Opini

Melihat Kembali Kondisi Dikti di Indonesia

Pendidikan tinggi atau dikti di Indonesia pada dasarnya masih perlu berbenah. Jika dibandingkan dengan pendidikan tinggi di luar negeri, di Indonesia masih banyak terdapat persoalan-persoalan yang perlu diperhatikan.

Tidak hanya itu, persoalan-persoalan tersebut juga sudah seharusnya memiliki solusi agar pendidikan tinggi di Indonesia bisa semakin maju ke depannya.

Ada beberapa persoalan yang menjadikan pendidikan tinggi di Indonesia harus membenahi diri. Dari sekian banyak persoalan yang ada, persoalan di bidang tenaga kerja pendidikan juga tidak boleh luput dari perhatian.

Di Indonesia, masalah tenaga kerja pendidikan bisa dilihat dari jumlah profesor atau guru besar yang masih belum ideal.

Jumlah profesor yang ada di Indonesia masih jauh dari kebutuhan, mengingat banyaknya perguruan tinggi dan mahasiswa yang kian bertambah. Jumlah profesor pada dasarnya sangat dibutuhkan, sebab tenaga mereka akan berguna untuk membantu melaksanakan agenda besar penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Banyaknya guru besar di negeri ini masih sangat kurang, terlebih untuk universitas-universitas yang ada di luar Jawa.

Berdasarkan data dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dikti), hanya terdapat 5.300 orang yang telah meraih gelar sebagai guru besar. Jumlah itu masih kurang dari cukup untuk program studi perguruan tinggi yang jumlahnya mencapai 22 ribu.

Sementara itu, jumlah mahasiswa yang belajar di Indonesia mencapai 6,3 juta. Dalam hal ini, seorang profesor harus melayani lebih dari seribu mahasiswa di Indonesia. Data-data ini selanjutnya menjadi catatan penting bagi tim asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

Di samping itu, pembenahan tenaga kerja pendidikan juga bisa dilihat dari manajemen Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di perguruan tinggi.

Perbaikan sistem informasi oleh PPID juga perlu dilakukan supaya informasi bisa diberikan lebih terbuka dan lengkap. Perbaikan sistem manajemen ini bisa dilakukan hingga menempatkan secara hati-hati wakil di unit fakultas dan jurusan.

Sementara itu, kualitas pelaksanaan kegiatan akademik pun tetap menjadi sorotan. Asep Saefuddin, Guru Besar Statistika FMIPA IPB sempat memberikan pendapatnya tentang kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Menurutnya,mutu pendidikan tinggi di Indonesia masih menjadi PR besar bagi negara.

Mutu pendidikan di Indonesia seharusnya tidak cenderung fokus pada kuantitas saja. Berbeda dengan Indonesia, kultur pendidikan di luar negeri lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas.

Kemudian dalam proses pendidikannya, perguruan tinggi di luar negeri juga lebih terbuka terhadap mahasiswa asing yang ingin belajar di tempat mereka. Atmosfer belajar di luar negeri juga sama sekali berbeda. Perpustakaannya selalu padat sepanjang jam operasionalnya (6 pagi-11 malam).

Kemudian perbaikan mutu bisa dilihat dari kondisi pendidikan tinggi yang berlabel “sangat birokratis”. Dahulu, sekitar tahun 1970-an, manajemen di perguruan tinggi di Indonesia masih sederhana, tetapi cukup mumpuni. Saat itu hubungan mahasiswa dengan dosen cukup dekat dan tidak kaku.

Hal ini terjadi hampir di setiap kesempatan, terutama ketika mahasiswa menulis tugas akhirnya. Dosen cenderung menginspirasi mahasiswanya. Keadaan ini berbeda dengan zaman sekarang. Mahasiswa cenderung takut dengan dosen.

Mereka tidak memaksimalkan kerja dosen sebagai fasilitator ilmu, atau sekedar tempat berdiskusi. Dosen pun sama saja. Lebih banyak mengesampingkan kepentingan mahasiswa dengan alasan kesibukan.

Di sisi lain, layanan akademik dahulu lebih terasa ramah. Meski belum memanfaatkan teknologi, layanan akademik juga tidak kaku, tidak terlalu ribet dalam hal birokrasi, apalagi feodalistis.

Berbeda dengan sekarang, layanan akademik seringkali tidak ramah. Kemungkinan hal ini dilakukan untuk menjadikan mahasiswa dan dosen tertib dalam melaksanakan kegiatan akademik di kampus.

Selanjutnya, mutu pendidikan di Indonesia masih berada dalam tahap peningkatan riset dengan output yang jelas. Pada pelaksanaannya, mewujudkan universitas berbasis riset di Indonesia masih menemui kendala.

Dua dari sekian banyak kendala yang ada adalah kesibukan suatu perguruan tinggi dalam mencari mahasiswa baru dan kesibukan dosen dalam proses akreditasi universitas yang cenderung ditingkatkan dari proses belajar-mengajar saja.

Selain itu, meningkatkan universitas berbasis riset juga masih menjadi kesulitan bagi perguruan tinggi yang masih dianggap kecil. Mereka masih berusaha memenuhi tuntutan untukmemiliki fakultas, jurusan, dan program studi.

Hal tersebut membuat manajemennya tidak efisien dan mubazir, juga membuat perguruan tinggi tidak siap untuk memiliki basis riset. Oleh karena itu, mereka membutuhkan perhatian lebih, misalnya dari Kopertis atau Kemenristek dikti.

Sementara itu, perguruan tinggi yang besar, terutama yang berbadan hukum sudah lebih siap untuk diarahkan menjadi universitas riset. Mereka bisa diarahkan untuk menggandeng industri besar dan menjalin kerjasama.

Kemudian, mereka juga seharusnya diarahkan untuk lebih fokus pada pencarian mahasiswa pascasarjana demi menaikkan jumlah riset berikut output yang bisa berguna untuk kehidupan masyarakat. Di sisi lain, akan lebih baik jika perguruan tinggi, terutama PTN yang berbadan hukum diberi keleluasaan dalam mengelola manajemennya sendiri.

Dianggap sebagai jawatan pemerintah yang wajib dikontrol sebenarnya kurang menguntungkan bagi ekosistem akademik dan otonomi perguruan tinggi negeri yang berbadan hukum. Kampus juga terbebani dengan pola akreditasi universitas yang kaku. Mereka selanjutnya menjadi terbebani.

Menurut Asep, seharusnya BAN-PT sebagai pelaksana jaminan mutu hanya fokus pada output dan outcome perguruan tinggi negeri yang telah berbadan hukum.

Baca juga: Mari Kenali Faktor Pendorong Produktivitas Ilmiah

Beberapa alasan di atas dapat dijadikan sebagai catatan penting dalam meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak aspek yang perlu dibenahi, dengan upaya segenap elemen Dikti Indonesia.

Dengan begitu, pendidikan tinggi bisa menunjukkan perbaikan dan meningkatkan kualitasnya agar lebih siap bersaing dengan pendidikan tinggi di luar negeri.

 

Sumber:

  1. http://netralnews.com/news/opini/read/1417/perguruan.tinggi.rektor.universitas.trilogi.asep.saefuddin
  2. http://news.okezone.com/read/2016/03/05/65/1328388/jumlah-profesor-di-indonesia-belum-ideal
  3. http://news.okezone.com/read/2016/02/17/65/1314374/perguruan-tinggi-perlu-benahi-manajemen-informasi
wiwik wulandari

Recent Posts

Jenis Jurnal dalam Kewajiban Publikasi Dosen dan Angka Kreditnya

Dalam dunia akademik, dosen juga memiliki kewajiban melakukan publikasi ilmiah secara berkala. Salah satunya publikasi…

6 days ago

Daftar Jurnal Terindeks Copernicus April 2024 [Update]

Mengecek apa saja daftar jurnal terindeks Copernicus tentu sangatlah penting, khususnya bagi dosen yang ingin…

6 days ago

10 Tantangan Kuliah di Luar Negeri dan Tips Menghadapi

Sebagai dosen, banyak yang memiliki impian bisa studi lanjut sampai ke luar negeri karena bisa…

6 days ago

Definisi dan Prosedur Pengajuan Insentif Publikasi Artikel Jurnal

Ada banyak upaya dilakukan berbagai pihak untuk mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas publikasi ilmiah, terutama…

6 days ago

7 Program Beasiswa S3 Australia dan Cakupan Beasiswanya

Mencari informasi beasiswa S3 Australia tentu akan menjadi agenda bagi siapa saja yang tertarik studi…

6 days ago

Beasiswa Pendidikan Indonesia Kapan Dibuka? Ini Timelinenya

Program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) menjadi salah satu program beasiswa bergengsi dari pemerintah Indonesia melalui…

1 week ago