fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Oriana Tio Parahita, Dari Guru Les Kini Mantap Tekuni Karir Dosen Musik

dosen musik
Oriana Tio Parahita Nainggolan, S.Sn., M.Sn. Dosen Musik ISI Yogyakarta. (duniadosen.com/ta)

Mencintai dunia musik sejak kecil, membuat Oriana Tio Parahita Nainggolan, S.Sn., M.Sn., ini enggan sedikitpun beranjak dari dunianya. Kecintaannya terhadap musik, bermula sejak kecil saat diikutkan kursus musik oleh kedua orangtuanya. Dari sanalah, Tio tumbuh dengan bakat bermusiknya pada alat musik Organ dan Piano. Hingga ia pun berkeinginan untuk sekolah khusus musik, yang terus berlanjut hingga jenjang pendidikan tinggi. Sampai karirnya ia labuhkan sebagai dosen musik jurusan pendidikan musik di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Sejak usia Sekolah Dasar (SD) Tio diberikan fasilitas les musik oleh kedua orang tuanya. Les organ, dan ternyata Tio sangat suka dan menikmati kegiatan tersebut. Sekitar kelas 4 SD Tio pun kerap mengiringi musik di gereja dengan didampingi gurunya. Ketika SMP, Tio menyadari bahwa dirinya tidak begitu pandai matematika, padahal di SMA nantinya ia harus memilih jurusan IPA atau IPS. Sehingga, ia pun berikeinginan ketika SMA nanti ingin sekolah musik saja.

Tio kecil tinggal di Bengkulu, dan di sana setingkat SMA belum ada sekolah khusus musik. Tio mengutarakan keinginannya untuk bisa sekolah di jurusan musik kepada guru lesnya. Kebetulan sang guru lulusan jurusan musik UNY (dahulunya IKIP Pendidikan Seni Musik). Gurunya memberikan informasi bahwa di Yogyakarta ada sekolah khusus musik setingkat SMA.

”Saya berbinar-binar, dengan pikiran saya senang musik dan saya pikir tidak ada matematika. Saya bilang sama orang tua kalau mau sekolah musik di Jogja. Orang tua sempat meragukan, karena saya tidak bisa nyuci dan masak. Pokoknya saya terus saja bilang keinginan saya itu. Sampai tanpa sepengatuhan saya, ortu saya mencari informasi sekolah musik di Jogja. Dan akhirnya diperbolehkan, kemudian daftarlah,” ungkap dosen musik yang memulai karir dosennya sejak 2014 lalu itu.

Setelah daftar di Sekolah Menengah Musik (SMM) Yogyakarta Tio sedikit kaget, karena di SMM hanya menyediakan alat musik Piano. Padahal sebelumnya yang ia pelajari adalah alat musik Organ. ”Saya tanya Piano sama Organ apa bedanya? Menjelang tes hari pertama saya bingung harus persiapan apa, saya diberikan buku oleh guru saya dan belajar lagu twinkle-twinkle. Nadanya di keyboard, kan beda sama mainnya di Piano,” ujar Tio.

Sesampainya Tio di Yogyakarta, ia menemui teman gerejanya yang juga tinggal di kota Gudeg ini. Karena kebetulan, di rumah temannya tersebut memiiki Piano. ”Saya nyoba Piano, oh gini tho. Tapi saya tidak tahu mainnya bener atau enggak. Kemudian saya tes untuk masuk kelas 1 SMM. Yaudah dan ternyata keterima. Dan saya memilih musik dan ternyata ada juga matematikanya, hahahaa,” akunya sambil tertawa.

Memilih Karir Sebagai Dosen Musik

”Sebenarnya gak nyangka jadi dosen musik, hanya dulu SMA nya SMM yang fokus musik klasik barat. S1 nya di ISI Jurusan Piano. Memang minat utamanya di musik sekolah. Selesai 2006, terus cita-cita ingin lanjut ke S2 musik terapi, karena suka sekali musik terapi,” katanya.

Oriana Tio Parahita, Dari Guru Les Kini Mantap Tekuni Karir Dosen Musik

Dalam perjalanan mencapai pendidikan S2 nya, Tio ingin mencari beasiswa. Namun ada saja kendala yang ia temui. Menyebar lamaran beasiswa ke sejumlah perguruan tinggi, tetapi hanya mendapat respon balasan surat yang menyatakan diterima di universitasnya tapi tidak diterima di beasiswanya. Tio mengaku, pada saat itu dia belum memiliki biaya yang cukup untuk melanjutkan jenjang S2.

Ia redam dulu keinginan untuk lanjut S2, Tio pun mulai bekerja sebagai tenaga pendidik. Sekitar tahun 2007, ia mengajar di SD Kalam Kudus dan SMM. 2 tahun Tio mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain, juga menjadi mentor di tempat kursus. Mengajar di sekolah, Tio hanya bisa menjadi guru honorer. Sebab sebagai lulusan ISI, ia tidak memiliki akta 4 sebagai syarat ketentuan menjadi pegawai guru tetap.

”Kepikiran lagi untuk S2, tetapi saya pikir gini ngapain saya sampai S2 kalau cuma jadi guru les-lesan. Berarti kan ilmu tidak terpakai, tapi enggaklah kalau tidak terpakai. Tapi bagaimana untuk jenjang karir? Jadi guru instruktur kan sudah mentok. Tidak bisa ngapa-ngapain lagi,” pikir Tio.

Sampai di tahun 2009, Tio dan teman-teman sejawatnya pun memutuskan untuk melanjutkan S2 dengan biaya sendiri. Tio pun melanjutkan S2 nya di ISI pada jurusan Pengkajian Seni. Ia mengaku, untuk meraih gelar masternya itu sempat terbengkalai. Yah, karena Tio pada saat itu juga sudah aktif mengajar musik. Dan di 2010, Tio bersama teman-temannya juga mendirikan tempat kursus musik Distintion Musik School Yogyakarta, dan sekaligus menjadi mentornya. ”S2 saya lulus 2012, sempat keteteran karena biaya sendiri. Sambil ngajar, sambil sekolah,” katanya.

Lulus S2, melihat kemampuan dan cara mengajar Tio, teman-temannyapun memberikan semangat dan dorongan untuk Tio memilih karir sebagai dosen. Tak hanya teman-temannya, tapi beberapa dosen musiknya pun mendukungnya menjadi dosen di alamamaternya.

”Sebenarnya saya tidak berniat menjadi dosen. Saya bertanya pada diri sendiri sanggup gak ya jadi dosen di almamater kampus saya sendiri, saya pikir-pikir lagi. Jadi dosen disni juga gak mudah. Ada regulasinya ada pembukaan kalau gak ada kan gak bisa. Tapi kata temen-temen, saya punya kemampuan.,” ujarnya.

Kebetulan saat ISI membuka lowongan dosen, Tio baru saja menyelesaikan tesisnya dan menanti proses kelulusan. Saat itu pula, kembali ia berpikir ulang akan keputusan memilih karir sebagai dosen. Satu sisi, teman dan dosennya sangat mendukung Tio menjadi dosen. Hal itu pula menjadi pemikiran panjang Tio hingga satu tahun lamanya.

Di tahun 2013-2014 kembali ISI membuka lowongan dosen yang diinfokan melalui website. Namun saat Tio mengeceknya, tidak ada formasi yang ia cari. Tio pun dihubungi temannya yang menginformasikan lowongan dosen di ISI. Tentunya Tio tak percaya. Temannya pun terus mendesak untuk Tio kembali mengeceknya.

”Oke, saya tutup telepon dan saya mengecek. Dan benar ada lowongan dosen musik, tetapi itu penutupannya sekitar 2 atau 3 hari lagi. Sebelum saya apply, saya ragu lagi dan mikir lagi. Daftar enggak? Kalau daftar harus apa, tetapi kalau gak daftar saya mau ngapain?. Oke saya memutuskan untuk coba. Kalau tidak diterima ya sudah bukan jalan saya menjadi dosen, saya gak di sini tempatnya,” paparnya.

Usai menyerahkan berkas, berupa portofolio dan lainnya Tio dinyatakan lulus proses tahap awal. Selanjutnya, ia harus melampaui beberapa tes bersama 7 kandidat calon dosen lainnya. Yaitu tes kemampuan dasar, dan microteaching. Serangkaian tes tersebut Tio dinyatakan lulus. Dan terseleksi 5 orang dan kemudian menjadi dua orang termasuk Tio.

”Ya sudah saya lolos. Dan di sini. Saya tidak prediksi diawal, tapi kehidupan membawa saya ke sini,” ujarnya.

Pendidikan Musik di Indonesia

Menurut Tio yang fokus terhadap genre musik klasik barat ini, pendidikan musik klasik di Indonesia masih dianggap anak tiri jika dibandingkan dengan jurusan prodi yang lain. Tidak bisa dipungkiri bahwa musik klasik itu jadi stigma negatif bagi beberapa masyarakat Indonesia. ”Banyak anggapan musik klasik itu membuat ngantuk, belum lagi konsernya mahal sekali, belajarnya juga susah sekali, alat musiknya susah sekali, kursusnya mahal sekali, dan segala macamnya. Tapi saya punya optimisme untuk pembelajaran musik di tahun-tahun berikutnya pasti akan berkembang,” ucapnya.

Tio optimistis karena melihat dari hasil beberapa tugas mahasiswa yang melakukan observasi ke lapangan untuk penelitian. Hasilnya menunjukkan beberapa kemajuan di bidang musik. Dimulai dari sekolah yang menerapkan kurikulum Seni Budaya dan Keterampilan (SKB). Pada kurikulum tersebut terdapat 4 cabang seni, yaitu musik, teater, tari dan seni rupa.

”Nah tapi ada beberapa sekolah itu yang hanya kelas 1 nya dia belajar musik saja, kelas 2 seni rupa misalnya, dan kelas 3 belajar tari. Padahal di beberapa sekolah lain, 4 ini dijadikan satu. Padahal terdiri dari 16 pertemuan. Nah bagaimana itu, kan jadi semakin sedikit waktu belajarnya untuk satu bidang ilmu,” papar Tio.

Tapi akhirnya Tio pun melihat sebaliknya, hal tersebut bisa sebagai celah untuk anak-anak generasi muda mengenal ragam seni salah satunya musik. Dan pada akhirnya mulai bermunculan orchestra, maupun paduan suara di beberapa sekolah. ”Saya lihat di Jogja di UGM punya orchestra, Padmanaba punya orchestra klasik. Ya kita ga boleh ngomong klasik atau enggak. Tetapi artinya kalau ngomong spesifikasi musik klasik barat sendiri saya ya slowly but sure lah,” ujarnya.

Tio mengatakan, pendidikan musik itu sebenarnya tidak terlalu terlihat. Sehingga itu yang membuat bidang ini tidak berkembang. Apalagi musik klasik barat bukanlah budaya Indonesia. ”Ya itu yang membuat stigma negative orang. Tapi perkembangan musik sekarang lumayan dan cukup baik,” lanjutnya.

Tio melanjutkan, perkembangan pendidikan musik di Yogyakarta juga bisa dilihat dari banyak terselenggaranya  lomba-lomba piano. Setiap tahunnya, di Yogyakarta diselenggarakan 4 hingga 5 perlombaan. ”Dulu waktu saya kecil, gak pernah ada lomba. Tapi sekarang yang ikut ratusan orang. Saya seneng lihat perkembangan sekarang,” kata Tio.

Akreditasi Dosen Sebagai Challenge

Tio mengungkapkan, dalam mencapai karir sebagai dosen pastinya ada tantangannya. Baik itu terkait regulasi, test, dan akreditasinya. Itu semua sebagai challenge untuk mengukur diri sendiri. Meski terbilang tidak mudah, tetapi itu proses yang harus dilakukan.

”Proses yang harus kita lakukan itulah yang menentukan kita tetap bertahan jadi dosen atau tidak. Kalau ada yang bilang, aduh ini kok akreditasi dan serdos susah banget. Ya hanya ketabahan dan belajar itu yang membuat kita bertahan, itu aja sih,” papar Tio yang resmi jadi CPNS 2014 dan resmi diangkat sebagai PNS pada 2016.

Dalam proses mengajar, Tio selalu berusaha bisa membaur dengan mahasiswanya. Menurutnya, jika gape dosen dan mahasiswa terlalu jauh, akan membuat mahasiswa tidak berani bertanya dan memberikan ide. Tio melihat, mahasiswa saat ini ide-ide kreatifnya tidak bermunculan dengan baik dan tidak banyak. Jadi mereka harus dirangsang.

Oriana Tio Parahita, Dari Guru Les Kini Mantap Tekuni Karir Dosen Musik

”Apalagi mereka sekarang jarang membaca buku. Mereka lebih suka membaca akun gosip atau akun-akun yang kurang bermanfaat. Itu yang merupakan disrupsi. Nah ini yang membuat saya susah, beda dengan zaman saya dahulu. Jadi saya harus bisa meng-creat-nya,” jelasnya.

Sebagai dosen Tio tetap menerapkan hirarki antara dosen dengan mahasiswa. Meski ketika di luar kampus Tio bisa fleksibel menempatkan diri sebagai teman bagi mahasiswanya. Namun ketika berada di kelas, Tio menempatkan diri sebagai dosen yang menerapkan dan tegas terhadap aturan-aturan yang berlaku. ”Kalau di luar kelas saya anggap mahasiswa adalah teman. Kami bisa jalan beramai-ramai ke mal. Tapi saya selalu bilang di awal, ke mal ayok tapi kalau makan bayar sendiri-sendiri ya. Asal tahu etika, segala suatu cara bisa ditempuh,” ujar Tio.

Empat tahun menjadi dosen, Tio melihat dari proses awal sampai tesis dari 6 mahasiswanya. kini ke 6 mahasisnya tersebut telah lulus dan bekerja. ”Saya senang melihat mereka lulus dan bekerja. Ada yang bekerja di negeri, swasta, di kursusan Jakarta, di Jogja, ada juga yang menjadi guru musik di SMP, dan lainnya,” kata Tio.

Bagi Tio perkembangan era teknologi saat ini sangat berpengaruh terhadap proses belajar mengajar, khususnya di bidang musik. Tio menerapkannya mulai dari komunikasi dengan mahasiswa melalui whatsapp grup, selanjutnya ia juga menggunakan aplikasi pendidikan. Di antaranya untuk aplikasi pengajaran musik Tio menggunakan Sibelius.

”Dengan aplikasi tersebut, mahasiswa bisa dengen musik yang mereka tulis. Yah, kita memang masih terbilang masih jauh, ketika bicara era revolusi industri 4.0. Karena masih banyak yang gaptek. Tetapi saya sendiri sudah mendigitalisasikan beberapa sistem mengajar saya. Meski tidak terlalu keren, tapi tetap oke lah di tahap yang normal,” akunya.

Prestasi

Sebenarnya, cita-cita menjadi guru atau seorang pengajar itu lahir pada diri Tio sejak ia mengikuti les musik. Dari sanalah Tio berangan-angan menjadi guru musik atau guru organ. ”Simpel, saya melihat kok enak ya jadi guru dan enak ngajarnya,” katanya.

Menurutnya, dosen adalah pembimbing, pengajar, pengarah yang baik. Ia pun selalu menerapkan apa yang telah diajarkan atau dicontohkan kedua orang tuanya. Baik itu kerja keras, kedisiplinan, dan tepat waktu. ”Segalau sesuatu harus dipersiapkan, tetapi orang tua saya selalu membebaskan anak-anaknya untuk memilih,” jelas putri pertama dari tiga bersaudara ini.

Dengan pola seperti itu tak heran ketika diperjalanan karirnya, Tio mendapat kehormatan didaulat sebagai pengajar perwakilan dari Indonesia pada Visiting Lecturer di Hungaria tahun 2005. Agenda tersebut merupakan program kerjasama antar kampus. Belum lama ini Tio juga dipercaya menjadi invited speaker ke sejumlah negara. Diantaranya Kobe Jepang, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Belum lagi kegiatannya di dalam negeri, selain mengajar sebagai dosen dan guru les musik, Tio juga kerap diundang sebagai juri di festival lomba seni tingkat nasional.

Sekretaris Program Studi Pendidikan Musik ISI Yogyakarta ini pun memiliki beberapa rencana ke depan. Yaitu, ingin melanjutkan jenjang pendidikan S3 dengan jalur beasiswa, dan tetap berkarir di bidang musik.

”Kalau inovasi dalam bentuk nyata dan saya haki-kan memang belum. Tapi kalau penelitian sudah, di bukukan pernah sekali tentang Piano. Itu kerjamasa dengan PPPG Kesenian, sekitar 2013-2014. Tetapi sampai sata ini saya tidak menerima bukunya. Bukunya ada di SMM,” ujar penghobi jalan-jalan ini.

Ketika ditanya duniadosen.com tentang apa arti sukses, penghobi jalan-jalan dadakan ini menuturkan, sukses adalah ketika bisa percaya diri dengan apa yang dipunya. Selain itu, ketika bisa membagi pengalaman yang baik kepada teman atau orang lain. Definisi sukses yang lain menurut Tio, yaitu mangarah ke memberi pengetahuan dan bukan memberikan berupa materi semata.

”Karena kalau kita sukses itu bukan dari diri sendiri tapi dari orang lain. Selalu berusaha menjadi yang terbaik. Artinya, bukan gila hormat. Jadi yang terbaik bagi diri sendiri dulu. Ketika saya mengajar jam yang telah ditentukan, dan saya harus memiliki target. Misalnya membuat mahasiswa saya memahami apa yang telah saya berikan di kelas. Karena target hidup saya adalah bisa berguna bagi orang lain,” imbuhnya. (duniadosen.com/ta)