fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Musdah Mulia Tak Hanya Konsen Pendidikan, Tapi Juga Perjuangkan HAM

perjuangkan HAM
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A. aktivis perjuangan perempuan dan HAM. (Foto: Musdah).

Dalam melaksanakan perannya sebagai dosen, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A. tak hanya berkecimpung dalam dunia kampus semata. Lebih luas, Musdah turut melibatkan diri dalam berbagai kegiatan organisasi dan aktivitas lain yang masih berhubungan dengan dunia pendidikan, isu perempuan, dan perjuangkan Hak Asasi Manusia (HAM).

Musdah terlibat dalam organisasi perempuan seperti Fatayat Nahdlatul Ulama dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Di sana, Musdah mengaku merasa tergugah untuk menyuarakan suara kelompok perempuan yang terpinggirkan, terutama bagi perempuan yang mengalami perlakuan diskriminasi dan kekerasan, baik domestik maupun publik.

Dalam kaitannya dengan lingkup perempuan dan perjuangkan HAM, Musdah menilai isu paling mendesak saat ini adalah bagaimana caranya menghentikan berbagai bentuk diskriminasi dan eksploitasi anak perempuan atas nama agama. ”Isu yang paling mengemuka adalah perkawinan anak yang identik dengan perkawinan paksa dan perdagangan anak perempuan,” ungkapnya kepada tim duniadosen.com melalui surel.

Siti Musdah Mulia, Dosen UIN Syarif Hidayatullah. (Foto: Musdah).

Musdah menuturkan perkawinan membutuhkan kedewasaan dan kematangan, bukan hanya bersifat biologis, namun juga psikologis, sosial, mental, dan spiritual. Dosen UIN Syarif Hidayatullah tersebut melanjutkan, perkawinan usia dini bagi perempuan dapat menimbulkan risiko kesehatan maupun aspek lainnya.

”Perkawinan pada usia dini bagi perempuan dapat menimbulkan berbagai risiko biologis seperti kerusakan organ-organ reproduksi, kehamilan muda, janin yang cacat karena kurang gizi sebab tubuh janin dan tubuh ibunya yang masih dalam tahap pertumbuhan itu berlomba mendapatkan asupan gizi dan nutrisi,” ujarnya.

Dampak buruk lain dari perkawinan usia dini, terang Musdah, adalah menggiring anak-anak perempuan kepada kemiskinan karena putus sekolah. Perceraian karena kurang matang secara emosional, dan tidak sedikit yang terdampar menjadi pelacur, pekerja migran, serta budak seks.

Islam dan Perempuan

Musdah menyayangkan masih adanya anggapan masyarakat bahwa Islam selalu mengekang perempuan. Baginya, pandangan tersebut didasarkan pada realitas yang terjadi di masyarakat yang dipengaruhi oleh pemahaman dan interpretasi bias terhadap ajaran Islam.

”Islam sejatinya datang untuk membebaskan manusia, baik perempuan maupun laki-laki dari semua sistem tiranik, despotik, dan totaliter. Islam datang untuk membangun masyarakat sipil yang berkeadaban (civic and civilized society), masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, kemaslahatan, kesetaraan, dan kebersihan,” tegas perempuan pertama peraih gelar doktor bidang pemikiran politik Islam tersebut.

Musdah melanjutkan, Islam tak berkenan terhadap segala bentuk diskriminasi, termasuk kepada perempuan. Menurut Musdah, Islam menentang budaya jahiliyah yang merendahkan perempuan. Pun, Islam mengutuk semua bentuk kekerasan terhadap perempuan, khususnya KDRT untuk alasan apapun.

”Islam memperkenalkan kepada masyarakat Arab dan juga masyarakat dunia tentang pentingnya memanusiakan perempuan, wajib mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagai manusia merdeka yang posisinya setara dengan saudara mereka para laki-laki. Baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan luas di masyarakat,” lanjutnya.

Sebagai dosen sekaligus aktivis, Musdah sangat vokal memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok marjinal pada umumnya. Melalui upaya-upaya transformatif dan humanis, Musdah menyalurkan pandangannya melalui mimbar akademik yang nyata, publikasi, dan advokasi kepada masyarakat.

Ia enggan sekadar berdiri di menara gading tanpa melakukan apapun. Ia memilih terjun langsung mendengar jeritan korban dan berupaya mengedukasi mereka. Karena eksploitasi dan diskriminasi tak seharusnya terjadi kepada para perempuan dan kaum marjinal.

Peduli Isu Kemanusiaan, Dirikan ICRP

                Selain vokal memperjuangkan hak-hak perempuan, secara umum Musdah juga melibatkan diri dalam berbagai bentuk perjuangan kemanusiaan. Untuk mewujudkan masyarakat damai dan sejahtera dalam konteks kebhinnekaan Indonesia, Musdah turut mendirikan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang diresmikan pada 2000 lalu.

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A. saat menjadi pembicara dalam Kajian Salam di ICRP. (Foto: ICRP).

ICRP adalah organisasi lintas agama dan lintas iman yang di dalamnya berhimpun wakil-wakil berbagai agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Termasuk aliran kepercayaan yang jumlahnya lebih 200 kepercayaan dan perjuangkan HAM menjadi salah satu kegiatannya. ICRP berkomitmen menegakkan nilai-nilai demokrasi yang mewadahi semua kelompok, tanpa diskriminasi sedikit pun untuk kebaikan semua kalangan.

”Visi yang kami pegang kemudian diimplementasikan dalam misi perjuangan untuk melestarikan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dengan mengembangkan prinsip multikulturalisme dan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” cerita Musdah.

Musdah menceritakan ICRP berusaha untuk mengembangkan ajaran agama dan budaya religius yang humanis dan sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, serta akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Selain itu, ICRP turut mendorong upaya-upaya dialog antar dan interkepercayaan, serta mengadvokasi kelompok-kelompok minoritas kepercayaan yang mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan.

Musdah berharap ICRP dapat memperjuangkan nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme sebagai hasil dari demokrasi melalui peace education yang bisa menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghapus berbagai prejudis, stigma, dan konflik horizontal dalam masyarakat.

Kaitannya dengan ajaran Islam, kemanusiaan memiliki relevansi yang besar. Musdah menerangkan Islam sebagai agama pada hakikatnya mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang kental. Islam mengajarkan pentingnya pengakuan tulus terhadap sesama manusia. Pun, semua manusia setara di mata Islam karena berasal dari satu sumber utama, yaitu Tuhan.

Salah satu tuntunan Islam yang mendasar menurut Musdah terkait kemanusiaan adalah adanya keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial (gender), ras, suku bangsa, dan berbagai ikatan primordial lain.

”Karena itu, Islam mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya,” terang dosen yang pernah mengenyam Pendidikan HAM di University of Melbourne, Australia pada 1998 tersebut.

Menjadi Aktivis Kritis, Sering Dicemooh sampai Difitnah

Musdah merupakan pemikir ulung dan aktivis yang vokal. Saking vokalnya, banyak pandangan perempuan asli Bone, Sulawesi Selatan tersebut yang mendapat respons negatif dari masyarakat. Musdah pernah mendapat julukan kafir, perempuan liberal, antek asing, sampai Yahudi karena pandangannya terkait pro kontra adanya kelompok LGBT dan caranya dalam memandang kebebasan perempuan.

Meski sering diterpa tanggapan miring, Musdah tak bergeming. Dia sadar betul semua itu adalah risiko menjadi aktivis yang berpikir kritis. Dulu, Musdah mengaku cenderung memilih menjadi dosen pendiam dan tak banyak bicara kritis soal isu esensial maupun yang sensitif sekalipun.

Namun, setelah menjadi doktor, Musdah merasa perlu bersuara atas nama kebenaran. ”Saya tidak boleh diam membiarkan pandangan budaya atau interpretasi keagamaan digunakan untuk membenarkan perlakuan semena-mena penuh eksploitatif terhadap kelompok minoritas yang rentan, seperti perempuan, anak-anak dan kelompok agama minoritas, khususnya kelompok kepercayaan dan kelompok LGBT,” tegas perempuan pertama yang dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan di Kementerian Agama pada 1999 tersebut.

Dalam bersikap vokal dan kritis, Musdah memiliki landasan kuat. Menurutnya, konsep ajaran Islam jelas mengajarkan penghormatan terhadap sesama manusia. Ajaran tersebut relevan dengan prinsip HAM yang ia yakini. Gagasan HAM, lanjut Musdah, membawa manusia pada tuntutan moral tentang bagaimana manusia memperlakukan manusia lainnya.

”Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Karena itu, esensi dari konsep HAM adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun, serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi,” kata peraih International Women of Courage Awards (2007) dari pemerintah Amerika Serikat tersebut.

Berangkat dari keyakinan itulah Musdah tak henti berjuang dan terus berkomitmen dalam membela hak-hak perempuan, anak, dan kelompok minoritas. Musdah sama sekali tak merasa takut terhadap cacian sampai teror dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Baginya, prinsip kemanusiaan yang diamini oleh ajaran Islam adalah pegangannya untuk terus berjuang.

Produktif Terbitkan Lebih dari 30 Judul Buku, Ini Kiat Membagi Waktu Musdah

                Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A. cukup produktif dalam menelurkan karya buku. Istri dari Ahmad Thib Raya tersebut sudah menerbitkan lebih dari 30 judul buku. Beberapa buku yang sudah dia terbitkan antara lain; Kesetaraan dan Keadilan Gender (Perspektif Islam) (2001), Seluk Beluk Ibadah dalam Islam (2002), Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan (2005), Menuju Kemandirian Politik Perempuan (2008), Islam dan HAM (2010), dan Mengupas Seksualitas (2015).

Dalam waktu dekat, Musdah akan menerbitkan buku berjudul Ensiklopedia Muslimah Reformis. ”Buku ini adalah sebuah ensiklopedia yang memuat ulasan berbagai isu terkait pendidikan, politik, dan interpretasi keislaman menyangkut kondisi kekinian dan kasus-kasus yang muncul di masyarakat akibat pengaruh globalisasi dan kemajuan sains serta teknologi,” jelas dosen yang juga giat menulis artikel di media massa tersebut.

Dari paparan di atas, kita semua tahu Musdah memiliki kesibukan luar biasa. Meski sibuk, Musdah mengaku tak kesulitan dalam membagi waktu untuk berbagai kegiatan. Bagi Musdah, hal paling sulit adalah bagaimana membangun komitmen sehingga bisa disiplin dalam mengatur waktu tersebut.

”Tentu kita tidak bisa seperti robot dan mesin yang kaku, melainkan perlu buat prioritas. Kegiatan mana yang dirasakan penting dan mendesak untuk dilakukan. Jika tugas-tugas keluarga sedang menjadi prioritas, sebaiknya dengan tulus kita tinggalkan semua kerjaan lain untuk fokus mengurusi keluarga. Sebab, keluarga bagi saya sangat penting. Tiada kebahagiaan tanpa relasi keluarga yang hangat dan intens. Saya selalu menjadikan rumah sebagai tempat berteduh yang nyaman,” ujar pengagum Harun Nasution tersebut.

Ke depannya, Musdah tetap ingin menjadi Musdah yang aktif dan kritis. Musdah ingin menjadi sosok yang membawa manfaat bagi banyak orang. Dia sangat yakin bahwa visi penciptaan manusia adalah menjadi khalifah, yairu pemimpin dan pengelola diri agar hidup menjadi bermanfaat.

Meski mengaku beberapa keinginan sudah tercapai, Musdah enggan berhenti begitu saja. Masih banyak hal yang perlu diperjuangkan sampai akhir hayat, begitu kata Musdah tegas. Ia ingin menjadi sosok yang sukses, yaitu menjadi otonom dan tak menjadi beban orang lain. Sehingga bisa berbagi kepada orang lain. (duniadosen.com/az)