fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Pabrik Tenaga Kerja

“Kampus bukanlah sirkus. Singa sirkus mampu belajar duduk di kursi, lantaran takut diancam dengan cambuk. Ia memang terlatih kemudian, tapi tidak terdidik.” (3 Idiots)

Petikan kalimat di atas barangkali cukup tepat memotret buramnya realitas pendidikan kita saat ini. Dogma bahwa pendidikan adalah wahana untuk memanusiakan manusia kian terkikis. Kampus yang digadang-gadang mampu memproduksi generasi kritis, agen perubahan, dan kaum intelektual pun, akhirnya hanya menjadi lipstik semata. Kini kampus tak ubahnya pabrik yang memasok tenaga kerja ‘kerah putih’ ke perusahaan-perusahaan. Bahkan Andre Barahamin menyebut, kampus merupakan garda depan yang turut melanggengkan kapitalisme dalam cangkang industrialisasi global.

Kiranya pernyataan Barahamin tak berlebihan, mengingat ada beragam kebijakan dan sistem yang memang didesain dengan logika perusahaan. Pemadatan jam kerja, efisiensi produksi, logika demand dan supply, semua konsep produksi perusahaan tersebut diimplan dalam dunia kampus. Cara yang paling mudah untuk memaksimalkan produksi dalam waktu singkat adalah dengan menerapkan normalisasi kampus.

Sebelas dua belas dengan NKK/BKK yang digulirkan Soeharto pada 1970-an, sekarang injeksi normalisasi kampus dilakukan dengan halus dan rapi jali. Sebut saja kebijakan pembatasan masa kuliah, penilaian kapabilitas civitas academica yang hanya mewujud dalam angka (indeks prestasi), jam malam mahasiswa, dan lainnya. Kalau sudah begini, jangankan menjadi agen perubahan, kesempatan untuk menjelma manusia yang independen sudah pasti jauh panggang dari api.

Bayangkan saja, dalam perkuliahan, mahasiswa akan dijejali dengan materi pendidikan berkarakter, pendidikan Pancasila, dan kewarganegaraan. Entah karakter seperti apa yang dimaksud, jika sebetulnya ini hanya bertujuan untuk mendegradasi nalar kritis dan menjebak pembelajar, dalam nuansa kompetisi tak berujung. Lalu untuk apa?

Di sisi lain, instrumen pendukung pun diproduksi untuk membuat mahasiswa semakin terintegrasi dengan sistem tersebut. Dosen yang menyuruh mahasiswanya untuk menghapal materi, mengajar dengan membaca slide di depan kelas bak raja kecil, dan menilai kemampuan mahasiswa hanya sebatas angka. Belum lagi skema SKS yang membuat pembelajar di kampus tersengal-sengal mengikuti aktivitas perkuliahan. Jangankan untuk memikirkan hal lain atau berdiskusi, bisa lulus mata kuliah saja, mereka diwajibkan mengerjakan berlembar-lembar paper, ikut praktikum tiap minggu, dan lainnya. Habis energi.

Selain itu, biaya kuliah yang terus meroket menjadi alarm bagi mahasiswa untuk bergegas merampungkan kuliah, jika tak ingin kena semprot orang tua. Bagian ini menjadi catatan sendiri untuk menandai kampus sebagai miniatur perusahaan. Jamak dipahami, dewasa ini untuk bisa masuk perusahaan, pelamar mesti bersusah payah mengikuti pelbagai tes. Kadang cara-cara instan pun dipakai untuk bisa masuk, semisal membayar joki tes, bahkan menyogok perusahaan supaya bisa merekrutnya. Penderitaan tak berakhir sampai di situ. Begitu masuk, tenaga kerja akan bergelut dengan pekerjaan yang kadang membuat jumud, dalam waktu tak berbatas. Apakah ini sebanding dengan gaji yang ia terima? Belum tentu.

Itu sama saja yang terjadi dalam dunia kampus saat ini. Sahabat saya, Dewi Michellia menulis, sewaktu mengikuti tes masuk di UGM pada 2010, ia sempat ditawari jasa joki, meski belakangan dengan tegas menolaknya. Syaratnya mudah, teman saya ini hanya perlu merogoh kocek belasan juta demi membayar jasa joki. Sebagai imbalannya, jokilah yang bekerja keras untuk mengantar “tuannya” memasuki gerbang perguruan tinggi. Jika gagal pun, uang kembali 100 persen.

Praktik korupsi semacam ini rupanya terus berlanjut selama mengikuti perkuliahan maupun pasca lulus. Jasa jual beli skripsi, joki tes Toefl, dan contoh sepele namun kerap terjadi seperti budaya titip absen, plagiasi karya orang, menjamur bak cendawan di musim hujan. Alamak, bukankah ini jadi indikasi yang terang, bahwa logika serba instan, cepat, dan efisien yang dipakai perusahaan sudah demikian merasuk dalam sendi kehidupan kita?

Memang tak bisa dipungkiri, ada segelintir mahasiswa yang memberontak terhadap kemapanan sistem kampus. Mereka menciptakan ruang-ruang diskusi, mereka membaca buku dan menulis, mereka berani mengritik dosen dan stake holder di universitas. Mereka bahkan berani keluar dari kampus, menyatu dengan masyarakat, dan menjadi masyarakat. Namun apa ganjaran yang mereka peroleh dari usaha perlawanan ini?

Puluhan mahasiswa UMI Makassar dipecat pada 2014 dengan alasan tak memenuhi standar akademik. Dua pers mahasiswa, berturut-turut di UKSW Salatiga dan UNY dibredel pihak kampus lantaran mewartakan isu yang tak sesuai dengan nilai universitas. Diskusi film “Jagal” dan sekuelnya serta bedah buku Irshad Manji dibubarkan oleh kampus UGM. Baru-baru ini organ diskusi di UI yang fokus pada isu LGBTIQ serta ajaran luhur marxisme juga dikebiri.

Tak hanya kampus, negara pun pasang badan dalam upaya pemberantasan “para mahasiswa pembangkang berikut pemikirannya” tersebut. Masih lekat di benak kita, kekerasan yang diterima Aliansi Mahasiswa Papua yang melakukan demo di Bundaran HI Jakarta pada 2014 lalu. Mereka diblokade oleh negara. Beberapa di antaranya bahkan memperoleh tindak kekerasan dari aparatus kepolisian. Padahal para mahasiswa ini hanya menepati hakikatnya untuk melebur dengan masyarakat. Mereka hanya keluar dari kampus sejenak untuk menyampaikan suara sumbang, terkait kasus kekerasan sistemik warga Papua.

Mestinya kampus bisa menjadi ruang yang bebas untuk mengeksplorasi diri, berkreasi, dan paling penting: berpikir. Jangan sampai kampus justru membuat orang-orang di dalamnya semakin tercerabut dengan pengetahuan dan menjauhkan mereka dari masyarakat. Jika kampus hanya peduli mencetak generasi yang terampil, patuh, terlatih, namun tak berpendidikan dan berjiwa kerdil, maka kita tak bisa berharap apa-apa lagi. Ubah saja nama kampus menjadi pabrik tenaga kerja. Selesai perkara.

* Penulis adalah salah satu korban kekerasan sistem kapitalisme yang diterapkan kampus. Saat ini tengah sibuk mencari kerja, karena tak punya pilihan lain dan modal selain menjadi tenaga kerja yang terlatih tapi tidak terdidik.

Posting Artikel ini di tulis oleh : Purnama Ayu Rizky

Di tag : , ,