Pada tahun 2016 kita telah memasuki era MEA sejak Januari lalu. Berikut ini empat modal sikap seorang dosen untuk menghadapi MEA
MEA atau Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah salah satu bentuk globalisasi modern yang bertujuan untuk membebaskan segala kegiatan investasi, ekspor dan impor barang, dan juga arus jasa yang berlaku di seluruh daerah Asia Tenggara.
Kebebasan ini tentunya akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi Indonesia untuk meningkatkan perekonomian Indonesia yang berimbas kepada beberapa aspek seperti aspek sosial, kebudayaan, dan pendidikan.
Dalam peningkatan mutu pendidikan tentunya para pengajar profesional juga wajib meningkatkan kualitas diri agar mampu bersaing di dunia kerja. Terlebih lagi, tentunya kita tahu bahwa negara dengan mutu pendidikan nomor wahid di dunia adalah Singapura, negara yang hanya bertetangga dengan Batam.
Bahkan, di antara negara-negara ASEAN, Indonesia menempati posisi paling dasar dan menjadi negara dengan mutu pendidikan nomor 69 dari 76 negara diseluruh belahan dunia.
Akreditasi mayoritas universitas di Indonesia juga termasuk rendah di antara universitas-universitas di ASEAN. Pada hakikatnya, akreditasi sangat menentukan peningkatan mutu pendidikan di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Atas dasar itu pula, pasti tidak ada rektor suatu universitas yang ingin akreditasinya turun.
Dengan kondisi ini, tentunya Indonesia menjadi sasaran paling empuk bagi para pengajar profesional asing untuk dapat berkarier di Indonesia. Hal ini sebenarnya baik jika dilihat sisi perkembangan mutu pendidikan, namun banyak tenaga pengajar domestik kemungkinan akan kehilangan pekerjaan mereka.
Baik guru maupun dosen, jika mereka tidak meningkatan kualitas diri dan cenderung apatis, maka banyak yang akan kalah bersaing dengan para tenaga profesional yang berasal dari negara-negara tetangga. Modal untuk menghadapi MEA bagi para pengajar profesional bermacam jenisnya. Akan tetapi, tidak semua modal dapat diperoleh dari meningkatkan hard skills saja, namun juga soft skills.
Berikut ini beberapa modal sikap yang harus dimiliki setiap dosen jika ingin memiliki daya saing lebih tinggi dengan pengajar asing lain dalam kompetisi MEA.
1. Rendah Hati
Sikap ini tentunya sudah kita pelajari semenjak kita masih anak-anak sampai sekarang ini dari guru, orang tua, dan pengalaman-pengalaman yang telah kita lalui. Namun, apakah setiap orang dapat melakukannya semudah mengucapkannya? Belum tentu.
Pada hakikatnya, manusia memiliki sikap sombong walau hanya sedikit saja sebab ada kepuasan tersendiri ketika kita menunjukkan kehebatan kita. Apalagi, jika posisi kita adalah orang Indonesia yang berdomisili di Indonesia dan bekerja juga di Indonesia.
Memang kita lebih paham tentang Indonesia daripada orang asing, tetapi bukan berarti kita menjadi ‘sok tahu’. Bagaimanapun, sikap ini sudah termasuk bagian dari sombong. Lambat laun sikap ini akan menuntun kita pada kegagalan.
Sombong juga mengakibatkan kita berhenti belajar. Berhenti belajar membuat kita menutup potensi kita dan pada akhirnya sudah sangat jelas bukan? Tetaplah rendah hati dalam bersikap dan bekerja karena orang akan lebih menghargai kerja anda jika anda tidak terlalu banyak membicarakannya.
2. Kritis
Untuk menyambut MEA, sikap ini adalah sikap yang menuntun kita pada ketajaman intelektual. Ketajaman intelektualitas membuat kita mudah melihat peluang, mengatasi masalah, dan mendongkrak citra diri sebagai kaum cendekiawan. Kadang, sikap ini sering terganggu dengan penilaian subjektif pada setiap orang.
Sikap kritis mutlak dilandasi oleh penilaian objektif yang juga didasari oleh logika. Jika ada penilaian subjektif yang menyerupai kritik, hal itu tidak lain dan tidak bukan adalah bijaksana. Kedua hal ini sangat berguna bagi kita yang ingin meniti karir lebih tinggi. Namun, sikap bijaksana akan betul-betul berguna jika kita mempunyai tanggung jawab besar.
3. Toleransi
Adakah dari kita yang tidak punya toleransi? Karena kita terlalu bersikap terlalu keras terhadap diri kita sendiri. Jangan jadikan pebedaan pandangan bahkan perbedaan keyakinan menjadi penghalang kita untuk meniti karier setinggi-tingginya.
Apalagi, Indonesia masih cukup dikenal sebagai negara yang masih mudah digoyahkan oleh sentimen perbedaan ras, suku, maupun agama. Sekarang pun, akan ada banyak orang-orang asing dengan latar belakang yang jauh berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia.
Baca juga: Gambaran Umum Beasiswa DIKTI untuk Anda Para Dosen
Masih perlukah kita bersikap apatis dan memblokade diri untuk berhubungan orang ‘yang berbeda’ dalam menyambut MEA? Kalau kita tidak segera berbenah diri untuk mengubah sikap kita terhadap orang-orang tersebut maka jangan heran jika negara ini akan semakin kacau karena keegoisan masing-masing.
4. Profesional
Siapa yang tidak tahu akan sikap ini dalam dunia kerja? Seorang professional secara umum diartikan sebagai seseorang yang ahli dalam suatu bidang yang dikerjakannya. Namun, apakah kita paham akan arti khusus dari seorang yang profesional?
Profesional adalah seorang yang tahu dan ahli dalam bidang pekerjaannya dan paham akan tanggung jawab sebagai seorang pekerja. Jika kita terlalu banyak mencampuradukkan kehidupan pribadi kita dengan pekerjaan kita maka karier kita tidak akan bertahan lama.
Ketika sebuah universitas memiliki akreditasi unggul, maka perlu dibarengi juga dengan kualitas unggul seorang pengajar. Apalagi, di zaman liberalisasi besar-besaran yang dianut banyak lembaga dan perusahaan di dunia ini, mereka akan selalu menuntut yang terbaik dari kita secara professional.
Pada akhirnya, segala soft skill yang kita benahi, bangun, atau ciptakan pada diri kita harus dimbangi dengan hard skill dengan kualitas world class competence agar mempunyai daya saing lebih di era MEA ini.
Sumber referensi: