Semarang – Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan kembali mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar menyetujui kerjasama untuk mendatangkan dosen dari luar negeri pada 2020 mendatang. Agar sesuai rencana, pihaknya akan memetakan kebutuhan dosen asing di setiap perguruan tinggi. Nasir juga bakal mencabut beberapa aturan yang menyulitkan mendatangkan dosen asing.
“Saya akan mapping dulu. Lalu saya akan cabut beberapa aturan yang menghambat dan peraturan pemerintan (PP) akan disederhanakan supaya memberikan kesempatan kompetisi buat orang asing yang akan jadi rektor,” ujarnya.
Rencana tersebut akan dilakukan di tahun 2020 mendatang. Ia menilai, keberadaan dosen asaing bisa menaikkan daya saing perguruan tinggi Indonesia di mata dunia. “Bayangkan saja di Indonesia ada 4.700 perguruan tinggi. Tapi yang masuk daya saing dunia hanya tiga perguruan tinggi. Saat saya masuk jadi menteri, malahan cuma ada dua kampus saja,” kata Nasir di Kampus Unisbank, Semarang (22/7/2019) dilansir jateng.idntimes.com.
Kebijakan mendatangkan dosen asing sempat menuai protes dari para rektor tanah air di tahun 2016. Namun menurut Nasir, banyak Negara yang sukses menaikkan daya saing kampusnya setelah mendatangkan para dosen asing. Adapun negara yang dimaksud di antaranya, Singapura, Taiwan, Tiongkok, dan Arab Saudi.
“2016, saya di bully sama rektor-rektor. Padahal Singapura bisa maju sampai sekarang karena rektor kampusnya dari luar negeri. Taiwan dan Tiongkok juga sama. Perguruan Tinggi di Arab Saudi malahan tidak pernah masuk peringkat 800 dunia. Begitu 40 persen dosennya didatangkan dari Amerika dan Eropa, peringkatnya langsung melesat di angka 87. Ini akan jadi tantangan kita ke depannya,” terang Nasir.
Untuk pendanaan dosen asing tersebut, pihaknya akan minta anggaran dari Kemenkeu. Nasir menyebut pola pendaan jelas dari pemerintah pusat. Karena jika tidak, akan mengganggu anggaran perguruan tinggi.
Sejauh ini pihaknya hanya mendapat anggaran sangat kecil untuk membiayai dosen asing. Tiap tahun hanya memperoleh alokasi anggaran Rp 150 miliar. Sehingga program tersebut belum bisa berjalan dengan masif.
“Kalau tidak bisa mengundang dosen asing ya jalan satu-satunya dengan mendatangkan profesor asing untuk kolaborasi denga kita di bidang penelitian. Seperti yang sudah dilakukan antara Indonesia dengan Inggris. Atau ketika 2018 kemarin, saat kita kolaborasi melakukan penelitin ilmiah dengan Amerika dalam forum MTI Research International (META),” imbuh Nasir.
Redaksi