Indonesia sebagai negara berkembang tidak pasrah begitu saja. Upaya terus dilakukan untuk Indonesia di kancah penelitian dan pendidikan. Bahkan, perlahan-lahan pemerintah terus memaksimalkan kepantasan upah dan memberikan tawaran dana penelitian.
Meskipun jumlahnya tidak sebanyak yang negara maju tawarkan. Di dunia lain, selain Indonesia, masih ada negara-negara miskin yang sulit berkembang.
Belajar dari kasus beberapa negara lain menghadapi “brain drain” (Baca juga Ancaman Brain Drain bagi Negara Berkembang), Indonesia tidak berdiam diri. Terlepas upaya memperbaiki sistem, masyarakat Indonesia terus berjalan ke depan.
Tetap terus melakukan penelitian dan membuat karya ilmiah, meski dengan segala keterbatasan. Hasil yang diperoleh pun tidak mengecewakan. Terakhir, di tahun 2016, periode 19 Mei hingga 21 Mei, Indonesia mendapatkan kejuaraan penelitian di Palas Mall, Lasi, Romania.
Penelitian internasional Eurolnvent 2016 Indonesia membawa medali emas, perak dan beberapa special prize. Bersama Indonesian Invention and Innovasion Promotion Association (INNOPA), suatu organisasi yang fokus dibidang penelitian dan inovasi sebagai koordinator para finalis dalam ajang Eurolnvent 2016.
Ada empat peraih penghargaan. Di antaranya seorang pengajar di SMA Surya Buana Malang, Dra. Mardiyah Yusuf Hasan Mansoor. Ia memperoleh gold medal, dengan judul karya ilmiah Being Beautiful by Using Cosmetic from Waste of Fruit.
Di kategori pelajar, diraih oleh Nirmaya Amalia Putri, asal SMA 3 Malang. Ia memperoleh gold medal. Penelitian dan karya ilmiah yang diangkat Amalia tentang manfaat cangkang telur sebagai gypsum, guna perawatan patah tulang.
Terakhir, Qonita Kurnia Anjani. Ia salah satu mahasiswa Universitas Hasanuddin Makkasar, yang juga merai gold medal dengan judul penelitiannya Nepelactobi : Solution for Prevention Colorectal Cencer. Terakhir, Adjienda Maullana, SMA Surya Buana Malang meraih silver medali yang menemukan bahwa kulit jeruk sebagai bioethanol untuk bahan bakar.
Dengan segala keterbatasan, Indonesia tetap mampu menunjukan eksistensi dalam kancah penelitian. Dari beberapa penelian tersebut, sebenarnya hal-hal kecil disekitar kita bisa dimanfaatkan.
Penelitian-penelitian seperti inilah yang diharapkan. Sehingga semakin banyak solusi yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. jika hasil penelitian di atas benar-benar diterapkan, biasa sekali negeri kita. Tidak kalah dengan negara lainnya.
Sebenarnya banyak peneliti muda yang lahir di Indonesia, dan melahirkan banyak solusi. Sayangnya, penyebaran hasil penelitian tersebut kurang maksimal, dan kurang efektif. Mayoritas masyarakat lebih tertarik dengan informasi yang sebenarnya tidak mereka perlukan dan tidak pula membuat mereka maju.
Hal ini karena dipengaruhi oleh banyaknya informasi yang sifatnya hoax di media sosial. Banyak energi yang tersita memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya.
Di Indonesia, setiap tahun selalu melakukan penelitian, baik yang sifatnya lokal, nasional, maupun internasional. Bahkan, di Yogyakarta sendiri, memiliki wadah khusus peneliti pelajar SMA/K/MA untuk mengasah sense mereka terhadap dunia penelitian. Hasil penelitian maupun karya ilmiah anak muda akan di publikasikan dalam sebuah tabloid, yang bernama Sagasitas.
Banyak peneliti muda di Indonesia. Hanya tidak terdengar gaung oleh media maupun masyarakat. Media hanya mengekspose peneliti yang memang sudah berkiprah puluhan tahun.
Berbicara tentang peneliti yang tidak diragukan lagi kiprahnya, Webometrics pada Februari 2015 mencatat ada 500 ilmuwan asal Indonesia. Ilmuwan tersebut meneliti tentang geologi, fisika partikel, biologi, dan masih banyak lagi. Berikut 5 peneliti terbaik di Indonesia menurut Webometrics.
Dari daftar di atas belum termasuk prestasi secara detail. Di balik itu, masih banyak hasil penelitian, yang bisa dilihat dengan berselancar di Google. Misalnya, Suryadi Ismadji, yang ternyata memiliki banyak karya ilmiah. Ada 116 makalah yang ia buat. Bayangkan, jika satu orang berkarya 116 penemuan, jika ada 500 peneliti maka ada berapa karya?
Sebenarnya banyak temuan-temuan yang sebenarnya bisa dikonsumsi masyarakat awam, sehingga membantu Indonesia menuju kesejahteraan. Entah, karena pengaruh apa, karya-karya itu tidak semudah diperoleh seperti berita-berita di media sosial yang di share banyak orang.
Berikut adalah petikan wawancara yang dilakukan oleh viva.co.id dengan Suryadi Ismadji, yang isinya, sebenarnya patut ditularkan kepada calon peneliti muda, agar tidak terlena dengan negara maju. Penting seorang peneliti memiliki jiwa nasionalisme, dan ketulusan hati. Sehingga, Indonesia tidak mengalami brain drain. Semoga ulasan ini bermanfaat.
Banyak ilmuwan yang memilih mengabdi di luar negeri tapi Anda malah di Indonesia. Mengapa?
Saya lebih senang berkarya di Indonesia. Jadi, meskipun ada beberapa tawaran tetapi home is where the heart is. Jadi, hati saya di Indonesia maka saya kembali ke Indonesia.
Apa rencana membujuk mereka (ilmuwan) di luar untuk berkarya di Indonesia?
Mudah-mudahan. Itu harapan saya. Indonesia punya banyak peneliti hebat. Saya lahir di Indonesia, maka saya harus berkarya di Indonesia.
Ada perbedaan ketika 2002 lalu dengan situasi yang sekarang?
Pemerintah lumayan, terutama dalam segi pendanaan. Hanya kita tinggal bangun infrastruktur untuk penelitian. Saya rasa cukup untuk membiayai penelitian-penelitian saya yang tidak kalah dengan penelitian luar negeri.
Apa harapan Anda di dunia sains?
Ilmuwan, meskipun tinggal di luar, mereka harus membawa nama Indoenesia. Itu harapan saya. Kita juga tidak boleh menyerah karena keterbatasan karena itu peluang kita untuk maju.
Apa yang memicu peneliti agar mau kembali ke Indonesia?
Utamanya itu adalah gaji. Kadang mereka bilang alat terbatas tapi kalau gaji cukup, saya rasa mereka akan kembali. Tidak dapat kita pungkiri gaji dari luar (negeri) dengan gaji kita di dalam (negeri) itu perbandingannya lumayan jauh.
Bagaimana perbandingannya?
Kadang-kadang satu banding 10 atau satu banding 20. Itu sama (gaji) di Australia, kalau Jepang lebih tinggi lagi. Kita rendah sekali.
Apakah itu penyebab peneliti banyak menetap di luar negeri?
Itu yang mendorong peneliti-penelti yang bagus tetap tinggal (di luar negeri). Mungkin tidak semua tetapi sebagian seperti itu.
Apa yang menjadi kelemahan para ilmuwan di Indonesia pada umumnya?
Ilmuwan-ilmuwan itu, terutama dosen, terjebak pada administrasi. Menjadi ketua jurusan, dekan, dan lain-lain. Selain itu, kemampuan menulis sering kali menjadi hambatan. Kemampuan untuk mengungkapkan ide masih kurang. Itu kelemahan ilmuwan kita.
Referensi :
Dalam Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 dijelaskan mengenai karakter dosen untuk pengembangan indikator kinerja dosen.…
Bagi mahasiswa dan dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut pascasarjana gratis di Qatar, Anda…
Bagi siapa saja yang ingin studi S2 maupun S3 di luar negeri, silakan mempertimbangkan program…
Kabar gembira bagi para dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut jenjang S3 di luar…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 Tentang Standar Minimum Indikator Kinerja Dosen dan Kriteria Publikasi Ilmiah…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 menjelaskan dan mengatur perihal standar minimum pelaksanaan hibah penelitian dalam…