Opini

Menciptakan Ketenangan Saat Anak Belajar di Rumah

Sejak kampanye just stay home, tidak ada alasan lagi bagi orang tua dan anak-anak untuk keluar rumah tanpa alasan yang sangat penting. Sebagai seorang pedagang saham yang setiap hari trading, saya over confidence dapat bertahan tanpa harus keluar rumah dan tetap bekerja sambil menulis di rumah, mengalihkan kerja online di kantor menjadi online di rumah.

Awalnya saya agak jenuh, karena sejak pukul 05.00 pagi saya sudah harus mulai mendampingi anak untuk ibadah, membaca Alquan, dan belajar. Baru setelah anak selesai belajar saya bisa melakukan aktivitas rutin saya trading saham, sekaligus memberi pelajaran tambahan kepada anak yang sudah mahasiswa untuk belajar melakukan analisis technical dan fundamental saham.

Selain itu, saya juga harus mengajari anak baik yang kecil maupun yang besar menulis essay. Banyak sekali tema-tema menarik untuk ditulis bersama anak-anak. Semuanya terinspirasi saat saya berselancar mencari jawaban atas berbagai pekerjaan rumah (PR) anak.

Selanjutnya, saat sesi pertama perdagangan saham tutup jam 12.00, saya bisa mulai melatih anak-anak menulis agar mereka mempunyai karya. Alhamdulillah setelah 3-4 kali berlatih menulis, dia sangat girang karena bisa dimuat di salah satu ‘majalah anak-anak’.

Saya awalnya agak ‘kagog’ karena harus mengajari anak untuk menggunakan Zoom. Termasuk memberi tahu kepada istri untuk menggunakan hangouts sebagai media rapat dan diskusi di kantornya. Tapi, alhamdulillah, 5 menit kedua dan seterusnya langsung familiar, karena internet dan IT adalah nyawaku.

Untuk menghilangkan kesuntukan, setelah anak-anak selesai menyimak zoom kelas online, mengerjakan tugas, dan melihat you tube dari gurunya—apalagi perdagangan saham sesi kedua sudah tutup–saya berolah raga tenis meja. Olah raga ini sudah kami geluti bersama anak-anak dan istri jauh sebelum ada Corona.

Mejanya sengaja saya pasang di dalam rumah agar bisa berolah raga bersama mereka. Kebetulan istrik pernah juara Porda tingkat Jawa Tengah tahun 1986-1987. Hobby itu ternyata menurun ke anak-anak yang kini juga senang main dan senang melihat you tube pilihan berbagai kejuaraan tenis meja tingkat dunia. Karena serunya bermain, terkadang sampai lupa belajar dan terlambat mengikuti kuliah zoom dari guru dan dosennya.

Habit Baru Anak

Beberapa hari setelah rutin di rumah, habit baru sudah terbentuk. Di samping kelas online, anak saya juga harus menghadiri les tambahan di salah satu lembaga kursus terkemuka melalui aplikasi sederhana yang dibuat secara ‘dadakan’ oleh lembaga kursus tersebut.

Lagi-lagi, karena guru di sekolah dan tempat les banyak yang gagap dengan platform belajar online, akhirnya mereka memberi tugas melalui WAG, google form, dan youtube via WA. “Ya, meskipun agak ecek-ecek, tapi bermanfaat deh,” seloroh istriku yang juga doyan banget sama IT.

Hari ini, seluruh guru dan orang tua akhirnya menyadari dengan sepenuh hati akan pentingnya memanfaatkan teknologi digital untuk mendukung rutinitas harian dalam rangka mensukseskan proses pembelajaran. Melaui proses pembelajaran dengan teknologi digital yang semi dipaksakan ini, saya percaya hal itu akan menjadi pembelajaran yang berharga dan mempunyai prospek bagus untuk diteruskan pasca pandemi Corona.

Tiga minggu kemudian anak-anak mulai jenuh. Tapi mereka tetap saja bersemangat mengikuti seluruh proses pembelajaran berbasis teknologi digital meskipun ‘agak terpaksa’. Semua itu merupakan trasformasi dalam dunia pendidikan yang selama ini dininabobokkan oleh offline. Selama ini sekolah tidak berani dan tidak mau beranjak dari kemapanan yang nyaman. Gegara Corona, transformasi proses pembelajaran berbasis teknologi digital terjadi, meskipun agak ‘karbitan’.

Ketenangan Belajar Anak

Anak laksana emas. Belajar giatnya adalah kebahagiaan kita. Biaya paket datanya adalah investasi kita. Marahnya dia adalah ujian kesabaran kita. Kesulitan dia saat belajar di rumah adalah takaran kemampuan kita. Kemalasan dia adalah cerminan kemalasan kita saat seusianya. Kenakalan dia juga merupakan cerminan kenakalan kita. “he he kena deh”.

Pada saat hari-hari anak hilang, sudah saatnya anak-anak mendapatkan ketenangan belajar. Dia tidak boleh terganggu saat belajar. Tidak boleh terganggu juga saat istirahat, bermain, bermedia sosial, dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya meski melalui daring.

Terkadang orang tua ingin menanamkan kedisiplinan yang ketat kepada anak. Pada sisi lain, anak ingin mempunyai ketenangan belajar. Kita jangan lupa, bahwa usia anak-anak adalah usia yang paling berkesan, sehingga buatlah selalu berkesan bahagia untuk mereka.

Sekali lagi, ketenangan belajar anak harus dihormati. Nilai anak bukan sebagai penambah tenaga kerja, tetapi sebagai penerus cita-cita dan perjuangan orang tua. Jadi, salah besar ketika anak sedang rajin dan giat belajar, tetapi orang tua menyuruhnya untuk membantu mengerjakan segala sesuatu. Di sini berarti orang tua telah merusak ketenangan belajar anak. ‘Kacian’ deh, anak-anak, kapan bisa bermain dan belajar coy?

ketenangan belajar adalah hak anak. Namun, banyak orang tua yang mempunyai keinginan agar anak selalu mengikuti kehendaknya. Dengan alasan agar menjadi anak yang baik, menjadi anak yang patuh, dan menjadi anak yang shalih yang selalu berbakti kepada kedua orang tuanya.

Tidak ada salahnya, namun di saat dunia sudah modern, demokratisasi di dalam keluarga pun harus diterapkan. Bila hal itu bisa mulus dilakukan, berarti orang tua menghargai ketenangan belajar anak.

ketenangan belajar anak harus diciptakan pada saat anak-anak telah kehilangan hari-harinya karena harus tetap di dalam rumah. Orang tua boleh memberikan saran, anak pun boleh memilih, bahkan anak boleh menolak semua saran itu, dengan catatan anak dapat memberikan masukan yang lebih baik.

Ketika orang tua bisa menerima dengan ikhlas atas masukan anak, tentu anak akan menjadi bahagia, karena pendapatnya dihargai. Sebaliknya, bila orang tua selalu memaksakan kehendak tanpa memberikan beberapa alternatif, maka hal itu akan menyebabkan anak menjadi tertekan, stress, yang pada akhirnya menjadi tidak betah selama mengikuti anjuran harus #TetapDiRumah.

Pada kondisi yang demikian, berarti imunitas sosial anak telah tergadaikan. Alamak, bagaimana menebusnya ya?.

Pada satu sisi, orang tua sudah bekerja keras di rumah untuk menyiapkan segala keperluan rumah tangga termasuk keperluan anak, tetapi di sisi lain, anak malas belajar. Hal itu tentu dapat menyulut orang tua bernada tinggi (emosi). Karena biasanya, tanpa bernada agak tinggi, anak tetap membandel dan malas belajar. “Namanya saja anak, dulu saat lo masih anak-anak pasti lebih bandel dari itu bukan?” he he malu ah.

Bila anak sedang belajar, mayoritas orang tua harus memberikan ketenangan belajar kepada anak. Orang tua tidak boleh menghidupkan televisi, mengobrol dengan orang lain hingga terdengan anak, dan tidak boleh main HP sendiri.

Sebisa mungking orang tua juga membaca atau menulis sehingga ketenangan belajar anak tetap terjaga, dan anak merasa ada teman belajarnya. ‘Syukur mau membuatkan susu, menyiapkan buah, dan makanan kecil termasuk multivitamin untuk ketahanan fisik anak saat belajar. Enak kan…?’

Orang tua zaman old (baca: jadul), rata-rata tidak mau tahu kesibukan belajar anak, yang penting harus membantu pekerjaan orang tua hingga selesai. Pada kondisi yang demikian, tentu sangat mengganggu ketenangan belajar anak zaman now.

Ketenangan belajar anak yang hari-harinya telah hilang harus selalu dikawal ketat. Karena anak zaman now, motivasi belajarnya tidak datang setiap saat. Bisa jadi pada saat dimintai bantuan orang tua itulah, motivasi belajar anak sedang tinggi-tingginya, sehingga hal itu tentu sangat merugikan anak.

Kebebasab anak untuk bisa bermain, berkomunikasi bebas dengan teman-temannya, dan bisa bersenda gurau meskipun hanya melalui media sosial perlu kita beri kelonggaran meskipun tidak dilepasliarkan. Orang tua harus tetap mengawasi meskipun tidak harus terlalu ketat. Apabila diatur secara ketat pun, anak akan memberontak.

Anak hanya akan patuh pada saat di depan orang tua dan melawan ketika di belakangnya. Dampaknya, anak akan selalu pura-pura belajar padahal dia bermain dengan begitu rapihnya di depan judged

Privasi anak juga kita hormati. Banyak rahasia-rahasia kecil yang disembunyikan anak, bahkan terkadang membuat orang tua menjadi ‘kepo’. Tapi, ya begitulah anak-anak saat ini. Bahkan setelah anak menginjak dewasa, banyak di antara mereka yang minta dibuatkan kamar tersediri. Permintaan itu menunjukkan bahwa, dia sesunggunya menginginkan ketenangan belajar mereka dilindungi.

Digitalisasi Pendidikan Anak

Realitas baru ini telah memberikan tantangan bagi orang tua untuk bisa menjadi guru full time, di samping tanggung jawabnya terhadap pekerjaan dan rumah tangga. Semua orang tua akan tetap berusaha bekerja di rumah sambil merawat, mendampingi, dan menjadi guru setia, selama rumah ‘terkunci’.

Orang tua harus memberikan pembelajaran kepada anak tentang bagaimana cara melakukan penyesuaian diri dengan cara hidup baru, guna meningkatkan aktivitas mental, fisik, dan kreativitasnya selama anak tidak bisa bersosialisasi dan membangun pertemanan via offline.

Isolasi yang berkepanjangan telah menyebabkan tekanan psikologis, sosial, dan emosional anak. Rasa kesepian yang selama ini anak rasakan harus segera diusir dengan berbagai model kontak sosial dan melakukan perilaku online pro-anak.

Orangtua Berperan Ciptakan Ketenangan Belajar Anak

Orang tua harus mampu membebaskan anak dari rasa cemas dan menjaga kehidupan di dalam keluarga senormal mungkin. Orang tua harus mampu membangun rutinitas baru yang paling disukai anak. Termasuk olah raga bersama, belajar, nonton televisi bersama dengan cara membatasi konsumsi berita dan tidak mudah percaya dengan berita yang hoax.

Dalam rangka menjaga imunitas sosial anak, Orang tua jangan sesekali menularkan rasa kecemasan kepada anak. Ketika orang tua mampu mengurangi rasa kecemasan, hal itu akan sangat menguntungkan anak. Kecemasan dan stress anak menjadi berkurang. Suasana kebatinan anak menjadi lebih bahagia.

Orang tua juga dapat mengajak anak-anak untuk belajar memasak, dan makan bersama sehingga dapat meningkatkan intensitas komunikasi. Melalui komunikasi dua arah itulah, orang tua bisa memahami berbagai hal yang dikehendaki anak, termasuk berbagai ketenangan belajar yang anak dambakan.

Dr (eco). Dr. (sos) Basrowi. (Sumber Foto: dok. Basrowi)

Penulis: Dr. Basrowi.

Dr. Basrowi adalah seorang pengamat kebijakan publik, alumni Ponpes Baitul Hikmah Surabaya, S3 Unair, dan S3 UPI YAI Jakarta. Saat ini beliau juga sebagai dosen di STEBI Lampung.

Redaksi

Recent Posts

3 Karakter Dosen untuk Pengembangan Indikator Kinerja Dosen

Dalam Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 dijelaskan mengenai karakter dosen untuk pengembangan indikator kinerja dosen.…

1 day ago

Pendaftaran Doha Institute Scholarship Jenjang S3 Tahun 2025 Dibuka!

Bagi mahasiswa dan dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut pascasarjana gratis di Qatar, Anda…

1 day ago

Royal Thai Government Scholarship 2025 untuk Jenjang S2 dan S3

Bagi siapa saja yang ingin studi S2 maupun S3 di luar negeri, silakan mempertimbangkan program…

1 day ago

Program IASP 2025 untuk Dosen Kuliah S3 Gratis di Austria Resmi Dibuka!

Kabar gembira bagi para dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut jenjang S3 di luar…

6 days ago

Indikator Kinerja Dosen Sesuai Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024

Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 Tentang Standar Minimum Indikator Kinerja Dosen dan Kriteria Publikasi Ilmiah…

6 days ago

Standar Minimum Pelaksanaan Hibah Penelitian dalam Indikator Kinerja Dosen

Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 menjelaskan dan mengatur perihal standar minimum pelaksanaan hibah penelitian dalam…

6 days ago