarang cita-cita saya adalah menjadi peneliti yang mengembangkan teknologi kecerdasan buatan tersebut,” tegasnya.

Itulah sebabnya mengapa Indar memilih bidang elektro sebagai fokus utama. Baginya, teknik elektro dan informatika gabungan bidang yang penting bagi kehidupan manusia. ”Bisakah kita hidup tanpa listrik saat ini? Bisakah kita hidup tanpa komputer saat ini? Elektro dan informatika itu ada dimana-mana,” ujarnya.

Menghadapi Revolusi Industri 4.0

Dengan adanya revolusi industri 4.0, bidang elektro makin relevan dengan kehidupan manusia. Era Industri 4.0 ditandai dengan semakin intensnya pemakaian kecerdasan buatan di hampir semua sektor baik publik maupun privat, industri maupun ekonomi. Meski begitu, Indar menyebut Indonesia belum sepenuhnya siap menghadapinya.

”Era industri 4.0 sudah di depan mata, namun Indonesia belum siap. Sangat disayangkan Industri 4.0 di Indonesia hanya menjadi jargon yang dipakai untuk membual oleh para birokrat. Padahal konsekuensinya akan sangat besar seperti gesekan akibat pergantian tenaga kerja manusia oleh komputer yang lebih cerdas dan juga kompetisi regional/global yang semuanya mengarah ke permintaan industri 4.0,” jelas anggota Association of Computing Machinery (ACM) tersebut.

Sebagai dosen teknik elektro di UK Petra, Surabaya, Indar selalu ingin menerapkan implementasi teknologi di era revolusi industri 4.0. Kebetulan di UK Petra ia mengajar beberapa mata kuliah yang berhubungan erat dengan topik industri 4.0. Contohnya mata kuliah Internet of Everything (IoE) dan Embedded Internet. ”Lewat mata kuliah tersebut, saya berikan wawasan dan pengalaman saya ketika belajar dan bekerja di Jerman, yaitu negara dimana isu tentang industri 4.0 di mulai dan banyak diterapkan,” ceritanya.

Dalam kelas, Indar mencoba mengajak diskusi mahasiswa tentang isu terkini terkait teknologi. Ia mengaku sering ajak mahasiswa berdiskusi, misalnya tentang apa yang akan terjadi dikemudian hari jika revolusi industri 4.0 ini sudah benar-benar diterapkan di Indonesia. ”Permasalahan-permasalahan yang kita hadapi, dan juga peluang-peluang bagi kita untuk bermain di scope global,” lanjut Indar.

Selain itu, saat ini Indar juga sedang mengerjakan beberapa topik penelitian yang erat kaitannya dengan revolusi industri 4.0, khususnya di bidang kecerdasan buatan. Era industri 4.0 ditandai dengan semakin dalamnya penetrasi kecerdasan buatan dalam setiap aspek kehidupan, baik di industri maupun domestik. ”Nah, saya lebih tertarik meneliti bagaimana kecerdasan buatan tersebut bisa kita kuasai dan diterapkan di Indonesia, mengingat infrastruktur kita yang serba terbatas,” ujar Kepala Program Elektronika UK Petra tersebut.

Implementasikan Konsep Gamifikasi dalam Kelas

Terkait hubungannya dengan mahasiswa, Indar memiliki kiat khusus. Dosen yang cukup mahir Bahasa Jerman tersebut percaya bahwa manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh dua kondisi, yaitu reward (penghargaan) dan punishment (hukuman). Dalam implementasinya, Indar menerapkan konsep gamifikasi dalam setiap proses pengajaran yang ia ampu.

Konsep gamification menyasar para mahasiswa generasi millenial yang cenderung addicted pada permainan. Dengan menerapkan konsep gamification ini, para mahasiswa akan berusaha mengoptimalkan “reward” sembari berusaha mengurangi akumulasi “punishment”. Menurut saya, konsep ini sangat cocok untuk para generasi milenial,” terang anggota The Institute of Electrical and Electronics Engineer (IEEE) tersebut.

Indar melanjutkan, dosen harus memiliki strategi dalam setiap proses pengajaran. Meski sistem pengajaran dosen sudah cukup baik, namun tetap harus mencari yang paling ideal. Selain itu, yang perlu dibenahi adalah sistem birokrasi pendidikan tinggi, yang menurutnya masih banyak yang tumpang tindih dan banyak ketidakjelasan.

Dia menilai sistem birokrasi pendidikan tinggi yang Indonesia anut saat ini menyebabkan banyak waktu dan tenaga dosen yang tersita hanya untuk mengurusi tetek-bengek yang sebenarnya tidak urgent dan tidak relevan dengan pengajaran. Indar mengkomparasikan dengan sistem yang ada di luar negeri yang lebih efisien. Sehingga dosen bisa berkonsentrasi penuh pada pengajaran atau penelitiannya tanpa dibebani urusan birokrasi/paper work yang bertele-tele.

Disinggung ihwal rencana menulis buku, Indar mengaku belum memiliki prioritas untuk itu meski memang ada rencana untuk menulis buku di kemudian hari. Indar lebih banyak menulis paper, baik yang diterbitkan dalam sebuah konferensi/seminar dalam bentuk prosiding atau jurnal ilmiah.

”Saya memang lebih tertarik menulis paper daripada buku, karena dengan paper saya bisa langsung mempublikasikan hasil-hasil penelitian saya,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)