Oleh: Anton Kuswoyo S.Si., M.T., Dosen Teknologi Industri Pertanian dan Wakil Direktur Bidang Kemahasiswaan dan Sistem Informasi Politeknik Negeri Tanah Laut (POLITALA), Kalimantan Selatan.
Tidak lama lagi siswa SMA/Sederajat akan menghadapi Ujian Nasional (UN) yang menentukan kelulusannya. Bisa jadi ini adalah UN terakhir karena kabarnya tahun 2021 UN bakal dihapus oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim. Biasanya setelah lulus, mereka dihadapkan pada banyak pilihan untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Selain harus memilih jurusan, juga harus menentukan kuliah di perguruan tinggi (PT) kategori pendidikan vokasi (politeknik dan akademi) atau PT kategori pendidikan akademik (universitas, insitut, dan sekolah tinggi).
Secara keseluruhan, jumlah PT kategori pendidikan akademik hampir dua kali lipat dibandingkan dengan PT kategori pendidikan vokasi. Berdasarkan data dari laman resmi Kementerian Ristekdikti tahun 2019, jumlah PT akademik sebanyak 2.141 sedangkan PT vokasi sebanyak 1.128 (www.ristekdikti.go.id).
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi pasal 15 bahwa yang disebut pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sedangkan pada pasal 16 disebutkan bahwa pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan.
Jadi secara garis besar bahwa pendidikan akademik mengarah pada pengembangan Iptek sedangkan pendidikan vokasi lebih mengarah pada keterampilan bekerja sesuai keahlian terapan tertentu. Dilihat dari bobot kurikulumnya juga beda yang mana pendidikan akademik memiliki komposisi kurikulum 60 persen teori dan 40 persen praktik. Sedangkan pendidikan vokasi sebaliknya, 40 persen teori dan 60 persen praktik. Hal ini mirip seperti halnya antara SMA dengan SMK.
Nah, sebelum menentukan kuliah di PT kategori pendidikan akademik atau vokasi, ada baiknya kita melihat peluang kariernya terlebih dahulu. Karena bagaimanapun juga salah satu tujuan utama kuliah agar setelah lulus mendapat pekerjaan dan penghasilan yang layak.
Jumlah pendidikan akademik dua kali lipat daripada vokasi. Artinya tiap tahun lulusan sarjana dua kali lipat daripada lulusan diploma/sarjana terapan. Mayoritas lulusan PT di Indonesia adalah tipe pencari kerja (job seeker) bukan pencipta lapangan kerja (job creator). Celakanya jumlah lowongan pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah lulusan PT yang kian tahun makin banyak. Baik itu lowongan PNS/ASN, BUMN, maupun perusahaan swasta.
Akibatnya tentu anda tahu sendiri, angka pengangguran sarjana makin tahun kian meningkat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 bahwa pengangguran lulusan universitas (sarjana) naik 25 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Ada dua kemungkinan mengapa pengangguran sarjana justru meningkat signifikan. Pertama kualifikasi sarjana lulusan PT kategori akademik tidak sesuai dengan yang diinginkan pasar, dalam hal ini pasarnya adalah perusahaan/industri. Ketidaksesuaian kompetensi lulusan dengan kebutuhan pasar kerja ini bisa dikarenakan kurikulum pendidikan yang belum diperbaharui menyesuaikan perkembangan zaman.
Idealnya kurikulum dilakukan perombakan (curriculum revamp) dengan melibatkan dunia industri tiap 3-5 tahun sekali dan dievaluasi tiap akhir tahun. Hal ini karena perkembangan dunia indutri sangat cepat, sehingga jangan sampai ilmu yang dipelajari selama kuliah jauh ketinggalan dengan perkembangan dunia industri.
Kedua adalah sangat dimungkinkan mayoritas perusahaan/industri justru lebih memilih tenaga kerja dengan tingkat pendidikan lebih rendah (di bawah sarjana) namun memiliki keterampilan jauh lebih baik. Pilihannya tentu jatuh pada lulusan pendidikan vokasi (diploma). Karena secara kurikulum pendidikan vokasi memang lebih mengedepankan keterampilan daripada teori. Sehinnga lulusan vokasi juga jauh lebih terampil, cekatan, siap kerja, dan tentu saja mau dibayar lebih murah daripada para sarjana. Akibatnya lulusan vokasi jauh lebih diminati oleh pasar kerja.
Selain itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini lebih fokus pada pendidikan vokasi dan peningkatan keterampilan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Bangsa Indonesia. Hal ini disampaikan Jokowi pada rapat terbatas mengenai pembangunan SDM untuk akselerasi ekonomi tahun 2018 silam. Pemerintah juga telah mendirikan beberapa perguruan tinggi vokasi terutama politeknik di daerah-daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal).
Tujuannya adalah untuk pemerataan pendidikan tinggi sekaligus meningkatkan SDM derah 3T tersebut. Politeknik tersebut diantaranya Politeknik Negeri Batam, Politeknik Negeri Bengkalis, Politeknik Negeri Nusa Utara, Politeknik Negeri Sambas, Politeknik Negeri Ketapang, Politeknik Negeri Tanah Laut, Politeknik Negeri Fakfak, dll.
Saling Melengkapi dan Terus Berbenah
Secara kuantitas memang lulusan vokasi jauh lebih sedikit daripada lulusan pendidikan akademik (sarjana). Sehingga peluang kerja lulusan vokasi tentu masih terbuka lebar. Namun demikian, antara pendidikan akademik dan vokasi sama-sama penting dan tentu saja saling melengkapi. Dalam organisasi pekerjaan tentu harus ada pemikir yang visioner (sarjana) dan ada pelaksana yang terampil (diploma) agar pekerjaan bisa selesai dengan baik.
Berkaca dari peningkatan jumlah pengangguran sarjana tentu saja bisa dijadikan evaluasi bagi perguruan tinggi. Artinya perguruan tinggi harus terus berbenah agar menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas. Terserap di pasar kerja dan juga bisa menciptakan lapangan kerja (job creator). Oleh sebab harus terus berbenah dengan menerapkan model baru perguruan tinggi agar mampu mengikuti perkembangan zaman.
Pembenahan model pendidikan tinggi ini selaras dengan visi Mendikbud. Nadiem Makarim, baru-baru ini mencetuskan “Merdeka Belajar”, yang artinya mahasiswa harus lebih fleksibel dalam belajar. Bahkan belajar tidak harus sesuai jurusan, yang terpenting adalah manfaatnya untuk pengembangan diri dan agar mampu survive dalam kehidupan bermasyarakat.
David Staley dalam bukunya Alternative Universities: Speculative Design for Innovation in Higher Education (2019) menawarkan beberapa model baru yang bisa diterapkan oleh dunia pendidikan tinggi. Salah satu model yang cukup menarik adalah Polymath University, setiap mahasiswa mengambil tiga disiplin ilmu (triple majors), misalnya fisika-petanian-perikanan, biologi-sosiologi-bisnis, teknik-keuangan-agama, atau beberapa kombinasi lain.
Munculah ide Polymath University dilatarbelakangi oleh perkembangan dunia pekerjaan saat ini yang memerlukan lulusan universitas yang mampu berpikir kreatif, multidisplin ilmu, dan multidimensi.
Pada akhirnya, memilih perguruan tinggi kategori akademik maupun vokasi adalah hak setiap calon mahasiswa. Tentunya disesuaikan dengan minat, cita-cita, dan realitas saat ini. (*)