Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 atau ASEAN Economic Community 2015 mulai dibentuk pada 31 Desember 2015. Dibentuknya MEA merupakan satu agenda dari ASEAN Vision 2020. Tujuannya yaitu menciptakan ASEAN sebagai daerah regional yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi.
Tujuan itu hendak dicapai melalui pembangunan ekonomi yang adil, serta mampu mengurangi kemiskinan dan disparitas sosial-ekonomi. Ini sejalan dengan pembentukan Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Community) dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community) (ASEAN, 2015: 3)
MEA terdiri dari empat pilar. Salah satunya yaitu Single Market and Production Base (Pasar Tunggal dan Basis Produksi). Berdasarkan pilar ini, akan diberlakukan aliran bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terlatih di kawasan regional ASEAN. (ASEAN, 2015: 5)
Dengan kata lain, tidak ada lagi hambatan ekspor-impor barang dan jasa di ASEAN. Aliran investasi dan modal di kawasan ASEAN semakin bebas. Begitu pula dengan migrasi tenaga kerja.
Sampai saat ini, kehadiran dan fungsi MEA belum terasa. Maka dari itu, penduduk ASEAN masih berharap-harap cemas bagaimana menghadapinya. Dibentuknya MEA menimbulkan dua kemungkinan bagi masyarakat Indonesia. MEA bisa menjadi suatu peluang, namun bisa juga menjadi ancaman.
MEA menjadi peluang apabila pelaku-pelaku produksi dapat memperluas jangkauan pemasaran produk dan Angkatan Kerja kita semakin mudah untuk memilih pekerjaan di kawasan ASEAN. Mengenai posisi di ASEAN, Indonesia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki negara ASEAN yang lain.
Pertama, PDB Indonesia sebesar 888,65 milyar US Dollar dan berada pada peringkat ke-16 di dunia.
Kedua, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak di ASEAN. Banyaknya penduduk ini bisa menjadi potensi untuk memperkuat posisi Indonesia. Tentu saja, apabila kualitas sumber dayanya juga bagus.
Sementara itu, MEA bisa juga menjadi ancaman apabila produktivitas kita tetap rendah, kualitas sumber daya manusia rendah, dan jumlah penganggur kita besar. Produk dan tenaga kerja kita dikhawatirkan akan kalah bersaing dengan negara ASEAN yang lain.
Nantinya bukan lagi mengurangi disparitas sosial-ekonomi antarnegara atau antarwarga negara, tetapi justru memperlebar disparitas tersebut. Kekhawatiran itu semakin jelas apabila mengamati dua tabel berikut.
Tabel 1. Data Jumlah Angkatan Kerja, Pengangguran Terbuka, dan TPT, 2011–2013
Sumber: BPS, Data Jumlah Angkatan Kerja, Penduduk Bekerja, Pengangguran, TPAK dan TPT, 1986–2013, < http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/973>, telah diolah kembali.
Tabel 2. Angkatan Kerja Menurut Tingkat Pendidikan, 2011-2014 (juta orang)
Sumber: BPS, Data Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu, 2000-2014, <http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/976>, telah diolah kembali.
Pada tabel pertama dapat diamati bahwa jumlah pengangguran terbuka tergolong besar. Pada tabel kedua dapat diamati bahwa kualitas SDM yang diindikatori dengan tingkat pendidikan Angkatan Kerja juga masih rendah. 3
Angkatan Kerja kita pun masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah. Kedua tabel tersebut cukup membuktikan bahwa jumlah penganggur di Indonesia cukup besar dan sumber daya manusianya tergolong rendah.
Di samping itu, posisi Indonesia di ASEAN bisa dibilang meragukan. Keraguan tersebut muncul dari fakta-fakta dalam dua tabel berikut.
Tabel 3. PDB Per Kapita Negara-Negara ASEAN, 2013-2015 (Juta US Dollar)
Sumber: IMF, World Economic Outlook Database-October 2015, telah diolah kembali.
Meski PDB Indonesia tertinggi di ASEAN, namun PDB Per Kapitanya berada di posisi kelima. Sepertinya Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam akan menjadi saingan yang sangat berat bagi Indonesia dalam menghadapi MEA.
Namun, tidak menutup kemungkinan jika Kamboja dan Vietnam juga memiliki kesempatan untuk mengungguli Indonesia.
Lembaga pendidikan merupakan salah satu lembaga yang diharapkan mampu mengatasi kekhawatiran seperti yang diungkapkan di atas. Pendidikan di Indonesia diharapkan mampu mencetak insan berkualitas unggul sehingga siap memasuki lapangan pekerjaan. Masyarakat kita menyadari bahwa pendidikan mampu meningkatkan kualitas hidup.
Pendidikan memiliki beberapa fungsi, di antaranya yang sesuai dengan pembahasan ini adalah “memberikan persiapan bagi peranan pekerjaan”. Dalam Ketetapan MPR tentang GBHN Pendidikan Nasional 1993 pun disebutkan:
“Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif, serta sehat jasmani dan rohani. …” (dalam Gunawan, 2010: 64).
Ada beberapa yang perlu digarisbawahi, yaitu “kreatif”, “terampil”, “beretos kerja”, dan “profesional”. Keempat capaian tersebut harus dicapai melalui lembaga pendidikan sehingga lulusan satuan pendidikan memiliki keahlian yang cakap dan siap bersaing di lapangan kerja, khususnya dalam menghadapi MEA.
Sayangnya, penerapan pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan fungsional jika untuk mendidik anak bangsa menjadi manusia yang kreatif, terampil, beretos kerja, dan profesional. Penerapan pendidikan kita masih bersifat output oriented (berorientasi hasil).
Maka tidak heran apabila ada banyak peserta didik, pengajar, dan pengelola satuan pendidikan yang sangat mengutamakan nilai, indeks prestasi, peringkat, dan cepatnya masa studi.
Untuk menghadapi MEA dengan segala ancamannya, seharusnya pendidikan kita harus lebih bersifat job oriented. Dengan mengubah arah pendidikan (atau menambah orientasi) menjadi job oriented, nantinya lulusan dari satuan pendidikan tertentu memiliki keahlian yang lebih dibutuhkan oleh penyedia lapangan kerja.
Satu sebab yang mungkin menjadikan pendidikan sangat output oriented yaitu kurangnya integrasi program antara Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan Kemenakertrans. Henri Saparini pernah menuturkan bahwa lulusan satuan pendidikan sulit masuk ke dunia kerja karena program kerja Kemendikbud (Kementerian Pendidikan & Kebudayaan) dan Kemenakertrans (Kementerian Tenaga Kerja & Transmigrasi) — ditambah Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (ed.) — belum sinkron.
Seolah masing-masing kementerian hanya fokus pada program kerja masing-masing. Mengubah arah pendidikan menjadi job oriented tentu bukan hanya menjadi pekerjaan Kemendikbud, tetapi harus bekerja sama dengan Kemenristekdikti dan Kemenakertrans. Dengan begitu, kompetensi yang diajarkan di satuan pendidikan bisa lebih sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Berkaitan dengan MEA, bukan hanya Kemenakertrans yang harus bekerja sama dengan Kemendikbud dan Kemenristekdikti. Kiranya Kemenlu dan Sekretariat ASEAN juga harus ambil andil.
Kemenlu dan Sekretariat ASEAN bisa berperan dalam promosi dan pengumpulan informasi yang berguna bagi peserta didik maupun lulusan-lulusan dari satuan pendidikan. Misalnya, informasi tentang beasiswa dan keahlian kerja yang dibutuhkan di negara tertentu.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan pendidikan di Indonesia belum cukup siap untuk menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Persiapan tersebut kenyataannya menemui masalah bahwa penerapan pendidikan kita masih sangat output oriented dan belum begitu job oriented. Jika peserta didik diarahkan untuk berkompetensi di dunia kerja, tentu mereka memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Bukan hanya pasar kerja di Indonesia, tetapi juga ASEAN.
Untuk mencapai hal tersebut memang perlu dilakukan beberapa langkah, bukan hanya oleh pemangku kebijakan, tetapi juga masyarakat sendiri. Di tataran pemangku kebijakan, pendidikan bisa diarahkan untuk lebih job oriented.
Hal itu bisa dilakukan dengan mengadakan program kerja yang sinergis antara Kemendikbud, Kemenristekdikti, dan Kemenakertrans.
Jika hendak diarahkan untuk semakin bersaing di ASEAN, Kemenlu, dan Sekretariat pun juga harus mengambil peran penting di situ. Sedangkan bagi masyarakat, kiranya kita perlu punya inisiatif supaya kita sendiri memiliki kompetensi atau kualitas yang unggul, terutama untuk memasuki pasar kerja di kawasan regional ASEAN.
Mulai sekarang, generasi muda bisa dilatih untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan. Misalnya, melatih kemampuan berkomunikasi, membangun relasi, berbahasa asing, dan sebagainya. Mereka bisa dilatih menguasai keterampilan tertentu, seperti menjahit, memasak, fotografi, membuat kerajinan tangan, dan sebagainya.
Catatan kaki:
[1] ASEAN, “Blueprint for Growth ASEAN Economic Community 2015: Progress and Key Achievements”, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2015), hlm. 3
[2] Disimak dari Dr. Henri Saparini, “Ekonomi Indonesia Tanpa Kedaulatan” dalam Acara Sekolah Politik dan Hukum Progresif oleh SMI, di Asrama Kepulauan Riau, Yogyakarta, 26 Oktober 2013.
[3] Disimak dari Mochtar Luthfi, “Tantangan Pemuda dan Ketenagakerjaan dalam Komunitas ASEAN 2015” (Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi) , dalam Acara Dies Natalis ke-57 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 15 Desember 2012.
[4] Sugiyanto, Lembaga Sosial (Yogyakarta, 2002: Global Pustaka Utama), hlm. 53.
Posting Artikel ini dibuat oleh: Beniardi Nurdiansyah.
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…