Meski terjun dalam dunia dosen, Karina Rima Melati M.Hum., enggan meninggalkan dunia seni terutama pada bidang seni visual batik. Bagi Karin, seni adalah sebuah hasrat hidup terlebih dalam melakoni hobi batik – nya.
Kesibukannya dalam mengajar dan berbagai kegiatan kampus tak menyurutkan semangatnya untuk tetap berkecimpung pada hobi batik. Bersama Ibunya Tien Suhartini, Karin mendirikan Sanggar Batik Jenggolo pada 2009 di kawasan Taman Siswa, Yogyakarta dan mengelolanya sampai sekarang.
”Ibu kan sudah pensiun lama, beliau ingin punya kesibukan tapi bisa dilakukan di rumah. Ibu memang hobi batik, akhirnya saya dan ibu membuat sanggar. Saya terlibat sebagai pengurus. Sanggar yang kami dirikan sifatnya kelompok, jadi tidak ada juragan atau buruh, tapi kami bersama anggota lain posisinya setara,” jelas Karin kepada tim duniadosen.com.
Bakat Seni Dipengaruhi oleh H. Widayat
Sejak kecil, bakat seni Karin memang sudah terlihat. Dia sering membuat komik dan sketsa untuk kartu ucapan lebaran. Buku-buku pelajaran semasa sekolah pun tak luput dari coretan tangannya. Bakat seni dosen jurusan Advertising di Akademi Komunikasi Indonesia (Akindo) Yogyakarta tersebut seolah menurun dari bakat seni H. Widayat, seniman pelukis yang sekaligus kakeknya. Karin merupakan cucu keenam dari putra nomor dua H. Widayat.
Menurut Karin, karya-karya batik yang ia hasilkan sedikit-banyak terinspirasi oleh H. Widayat. Baginya sang kakek memiliki pengaruh terhadap bagaimana Karin membatik. ”Kakek saya itu lukisannya cukup dekoratif karena memang berasal dari pembatik,” ujar Karin seperti dilansir TribunJogja.com, Selasa (27/11).
Seperti diketahui, H. Widayat adalah salah seorang maestro lukis Indonesia yang memiliki karya-karya fenomenal seperti Adam dan Eva (1995). Selain menjadi seniman, H. Widayat juga seorang dosen di Akademi Seni Rupa Indonesia (Sekarang Institut Seni Indonesia – ISI) Yogyakarta. Widayat wafat pada 22 Juni 2002 pada usia 83 tahun. Meski begitu, karya-karya Widayat masih ada sampai sekarang. Bahkan, namanya diabadikan dalam sebuah museum bernama Museum H. Widayat di Magelang, Jawa Tengah.
Mengharap Batik Dilestarikan dengan Baik
Ketika masyarakat mengunjungi sanggar batik Jenggolo, Karin ingin pandangan masyarakat terhadap batik tak sebatas produk belaka. Tapi juga menyadari bahwa keindahan batik itu melalui proses panjang.
”Pelestarian batik itu akan sustain jika kita memiliki pemahaman bahwa batik bukan hanya komoditas yang bisa dinikmati. Tapi juga harus tahu proses pembuatan batik itu seperti apa. Kami mendirikan sanggar tujuan utamanya untuk itu,” jelas dosen yang sering memasukkan media batik dalam proses pengajaran di kelas tersebut.
Dalam rangka memberdayakan sanggarnya agar menjadi tempat belajar batik, Karin melakukan pemberdayaan masyarakat peng-hobi batik di sekitar rumah dan juga sanggarnya itu untuk ikut mengelola Sanggar Batik Jenggolo. ”Kami memiliki anggota yang terdiri dari tetangga dekat, semuanya perempuan. Kami memberdayakan masyarakat sekitar, lah,” terangnya.
Karin menjelaskan, sanggarnya juga dipercaya oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Perlindungan Anak DI Yogyakarta untuk melatih rintisan kelompok mandiri di Yogyakarta. ”Jumlahnya 15 kelompok,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Karin selalu mengusahakan mahasiswanya belajar dan memahami batik. Karin menganggap saat ini generasi muda sudah mulai tak mengenal, baik batik yang notabene adalah sebuah budaya yang perlu dilestarikan. ”Maka, melalui kelas, saya ingin melestarikannya,” ujar Karin.
Kedepannya, meski sulit, Karin ingin merekrut anggota baru untuk keperluan regenerasi sanggar. Karena fokus Karin saat ini mulai terbelah dengan kesibukannya sebagai dosen advertising di STIKOM Yogyakarta.
Pada 2017 lalu, Karin mendapat undangan untuk mengikuti Zushi Beach Film Festival di Jepang. Dalam festival tersebut, Karin bersama rekannya memproduksi film tentang batik berjudul ‘The Embodiment of Batik’. Selain itu, Karin juga berkesempatan untuk melatih lokakarya terkait batik. ”Setelah itu, kami mendapat pesanan batik dari Jepang,” katanya bangga.
Ingin Masyarakat Memahami Batik
Saat mengunjungi sanggar, Karin ingin masyarakat tak hanya mengenal batik dalam bentuk teori belaka. Namun, pengunjung turut mencoba membuat batik sendiri meski tak harus selesai karena membutuhkan waktu yang panjang. ”Saya punya cita-cita, kalau masyarakat datang ke sanggar, masyarakat bisa membuat batik buatannya sendiri. Jadi tidak hanya melihat proses pembuatan, tapi mereka punya andil di situ. Jadi ada partisipasi aktif,” ujarnya.
Bagi Karin, pengalaman itu penting sekali untuk membuat kesan. ”Saya membayangkan Sanggar Jenggolo seperti itu nanti kedepannya,” lanjutnya optimistis.
Saat ini, Karin dan pengurus lain di Sanggar Batik Jenggolo sudah tak menggunakan pewarna mainstream. Namun menggunakan pewarna alami seperti jalawe, secang, mahoni, dan sebagainya. Hal ini menjadi ciri khas dari sanggar miliknya. Selain menjual batik, Sanggar Batik Jenggolo juga digunakan sebagai tempat pelatihan batik dan juga kunjungan masyarakat.
Menurut Karin, ia tak melulu mengandalkan media promosi untuk sanggar batiknya. Baginya pemasaran mulut ke mulut atau words of mouth (WOM) adalah pemasaran yang paling efektif. Jadi masyarakat yang pernah ke Sanggar Batik Jenggolo, mereka kemudian menjadi advisor.
”Itu lebih efektif menurut kami. Ketika konsumen ke Sanggar, kami nggak hanya mengajak untuk membeli. Tapi juga memberikan pengetahuan terkait batik,” tegas dosen pengampu mata kuliah Media Digital tersebut.
Mendapat Beasiswa dari Singapura
Karin cukup konsisten dalam mengelola dan melestarikan batik, terutama di Yogyakarta. Berkat konsistensi tersebut, pada 2010 Karin mendapat beasiswa dari Asian Research Institute, National University of Singapore (NUS) untuk melakukan penelitian terkait batik berjudul ‘The Motif Buketan (Floral Motif) in Pekalongan: Development Dynamics and Social Identity in Pekalongan, Central Java’.
Penelitian tersebut berhasil masuk Jurnal Retorik: Jurnal Humaniora Baru Vol. 3 No. 2 Juni Tahun 2013. Selain itu, penelitian Karin di Pekalongan, Jawa Tengah tersebut sempat dipresentasikan dalam Hawaii International Conference on Art and Humanities, Amerika Serikat pada 2011 dan Osaka Asian Conference on Art and Humanities pada 2012 di Jepang.
”Saya saat diundang itu udah senang sekali. Ikhlas aja. Pengetahuan itu memang harusnya dibagikan,” terang perempuan yang memeroleh geral masternya di Universitas Sanata Dharma (Sadhar) Yogyakarta tersebut.
Ingin Maju, Terinspirasi oleh Ibu
Karin mengaku bahwa hidupnya banyak terinspirasi oleh sang Ibu yang juga peng-hobi batik. Menurut Karin, ibunya memiliki pengetahuan terkait batik yang sangat luas. Ibu Karin seorang pensiunan Balai Besar Kerajinan dan Batik di Yogyakarta. Meski begitu, yang Ia kagumi dari sosok sang Ibu yaitu tidak pelit dalam membagi pengetahuan. Hal tersebut menginspirasinya saat menjadi dosen.
Karin menambahkan, dalam menapaki karirnya ia juga banyak belajar dari sang ibu. Saat menjadi dosen, Karin pun menirukan jejak ibunya. Apapun ilmunya yang ia punya, tak enggan berbagi untuk mahasiswa. Baginya, tidak pelit itu artinya juga harus memperbanyak pengetahuan dan kemudian ada motivasi untuk menyampaikan sebanyak-banyaknya.
”Rejeki itu nggak akan ketuker kok. Ibu saya selalu bilang bahwa ingat doa, inget Tuhan. Ingat bahwa ada dzat yang menguasai hidup ini dan kamu harus mempercayai itu. Berdoa itu menabung kebaikan yang kita doakan. Itu sugesti diri,” ujar Karin menirukan perkataan Ibunya yang sama-sama memiliki hobi batik. (duniadosen.com/az)