Dosen menjadi profesi idaman karena menawarkan jenjang karir yang jelas dan menggiurkan. Namun, anggapan tersebut tak berlaku bagi Dr. Eng. Ir. Laretna Trisnantari Adhisakti, M.Arch. Bagi dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut, profesi dosen sarana untuk meningkatkan kualitas keilmuan, bukan untuk mengejar jenjang karir. Dalam berkarir, Sita pun fokus pelestarian Pusaka Indonesia.
Setelah menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Teknik UGM tahun 1982, Sita, panggilan karibnya, melamar menjadi dosen di instansi yang sama setahun kemudian. Baginya, menjadi dosen adalah proses untuk menjadi orang yang lebih baik. ”Saya bisa menambah keilmuan saya dan kemudian mengajarkan apa yang saya peroleh kepada mahasiswa,” ujar perempuan yang juga mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) tersebut.
Menjadi dosen, Sita tak mau berhenti belajar. Ia melanjutkan pendidikan dan mendapat gelar masternya dari The School of Architecture and Urban Planning di University of Winconsin Milwaukee, Amerika Serikat pada 1988. Pendidikan master yang ia dapat adalah joint-program dengan Ecole Speciale de’Architecture Paris, Perancis yang ia peroleh pada 1988.
Sita mengaku beruntung tinggal dan menjadi dosen di UGM Yogyakarta. Baginya, Yogyakarta adalah tempat yang tepat untuk belajar banyak hal. ”Belajar dari kenyataan di Jogja, saya memiliki banyak pertanyaan di sini. Dari Jogja, saya juga banyak mendapat jawaban. Kita berbicara dan berdiskusi dari lintas ilmu dan lintar profesi,” ujar lulusan program doktoral dari Kyoto University, Jepang tersebut.
Fokus Pelestarian Pusaka
Selain menjadi dosen bidang arsitektur, Sita juga aktif dalam melestarikan pusaka. Aktivitas pelestarian pusaka tersebut sudah ia lakoni sejak duduk di jenjang sarjana. Penggagas Jogja Heritage Society tersebut menganggap pelestarian pusaka Indonesia adalah bagian hidupnya.
”Arsitektur adalah bagian dari pelestarian. Batik termasuk arsitektur. Pusaka alam, pusaka budaya, dan lainnya ada untuk dilestarikan,” ujar penulis buku Kota Pusaka sebagai Pembangkit Ekonomi Kreatif di Indonesia (2014) tersebut.
Menurut Sita, pelestarian pusaka harus dilakukan oleh banyak pihak secara bersama. Semua pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat punya andil dalam pelestarian pusaka tersebut. Karena pelestarian pusaka adalah pengelolaan yang berkelanjutan. Pasti ada perubahan yang terjadi. ”Pusaka ada yang dilindungi, dimanfaatkan, dan digunakan. Kita harus tau bagaimana caranya masing-masing. Itu yang saya ajarkan kepada mahasiswa,” ujar Sita menggebu.
Menurut Sita, semua orang adalah agen perubahan. Meski begitu, perubahan tak serta merta membuat masyarakat menghilangkan pusaka yang telah ada sebelumnya. Setiap orang memang harus siap menjadi agen perubahan. Namun, juga harus selalu respect kepada pusaka yang ada. ”Saya menyebut heritage dalam bahasa Indonesia itu pusaka karena sifatnya selalu positif. Kalau warisan, bisa jadi negatif. Maka, muncul perspektif kita sedang melestarikan yang baik,” terangnya.
Sita menganggap, pelestarian dapat dilakukan dari mana saja. Untuk menggerakkan, dimulai dari Jakarta. Tetapi untuk membangun tak hanya bisa di Jakarta. Ia merasa beruntung, karena UGM memberikan kebebasan kepada dosen untuk mencari kebenaran ilmu yang ia tekuni. ”Dalam hal ini, saya ingin melestarikan pusaka yang ada,” ujar Kepala Center of Heritage Conservation UGM tersebut.
Menurut Sita, melestarikan adalah tentang mempertemukan hal lama dan hal yang baru. Melestarikan itu bukan mengawetkan. Manusia sekarang punya hak untuk menciptakan the future heritage. Karena hidup itu berkembang, pasti ada suatu yang baru. Setradisional apapun, pasti ada temuan baru. Itu yang harus dikembangkan. Pelestarian pusaka di Indonesia masih tidak karuan.
”Harus terus diperjuangkan. Kalau saya capek, murid saya harus meneruskan,” kata Sita tegas.
Menjadi Dosen, Ingin Mahasiswa Serius Cari Kompetensi
Saat menjadi dosen, Sita hanya mau mengajarkan sesuatu yang dia peroleh kepada mahasiswa. Apa yang ia pelajari bisa digunakan untuk mengajar. Sita sosok dosen yang tidak text book oriented. Dari hasilnya mengerjakan sesuatu, itulah yang kemudian ia ajarkan kepada mahasiswa.
”Saya tidak punya kapasitas mengajarkan kalau saya sendiri tidak tahu. Buku itu tidak cukup, jadi harus belajar dari berbagai tempat,” tegasnya.
Pun, Sita adalah tipe dosen yang serius. Sita harus memastikan mahasiswanya serius untuk belajar, tidak hanya kuliah untuk mendapatkan nilai. ”Saya tidak mau mengajar kepada orang yang hanya mau dapat nilai saja. Saya mau mengajar kepada mereka yang punya niat, punya passion. Lebih baik mengajar sedikit mahasiswa namun mereka serius,” jelas perempuan kelahiran 19 Oktober 1958 tersebut.
Sita melanjutkan, di era sekarang, setiap orang memiliki keinginan dan kepentingan yang bermacam-macam. Selama menjadi dosen sejak 1983, Sita sudah menemui berbagai jenis mahasiswa, mulai yang serius maupun yang hanya sekadar masuk kuliah. Menurutnya, paradigma mahasiswa dalam proses pembelajaran harus berubah.
”Saat saya mengajar, ada mahasiswa yang serius dan tidak serius. Kita harus berubah cara pembelajarannya. Kalau sudah tidak berminat ya tidak perlu kuliah. Daripada memiliki mahasiswa banyak sekali tapi tidak serius, mending memiliki sedikit namun serius. Ada mahasiswa saya yang tidak memperdulikan degree, hanya ingin belajar. Paling penting adalah soal kompetensi. Lulus punya ijazah tapi kemampuan nol? Percuma,” kata Sita tegas.
Tak Suka Sistem yang Birokratis
Meski sudah lebih dari 25 tahun mengabdi menjadi dosen, Sita tak mau mengurus jenjang karirnya sebagai dosen. Sita mengaku tak terlalu suka dengan sistem di perguruan tinggi yang birokratis. ”Saya tidak mau mengurusi administrasi di kampus. Saya bukan tipe orang yang rajin memasukkan ke jurnal, tapi langsung ke masyarakat. Apa yang saya tekuni saya ujikan langsung kepada masyarakat, bukan ke Scopus,” jelasnya.
Menurutnya, masyarakat lebih membutuhkan hasil penelitian dosen daripada sekadar dipublikasikan di jurnal ilmiah. Lebih baik erat kepada masyarakat. Peran utama dari pelestarian pusaka adalah masyarakat. ”Jadi harus terjun ke masyarakat, bukan melalui publikasi ilmiah yang menurut saya terlalu lama,” lanjut dosen yang pernah mendapat Practical Awards 2015 dari Association of Rural Planning, Tokyo, Jepang tersebut.
Sita lebih fokus untuk mencari dan meningkatkan bidang keilmuannya daripada fokus kepada publikasi ilmiah. ”Saya tidak suka jabatan. Tujuan saya adalah mencari keilmuan. Meski sudah dapat keilmuannya, ya harus terus belajar. Saya tidak mengurus karir di dosen saya karena terlalu birokratif. Lebih baik saya bisa menemukan ilmunya. Siapa yang menghargai kan yang menggunakan,” ujar Sita.
Tentang Penghargaan dan Kesan Menjadi Dosen
Selain itu, meski dia beberapa kali mendapat penghargaan tingkat internasional seperti peraih predikat One of Kartini 21th Century dari Majalah Gatra (2010), RCE Recognition Awards dari United Nation University (2012), Nikkei Asia Prizes, Category of Culture, Tokyo, Jepang, dan lainnya, Sita mengaku tak berharap mendapat penghargaan.
”Mau disebut penghargaan atau tidak menurut saya nggak penting. Saya tidak mencari penghargaan, tapi saya mencari ilmu yang bisa digunakan di masyarakat,” ujarnya seraya tersenyum.
Ia juga mengkritik prosedur kenaikan jabatan dosen yang ada perguruan tinggi. “Kenaikan pangkat, peningkatan jabatan, itu harusnya diteliti oleh satu tim sendiri, bukan kita yang mengajukan. Kalau kita memang dibutuhkan, ya harus diurus oleh tim sendiri. Itu yang menurut saya harus dilakukan. Yang penting di perguruan tinggi itu bukan pemilihan dekan, rektor, koordinator, pemilihan pimpinan ilmu. Selama ini, ilmunya itu seolah tidak penting,” kritiknya.
Menurutnya, tantangan dosen adalah bagaimana berhubungan dengan mahasiswa. Selama menjadi dosen, Sita mengaku bahagia ketika dia bisa bekerja sama dengan mahasiswa. ”Sebagai dosen, paling menyenangkan ketika saya bisa bekerja sama dengan mahasiswa saya yang satu visi dan mereka bisa lebih maju. Dari perkembangan itu, di lapangan kita menemukan hal-hal yang lestari,” ujarnya bangga.
Selain itu, dosen juga memiliki tantangan yang letaknya ada di faktor mahasiswa itu sendiri. Baginya, mahasiswa sekarang dan dulu tidak ada bedanya. ”Saya tidak mengharapkan kuantitas, tapi kualitas. Meski banyak yang tidak berkualitas, masih banyak mahasiswa yang hanya ingin lulus saja. Itu menjadi salah satu tantangan,” jelasnya.
Pensiun Jadi Dosen, Mengabdi di Mana Saja
Sita sudah menginjak usia 60 tahun. Artinya, lima tahun lagi ia harus melepas profesinya sebagai dosen dan pensiun di usia 65 tahun. Meski begitu, Sita enggan berhenti mengajar dan melestarikan budaya. ”Jadi dosen di UGM ataupun tidak, saya masih bisa membagikan banyak hal. Saat ini saya sedang membangun Akademi Pusaka Indonesia yang memiliki sistem short courses. Saya kolaborasi dengan dosen dan teman-teman dari profesi lainnya. Siapa tahu nanti bisa jadi perguruan tinggi,” ujarnya optimistis.
Baginya, perjalanan masih panjang. Ia belum merasa sukses jika sistem yang ada belum berjalan dengan lancar. ”Definisi sukses adalah ketika sistem berjalan dengan benar. Pimpinan daerah sudah punya keberpihakan kepada pusaka, sehingga sistemnya berjalan. Siapa pemda yang concern terhadap pelestarian pusaka? Masih sedikit sekali,” sesalnya.
Sita menganggap bahwa mengabdi bisa di mana saja, tidak hanya di perguruan tinggi. Saat ini, Sita sibuk dengan berbagai kegiatan seperti revitalisasi museum tsunami di Aceh, membuat Hutan Kota di daerah Winongo. Meski merasa letih, Sita selalu merasa bahagia karena pelestarian pusaka adalah bagian dari hidupnya. Apalagi, Antusiasme anak muda terhadap pusaka cukup besar.
”Antuasiasme cukup besar, tapi kurang terfasilitasi,” pungkas perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pelestarian Pusaka Indonesia tersebut. (duniadosen.com/az)