Isu pencatutan nama di dunia pendidikan tinggi Indonesia tengah menyeruak ke permukaan, hal ini bahkan menjadi trending di media sosial X (Twitter). Kasus pencatutan nama seperti ini tentunya perlu menjadi perhatian para dosen di Indonesia.
Jika kasus ini pada akhirnya menguap begitu saja, akan memunculkan godaan bagi dosen lain untuk melakukan hal serupa. Padahal pencatutan nama tanpa izin dari pemilik nama adalah bentuk pelanggaran etika dan pelanggaran hukum.
Mengantisipasi kemungkinan kasus ini terulang kembali, penting untuk memahami apa itu pencatutan nama sekaligus memahami sanksi atau hukuman yang bisa diterima pelaku pencatutan tersebut.
Hal pertama untuk dibahas adalah mengenai apa itu pencatutan nama. Kata pencatutan berasal dari kata dasar “catut” yang dalam KBBI memiliki dua definisi, yaitu:
Secara umum, dari definisi tersebut bisa diambil definisi kedua. Pencatutan adalah penyalahgunaan identitas orang lain baik itu dalam bentuk kekuasan, nama orang lain, jabatan orang tersebut, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi.
Jadi, pencatutan nama diartikan sebagai tindakan menyalahgunakan nama orang lain tanpa izin untuk memperoleh keuntungan pribadi. Tindakan ini dalam beberapa kondisi bisa merugikan orang yang namanya dicatut dan pihak-pihak lain yang terkait.
Penggunaan nama orang tanpa izin akan berpotensi mencoreng nama baik pemilik nama tersebut. Misalnya pada kasus nama pedangdut Inul Daratista yang tercatat pernah mempublikasikan artikel ilmiah di jurnal predator.
Nama penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jawa Timur tersebut tentu saja tercoreng. Sebab terlihat sudah melakukan publikasi di jurnal predator dan dipandang tidak memiliki kredibilitas yang cukup.
Padahal Inul bisa saja tidak melakukan publikasi dan namanya dicatut pihak tertentu untuk keuntungan pribadinya. Kasus pencatutan nama tidak hanya terjadi di ranah publikasi ilmiah melainkan juga di bidang lainnya.
Jangan lewatkan: Isu Pencatutan Nama Dosen Malaysia dalam Publikasi Dekan Unas
Dikutip dari berbagai sumber kasus pencatutan nama memiliki motif atau tujuan yang berbeda-beda. Secara umum bentuk kasus pencatutan tersebut antara lain:
Bentuk pencatutan nama yang pertama adalah untuk aksi penipuan. Penggunaan nama tokoh yang dikenal publik luas cenderung dilakukan para penipu untuk mengelabui korban yang menjadi sasaran.
Misalnya pada kasus produser dan sutradara film, Hanung Bramantyo pada tahun 2013 lalu yang namanya digunakan pelaku penipuan untuk membuat akun di Facebook dan menjerat korban yang ingin menjadi artis dan diperas.
Pada kasus ini tentu dipahami bahwa pelaku menggunakan nama tokoh terkenal untuk menipu korbannya. Tujuannya adalah pemerasan dengan harapan korban akan memberikan sejumlah uang yang diminta pelaku mengatasnamakan orang lain.
Bentuk pencatutan nama yang kedua adalah dengan tujuan mendapat fasilitas atau kekuasaan. Artinya, pencatutan dilakukan dengan tujuan untuk menerima kekuasaan atas suatu fasilitas yang memberi keuntungan sepihak pada pelaku.
Contohnya pada kasus pencatutan tanda tangan dan nama dari Gubernur Malut (Maluku Utara) Thaib Armaiyn di tahun 2013. Pada kasus ini, pelaku menggunakan nama dan pemalsuan tanda tangan gubernur untuk menyerobot lahan pertambangan di Malut.
Artinya, pelaku yang mencatut nama orang atau tokoh penting di suatu daerah berpeluang mendapat kekuasan atas aksinya tersebut. Sehingga bisa mendapatkan yang diinginkan atau merebut hak orang lain.
Bentuk ketiga dari kasus pencatutan nama adalah dengan tujuan mendapat keuntungan pribadi. Keuntungan pribadi bisa mencakup kekuasaan, kenaikan jabatan, maupun keuntungan dalam bentuk finansial (mendapat sejumlah uang).
Keuntungan pribadi didapatkan oleh pelaku usai memanfaatkan nama orang lain yang memiliki kekuasan karena suatu hal. Entah karena jabatan, status sosial atau kondisi perekonomian, dan lain sebagainya. Sehingga pelaku mendapat keuntungan pribadi.
Berbicara mengenai pencatutan nama, maka akan berkaitan erat dengan kasus yang masih hangat diperbincangkan, yakni isu yang menyebut jika Kumba Digdowiseiso, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (Unas), mencatut sejumlah nama dosen dari Universiti Malaysia Terengganu atau UMT untuk publikasi ilmiahnya.
Kasus ini sempat trending di media sosial X (Twitter) dan masih menjadi perbincangan hangat sampai sekarang. Dalam kasus ini, Kumba diduga menambahkan nama dosen dari UMT tanpa izin sebagai penulis atas karya ilmiah yang dipublikasikan.
Hal ini menimbulkan kesan jika publikasi tersebut merupakan hasil kolaborasi dari dua dosen yang berasal dari dua universitas dan dua negara yang berbeda. Secara logika, tindakan seperti ini akan menguntungkan penulis pertama.
Sebab akan dipandang sukses berkolaborasi dengan dosen dari universitas luar negeri dan berhasil meningkatkan kualitas publikasi ilmiah hasil kolaborasi tersebut. Namun, kolaborasi ini fiktif dan masuk dalam kategori pencatutan nama dalam publikasi ilmiah.
Kasus ini sendiri masih terus bergulir dan ditelusuri sehingga belum diketahui pasti apakah memang terbukti ada tindak pencatutan nama dosen dari UMT atau tidak. Harapannya tentu saja kasus ini segera selesai dan mendapat titik terang, sehingga mencegah kasus serupa terjadi lagi di masa mendatang.
Jika terjadi atau terbukti kasus pencatutan nama memang benar dilakukan, apakah pelaku mendapatkan sanksi? Bicara mengenai sanksi, dikutip melalui laman analisadaily.com, dijelaskan dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak terdapat pasal spesifik yang membahas sanksi untuk pelaku pencatutan.
Hanya saja secara hukum, tindak pencatutan ini masuk dalam kategori tindak penipuan sehingga kasus pencatutan nama dikategorikan dalam KUHP pasal 378 tentang : “penipuan” (Buku II Bab XXV tentang : “kejahatan”):
“Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu , baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”.
Berdasarkan pasal tersebut, pelaku pencatutan nama yang sudah terbukti kemudian akan diberi sanksi berupa hukuman penjara, yakni maksimal selama 4 tahun mengikuti ketentuan yang berlaku secara umum di Indonesia.
Sementara itu, untuk kasus pencatutan nama yang terjadi di dunia pendidikan tinggi, sanksi biasanya akan menyesuaikan dengan hasil rapat internal perguruan tinggi tersebut. Jika kasus ini membuat kementerian turun tangan, sanksi bisa saja diberikan dari pihak kementerian.
Sanksi disini disesuaikan dengan aturan yang berlaku, baik itu berupa teguran secara lisan maupun tertulis sampai pencabutan jabatan akademik pelaku maupun bentuk sanksi lain sesuai aturan yang berlaku.
Dalam Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 dijelaskan mengenai karakter dosen untuk pengembangan indikator kinerja dosen.…
Bagi mahasiswa dan dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut pascasarjana gratis di Qatar, Anda…
Bagi siapa saja yang ingin studi S2 maupun S3 di luar negeri, silakan mempertimbangkan program…
Kabar gembira bagi para dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut jenjang S3 di luar…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 Tentang Standar Minimum Indikator Kinerja Dosen dan Kriteria Publikasi Ilmiah…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 menjelaskan dan mengatur perihal standar minimum pelaksanaan hibah penelitian dalam…