Perbincangan tentang gender mulai membumi. Di Indonesia, topik tentang gender menjadi salah satu topik terhangat menyusul maraknya kasus-kasus terkait. Pro dan kontra ihwal pembahasan konsep gender pun menyeruak. Banyak kalangan menilai konsep gender tak ada dalam ajaran Islam. Prof. Dra. Nina Nurmila, Ph.D., membantah anggapan tersebut.
Nina menyebut meski tema gender sendiri tak ada dalam Islam, konsep gender sebenarnya ada dalam kitab Alquran. Gender merupakan konsep yang diusung para kelompok gerakan feminism dalam rangka memperjuangkan kesetaraan gender, keadilan, dan menghilangkan berbagai diskriminasi yang ada.
“Tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dengan penggunaan istilah gender. Keduanya memiliki tujuan sama yaitu mencapai keadilan yang merupakan nilai inti ajaran Islam,” ujarnya kepada tim duniadosen.com.
Nina adalah profesor bidang studi Islam dan gender di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung. Selain sibuk memenuhi kewajiban tridharma perguruan tinggi, perempuan asal Kuningan, Jawa Barat tersebut cukup aktif bergerak dalam bidang kesetaraan gender.
Setelah meraih gelar sarjana bidang studi Islam dari Institut Agama Islam Negeri Bandung (sekarang UIN SGD Bandung) tahun 1992, Nina memutuskan untuk mendaftar sebagai dosen di almamaternya melalui program Pembibitan Calon Dosen Tetap.
Tahun 1995, Nina melanjutkan ke jenjang studi master bidang women and development di Murdoch University, Western Australia. Sejak saat itu, kecintaan Nina terhadap studi gender makin meningkat. Tak sampai di situ, pada 2002 Nina melanjutkan studi doktoral bidang gender and Islamic study di University of Melbourne, Australia dan lulus dengan gelar doctor of philosophy tahun 2007.
Memiliki latar belakang pendidikan bidang studi Islam dan gender membuat Nina sadar bahwa keduanya tidak bertentangan. Gender sebenarnya adalah sebuah konsep yang diajarkan dalam Islam. Sebagai contoh, Islam menolak ketidakadilan terhadap perempuan, begitupula konsep gender. Itulah yang membuat Nina tak bergeming ketika mendapat berbagai kritikan terkait perjuangannya dalam kesetaraan gender.
“Saya berjuang dalam bidang ini karena saya sendiri adalah perempuan dan saya menyadari adanya ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga saya harus berupaya sekuat tenaga dan berjuang agar perempuan diperlakukan dengan adil,” tegas profesor yang pernah menjadi dosen tamu di Departemen Sosiologi dan Antropologi, University of Redlands, California, Amerika Serikat tersebut.
Di luar kampus, Nina juga bergabung bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), institusi independen yang memperjuangkan hak-hak perempuan di Indonesia. Bahkan, ia dipercaya sebagai Komisioner lembaga tersebut sejak Januari 2015.
Dosen yang juga mengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tersebut menilai masih banyak isu dalam bidang gender yang perlu diperjuangkan, salah satunya adalah kekerasan seksual. Menurutnya, kekerasan menjadi salah satu kasus mendesak menilik tren peningkatan kasus tersebut di Indonesia.
Meski kekerasan seksual tidak memandang siapa korbannya, namun data menyebutkan bahwa korban paling banyak adalah perempuan. Pun, kekerasan seksual tak hanya menyasar korban di ruang publik seperti institusi pendidikan maupun tempat kerja, namun juga memangsa korbannya di ruang privat dengan anggota keluarga sebagai pelakunya.
Melihat makin mendesaknya gerakan untuk menghapus praktik kekerasan seksual, saat ini, ada perjuangan untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diharapkan menjadi payung hukum kasus kekerasan seksual di Indonesia. Nina merupakan salah satu orang yang terlibat dalam perjuangan tersebut.
Meski begitu, masih banyak masyarakat yang menganggap kasus kekerasan seksual tidak sepenting isu lain. Gerakan feminisme seringkali mengalami perlawanan di Indonesia karena dianggap radikal. Penulis buku Women, Islam, and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia (2009 dan 2011) itu menuturkan hal tersebut terjadi lantaran masih banyak masyarakat tidak paham tentang esensi dari gerakan feminisme.
“Penolakan tersebut terjadi karena buruk sangka bahwa feminisme itu isu Barat yang tidak ada hubungannya dengan isu perempuan di Indonesia. Idealnya, mereka harus mau belajar sebelum alergi menilai negatif terhadap isu feminisme. Karena tujuan akhir feminisme adalah mencapai keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan,” terang mantan Kepala Center of Collaboration and Entrepreneurship UIN Bandung bidang kerja sama internasional dengan Australia, Amerika, dan Eropa tersebut.
Menurutnya, masyarakat yang menolak gerakan feminisme harus diedukasi dengan baik. Pasalnya, feminisme memiliki tujuan yang baik, yaitu kesetaraan gender yang saat ini, diakui Nina, belum tercapai.
Nina menyebut bahwa keseteraan gender adalah kondisi dimana laki-laki dan perempuan sama-sama mendapat akses, semisal akses pada pendidikan dan pelayanan kesehatan, kontrol, misal memiliki kontrol atas tubuh atau penghasilan yang didapat, dan partisipasi. Kesetaraan gender terjadi jika laki-laki ataupun perempuan dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan baik di dalam maupun luar rumah.
Sebagai dosen, Nina sadar memiliki priviles lebih. Dosen memiliki potensi lebih besar untuk didengarkan. Maka dari itu, Nina tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk lebih banyak mengedukasi, terutama dalam bidang kesetaraan gender yang menjadi fokusnya.
“Tugas dosen adalah melakukan edukasi kepada mahasiswanya tentang konsep gender dan pentingnya pencapaian kesetaraan gender demi keutuhan rumah tangga dan kebahagiaan semua pihak,” tutup Nina. (duniadosen.com/az)
Dalam Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 dijelaskan mengenai karakter dosen untuk pengembangan indikator kinerja dosen.…
Bagi mahasiswa dan dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut pascasarjana gratis di Qatar, Anda…
Bagi siapa saja yang ingin studi S2 maupun S3 di luar negeri, silakan mempertimbangkan program…
Kabar gembira bagi para dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut jenjang S3 di luar…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 Tentang Standar Minimum Indikator Kinerja Dosen dan Kriteria Publikasi Ilmiah…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 menjelaskan dan mengatur perihal standar minimum pelaksanaan hibah penelitian dalam…