Potret kasus kelaparan yang mengakibatkan rakyat meninggal dunia di era wabah Corona, telah membuka ingatan Prof. Dr. Ramlan Surbakti, MA, guru besar Ilmu Politik pada Program Doktor Ilmu Sosial Unair, yang memunculkan catatan lamanya yang berisi pertanyaan, “Apakah bisa dipadukan antara birokrasi dan inovasi? bukankah keduanya berlawanan?”.
Menanggapi hal itu Wahyono (2020) menjelaskan bahwa dalam sosiologi rasanya sulit jika diskusi tentang birokrasi tanpa menyebut Weber. Proyek intelektual Weber adalah rasionalitas, dan dunia menurut dia mengalami rasionalisasi. Salah satu komponen rasionalisasi dunia menurut Weber adalah birokrasi. Eksistensi birokrasi bagi dia adalah tak terelakan dan imperative. Bahkan masa depan dunia adalah birokrasi. Weber yakin tipe pelaksanaan otoritas legal yang paling murni, tidak lain adalah birokrasi.
Melalui metode tipikal-idealnya, Weber menggambarkan bahwa birokrasi adalah organisasi dengan unit-unit dasar seperti jabatan-jabatan diatur secara hierarkis, disertai aturan-aturan, fungsi-fungsi, dan dokumen-dokumen yang memaksa. Di sini birokrasi menjadi sebuah struktur yang memiliki kemampuan mengendalikan tindakan individu, termasuk pimpinan di dalamnya (Wahyono, 2020).
Dalam skema hubungan yang seperti itulah birokrat tidak bisa inovatif dan kemudian muncul konstruksi bahwa birokrat yang baik adalah yang tidak inovatif. Akan tetapi Weber punya sisi optimisnya, jika mengaitkannya dengan aspek makro, yaitu kapitalisme, Ia punya harapan bahwa dalam kapitalisme birokrasi bisa melahirkan kepemimpinan kreatif, setidaknya peluang itu lebih besar daripada dalam sosialisme.
Akan tetapi itu konteksnya masyarakat industri di Barat dengan moda produksi kapitalisme. Di Indonesia menjadi lain perkara. Masyarakat yang agraris dengan moda produksi feodalisme dan kemudian dimapankan oleh struktur sosial politik pemerintahan kolonial Belanda, maka watak birokrasinya menjadi sangat berbeda dengan tipe idealnya Weber, di mana birokrasi bisa efisien dan menjadi mesin pendorong efektif bagi modernisasi (Wahyono 2020).
Birokrasi di Indonesia menjadi arena subur bagi tumbuhnya watak asal bapak senang, apalagi kulturnya “jenggot” menggantung ke atas, sehingga aparat birokrasi merasa eksistensinya bukan pada publik tetapi pada atasan. Maka sebagian birokrat melayani atasan, bukan berorientasi pada pelayanan publik (Wahyono, 2020).
Kasus yang terjadi di Serang mudah-mudahan bukan menjadi gambaran riil bahwa seluruh tataran birokrat belum melakukan inovasi secara maksimal, sehingga masih terdengar jeritan rakyat yang kelaparan. Dalam kasus seperti ini, mudah-mudahan tidak seperti pemeo bahwa aparat birokrasi justru minta dilayani dan bukan melayani kepentingan publik yang menjadi basis eksistensinya (Basrowi, 2020).
Jadi, watak birokrasi yang menjadi struktur pengendali rakyat, ditambah mentalitas priyayi menjadikan para birokrat sulit melahirkan inovasi, dan karena itu birokrasi dan inovasi menjadi dua konsep yang bertentangan, yang seharusnya dipadukan secara revolusioner seperti yang telah dilakukan oleh Jonan ketika memimpin KAI, atau Risma Walikota Surabaya (Wahyono, 2020).
Saat ini harus dibangun cerita, bahwa birokrasi mendorong profesionalisme dan karena itu agak sulit berharap bahwa birokrasi akan mendorong demokrasitisasi, termasuk demokratisasi dalam pembagian bantuan pemerintah. Namun demikian ada perkecualian, yaitu ketika faktor kepemimpinan yang revolusioner.
Birokrat adalah sosok agen yang kuat mendobrak struktur birokrasi dan kultur yang berkembang dalam aparat birokrasi itu, sehingga pelayanan kepada rakyat menjadi bagus. Dengan demikian, birokrasi dengan kepemimpinan kreatif seperti Jonan dan Risma ternyata bisa disiasati oleh gaya kepemimpinan tegas yang akhirnya melahirkan inovasi (Wahyono, 2020).
Berkaca pada Republik Rakyat Tiongkok telah berhasil menghilangkan kemiskinan rakyatnya dalam waktu 40 tahun. Sungguh waktu yang sangat cepat bagi negara dalam menghilangkan kemiskinan. Menteri Pengentasan Kemiskinan China Fan Xiaojian mengakui pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak secara otomatis dapat mengurangi kemiskinan.
Secara umum, Xiaojian menyebutkan ada lima cara untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu pemerintah memimpin pengentasan kemiskinan, partispasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, pengembangan masyarakat, dan pengentasan kemiskinan melalui teknologi (Basrowi, 2020).
Lima cara tersebut tentu baru dapat dicapai manakala tidak ada lagi birokrat yang masih melanggengkan nina bobo (lelo-lelo legung) penjajah agar membiasakan diri bobok siang, serta melanggengkan ajakan birokrat ‘Londo’ untuk bermalas-malas ‘nyetheti’ burung perkutut di sangkar (Basrowi & Wahyono, 2020)
Lalu pertanyaannya adalah, kapan birokrat bisa mengubah dari minta dilayani menjadi melayani. Dari mengabdi pada atasan menjadi mengabdi pada rakyat. Dari pertama sejahtera menjadi terakhir sejahtera setelah semua rakyat sejahtera. Dari boros menjadi efisien. Dari penginjak menjadi pembijak. Dari penggusur menjadi penata.
Dari penjilat menjadi amanat. Dari pengendali rakyat menjadi dikendalikan rakyat. Dari asal bapak senang menjadi asal rakyat senang. Dari instruktif menjadi persuasive. Dari bermental priyayi menjadi bermental kyai? Jawabnya, adalah mulai dari struktural dan kultural agar birokrasi tampil professional (Basrowi, 2020).
Menurut Sukidin (2020) birokrat itu masih bisa melakukan inovasi. Misalnya saja dalam konsep “Mewirausahakan Birokrasi” merupakan salah satu wujud birokrasi modern yang rasional, inovatif dan mempertimbangkan cost and benefit. Tantangan birokrasi adalah kemampuan mengelola sumberdaya secara rasional.
Banyak birokrat Indonesia agar dianggap modern akhirnya ikut-ikutan dengan memunculkan paket kebijakan swastanisasi usaha milik negara. Sayangnya, usahanya menjadi blunder karena yang terjadi bukan menguntungkan negara tetapi justru memiskinkan negera.
Untuk itu Nur Syam (2020) mantan birokrat (Sekjen Kemenag, saat ini sebagai Guru Besar Sosiologi di UIN Sunan Ampel Surabaya) menulis buku dengan judul Friendly Leadership, diterbitkan oleh LKIS 2018. Menurutnya, kememimpinan itu sebagai Roh Manajemen. Buku itu juga bercerita tentang pengalaman dan gaya memanejemen di Kemenag yang kekiasaannya dari pusat sampai daerah.
Menurut Nur Syam (2020), inovasi itu berlevel-level. Ada dalam skala sempit dan ada skala besar. Inovasi yang sudah dilakukan misalnya e-kinerja ASN. Inovasi itu sudah dirancang dengan baik dan disosialisasikan ke seluruh daerah tetapi kendalanya adalah mayoritaa ASN gagap teknologi, sehingga inovasi berskala kecil ini menemui kendala. Bahkan di saat ganti pejabat juga bukan lagi menjadi perhatian.
Belum lagi kendala aturan. Contoh pak Dahlan ketika di PWU dan pada waktu menjadi menteri. Banyak hal yg dilakukan tetapi regulasi tak memberi peluang. Apalagi di dunia hukum tidak ada istilah menguntungkan negara yang ada hanya merugikan negara. Jadi seharusnya ada MK yang menguntungkan negara.
Jadi, birokrat yang inovatif dan berpikir out of the box pasti akan mengalami problem sedikit atau banyak. Meskipun dicanangkan manajemen perubahan sebagai salah satu program reformasi birokrasi, tapi rasanya sulit untuk bergerak jika tidak didukung deng regulasi yang berprinsip semua bisa dilakukan kecuali yang pasti dilarang (Nur Syam, 2020).
Subande (2020) regulasi dan iklim birokrasi memang tidak memberikan ruang kreativitas dan inovasi bagi birokrasi. Sebagai contoh ketika Gubernur Bali, Mangku Pastika, Pemda Bali merencanakan membangun hotel berbintang karena di Bali sering ada kegiatan nasional dan internasional berskala besar, diharapkan dengan memiliki hotel berbintang semua kegiatan bisa diarahkan disana sehingga dapat mendongkrak PAD, tapi rencana itu dibatalkan karena tidak dibenarkan Pemprov terlalu berinovasi, “cukup mengurus masyarakat miskin saja”. (Subande, 2020).
Para pejabat birokrat juga merasakan kalau mau menjadi birokrat yang baik cukup taat aturan, tunduk dan patuh kepada pimpinan dan disiplin. “Urusan inovasi dan kreativitas itu urusan belakangan.” Jadi budaya kerja birokrasi kita memang sudah punya pakem tersendiri yang jauh dari jiwa interesting gomernment (Subande, 2020).
Menurut Sukidin (2020) dalam konsepsi Weber, birokrasi harus menjamin adanya spesialisasi. Nampaknya budaya politik kita dalam rekrutmen birokrat masih belum berorientasi ‘merit system’.
Sukidin (2020) birokrasi tidak hanya bicara tentang regulasi dan sanksi. Tetapi juga harus care pada penghabituasian dan pembudayaan. Lebih tepatnya harus ada strategi kebudayaan. Tradisi ilmu sosial itu bergerak dari kontinum objektif-subjektif, makro-mikro, realis-idealis, positifis-interpretatif, empiris-rasional, struktur-konstruksi. Analisis terhadap sebuah fenomena dpt dijelaskan dlm kontinum tsb. Jadi rambu2nya tetap dlm koridor keilmiahan sehingga ada pertanggungjawaban akademik.
Menurut Dr. Suko Susilo, M.Si, Direktur Pascasarjana STAI Tribakti Kediri, yang juga merangkat Direktur Pusat Studi ASEAN Universitas Kadiri, menjelaskan, bahwa yang paling penting dari semua diskusi di atas, adalah art atau seni menjadi birokrat. Seni di sini bukan kemampuan berkaraoke atau menyanyi di panggung, apalagi memegang gitar, tetapi seni memimpin sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Nur Syam, MSi sehingga masyarakat tidak merasa kalau sedang dipimpin dan digerakkan.
Dalam kondisi seperti itu, sesungguhnya masyarakat sedang dihegemoni. di sinilah yang menurut disertasinya, disebut masyarakat sedang ‘dipersuasi’. dengan seni itu. Masyarakat menjadi tidak sadar kalau sesungguhnya sedang mengikuti hentakan gendang yang ditabuh oleh birokrat yang sedang berinovasi melalui orkrestranya.
Lain halnya menurut Musa (2020) semua diskusi di atas hanyalah teori. Karena dalam prakteknya birokrasi merupakan sumber kebrobrokan. Buktinya, hanya seribu satu ASN yang seperti Pak Hoegeng. Mungkin kalau banyak birokrat seperti Hoegeng tidak akan ada kasus kelaparan seperti di Serang Banten yang mengakibatkan rakyat meninggal dunia di era wabah Corona
Berkaitan dengan inovasi dan habituasi, Sukantono (2020) berpendapat bahwa pada dua dasa warsa yang lalu Stephen R. Covey menulis buku dengan judul The 8th Habit from Effectiveness to Greatness. Buku tersebut menjadi The Best Seller pada tahun 2004. Penerbit Gramedia turut mempromosikan buku tersebut dengan menggandeng Presiden Susilo Bambang Yudoyono di Jakarta Convention Centre pada tahun 2005.
Kata Covey, masyarakat bergerak dan berkembang melalui 8 (delapan) tahap. 1. Hunter (Berburu); 2. Agriculture (Bertani); 3. Industrial (Industri/Kapital); 4. Information / Knowledge Work (Pengetahuan dan Pekerjaan); 5. Wisdom (Kebijaksanaan); 6. Feedom (Kebebasan); 7. Peace (Perdamaian); 8. Spirituality (Spiritualitas).
Menurut Sukidin (2020) terkait habituasi, Covey mengilustrasikan tiga hal yang perlu diedukasi pada msyarakat yaitu “sikap proaktif, sikap persimpangan positif (mengarahkan individu yang bertujuan), kemampuan mendahulukan yang utama (prioritas). Bila tiga sikap dihabituasi dan dikembangkan maka akan menjadi nilai-nilai baru dalam kehidupan.
Berkaitan dengan birokrasi dan inovasi, Surbakti (2020) berpendapat bahwa, pertama, birokrasi di Indonesia tidaklah homogen. Dosen PNS (ASN) berbeda dengan pegawai administrasi, pegawai BUMN berbeda dengan pegawai di kementerian, dan seterusnya. Pada masa Orde baru semua PNS Dikti harus memakai safari warna biru, termasuk dosen. Saat ini, semua karyawan/tendik memakai pakaian tersebut dan hanya beberapa dosen memakainya.
Yang dimaksud oleh Surbakti (2020) birokrasi yang baik adalah birokrasi seperti yang dirumuskan Weber khususnya yang legal-rasional. Ciri khas birokrat ini adalah bekerja berdasarkan peraturan dan prosedur. Seperti konsep dalam Ilmu sosial, konsep inovasi juga dirumuskan beraneka macam.
Joseph Schumpeter mungkin yang pertama kali menggunakan konsep ini ketika mengatakan: proses perubahan teknologi pada pasar bebas terdiri atas tiga unsur, yaitu invention (penemuan ide atau proses baru), innovation (penyediaan persyaratan ekonomi untuk melaksanakan invention) dan diffusion.
Dalam pembicaraan sehari-hari kebanyakan kita mengartikan inovasi sebagai gagasan atau metode baru. Seorang yang inovatif dilukiskan sebagai hal yang penuh ide baru, kreatif, dan gagasan yang keluar dari pakem. Karena itu, birokrat yang bekerja berdasarkan ketentuan dan prosedur (mengikuti pakem) memang tidak mungkin inovatif.
Pegawai yang inovatif justeru merupakan pegawai yang tidak baik karena berperilaku menyimpang dari pakem. Gagasan tentang inventing bureaucracy hendak menciptakan pakem baru dari birokrasi (Surbakti, 2020).
Kedua, kita perlu kembali pada teori sosial Anthony Giddens tentang strukturasi. Prof. Dr. Muhadjir Effendi, M.Si, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (2020) pada saat menyusun disertasi yang kebetulan dibimbing oleh Prof. Dr. Ramlan Surbakti, M.A, pernah mengatakan, perwira tinggi TNI AD merupakan produk dari total institution sehingga perwira tinggi tersebut tidak mungkin inovatif.
Prof.Dr, Muhadjir, kalau tidak salah, menggunakan teori Anthony Giddens tentang strukturasi bahwa struktur tidak hanya constraint tetapi juga enabling. Seperti teori strukturasi seorang agent dapat melakukan inovasi justeru melalui struktur. Teori Sosial lain yang bisa digunakan adalah negotiated-order. Dosen Teori Sosial Prof Ramlan di Ohio University melakukan penelitian tentang apa yang menciptakan tertib (order) di Penjara yang paling ketat pengamanannya di Amerika.
Jawabannya bukan hanya pengamanan yang ketat menggunakan berbagai instrumen (petugas bersenjata, bangunan tertutup, lampu sorot jarak jauh, tata tertib, dan sebagainya) melainkan juga hasil negosiasi antara tahanan (dan keluarga dan teman-temannya) dengan petugas. Mirip dengan LP di Indonesia walaupun mungkin tidak seburuk di Indonesia.
Lepas dari seluruh diskusi di atas, apakah birokrasi bisa melakukan inovasi atau tidak Prof. Dr. Muhadjir Effendi, M.Si, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (2020) berpendapat bahwa, “Ekonomi saat wabah Covid: yang penting bisa bertahan hidup”. Begitu juga menurut Siahaan (2020) dalam menghadapi Virus Corona (Covid-19) serta dalam menanggapi pernyataan Muahdjir Effendi hanya berharap, “Mudah-mudahan negeri kita bisa survive,” dan Pak Menko perlu turun tangan.
Susilo (2020) implikasi dari semua yang telah disampaikan Prof Ramlan ‘bukan sabda pandita ratu’ dan masih membuka peluang diskusi lanjutan. Tetapi, karena telah begitu banyak teori terkait yang muncul saat diskusi. Semua itu diharapkan dapat menjadi sarana percepatan pembaca dalam meng update teori sosial yang dimiliki.
Akhirnya, sungguh luar biasa manfaat yang bisa kita pungut dari diskusi ini. Disampaikan terima kasih pada Prof Ramlan atas pancingannya. Juga terimakasih atas respon luar biasa dari semua ahli.
Kontributor:
Editor: Dr. Basrowi, beliau merupakan dosen Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Islam (STEBI) Lampung. Basrowi juga telah menghasilkan 41 judul buku dan masih tetap aktif menulis artikel dan opini di sejumlah media online lainnya.
Dalam Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 dijelaskan mengenai karakter dosen untuk pengembangan indikator kinerja dosen.…
Bagi mahasiswa dan dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut pascasarjana gratis di Qatar, Anda…
Bagi siapa saja yang ingin studi S2 maupun S3 di luar negeri, silakan mempertimbangkan program…
Kabar gembira bagi para dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut jenjang S3 di luar…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 Tentang Standar Minimum Indikator Kinerja Dosen dan Kriteria Publikasi Ilmiah…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 menjelaskan dan mengatur perihal standar minimum pelaksanaan hibah penelitian dalam…