Yogyakarta – Hadirnya Revolusi Industri (RI) 4.0 membawa perubahan signifikan terhadap perkembangan teknologi dunia. Salah satunya adalah perkembangan mesin cetak tiga dimensi atau yang dikenal dengan printer 3D. Produk ini menjadi salah satu kunci zaman modern sekarang ini terutama dalam aspek physical layer, selain Advanced Robotic, dan Augmented/Virtual Reality.
Berdasarkan Scopus, topik mengenai Printer 3D mulai muncul pada tahun 1972 melalui sebuah dokumen berjudul ”3d printing of the Bolsho? Medical Encyclopedia” yang ditulis oleh I.P. Lidov dan A.M. Stochik. Empat puluh enam tahun kemudian, topik mengenai Printer 3D menjadi perbincangan hangat. Scopus mencatat peningkatan drastis publikasi topik ini yakni 1376 publikasi terindeks pada 2018. Padahal, pada tahun 2010 hanya terindeks sebanyak sepuluh publikasi saja.
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan riset mengenai Printer 3D sejak 2014 dengan inisiasi dari salah seorang dosennya, yakni Dr. Eng. Herianto, S.T., M.Eng. Ia berkolaborasi dengan para mahasiswa serta alumni UGM kala itu, untuk mengembangkan Printer 3D sebagai salah satu pioneer riset UGM.
”Jika berbicara mengenai robotika atau mobil listrik, kita mungkin sudah didahului kampus lain. Oleh karenanya, untuk Printer 3D saya ingin UGM menjadi pelopornya,” tegas dosen Teknik Mesin dan Industri UGM ini, Selasa (26/2).
Heri mengaku bahwa awalnya memulai dengan membeli produk Printer 3D secara impor. Dari barang itu, ia bersama timnya membongkar untuk kemudian diteliti dan dipelajari tiap komponennya. ”Hasilnya dalam satu tahun kami berhasil membuat satu prototype awal Printer 3D karya kami sendiri,” ujarnya dilansir dari ugm.ac.id.
Beberapa tipe yang dikembangkan diantaranya jenis kartesian, delta, dan scara. ”Ketiganya berbeda pada konstruksi mekanik dan kinematikanya. Tipe kartesian sendiri terdiri dari beberapa turunan misalnya corexy dan h-bot. Kami coba kembangkan apapun yang dibutuhkan,” tuturnya.
Sementara itu, saat ini riset tersebut sudah mencapai tahap produksi. Printer 3D karya Heri bersama timnya tersebut kini dipakai oleh beberapa universitas, akademi, politeknik, SMK, serta beberapa UMKM. ”Sekarang sedang mengejar agar bisa membuat 1000 mesin per tahun,” sebutnya.
Menurut Heri, target selanjutnya adalah agar produk ini bisa dipakai di rumah-rumah. Ia memperkenalkan proyek yang disebutnya dengan HALTech (Home As Laboratory Technology). Melalui proyek ini, ia ingin membawa produk-produk dari Revolusi Industri 4.0 yang dikembangkannya ke rumah-rumah.
”Konsep HALTech adalah membuat adanya laboratorium di setiap rumah. Intinya rumah bisa menjadi tempat sumber inspirasi teknologi dan ilmu pengetahuan. Saat ini fokusnya adalah Printer 3D terlebih dahulu,” ungkapnya.
Heri berharap risetnya ini mendapat dukungan dari pemerintah. Tahun 2018 lalu, ia diminta oleh Direktorat Pembinaan SMK untuk membina 50 SMK di Indonesia. Kali ini, ia berharap untuk mendapat dukungan dari Kementrian Perekonomian, Kementrian Perindustrian, serta Kementrian Tenaga Kerja agar produknya ini bisa menembus pasar.
”Melalui Printer 3D ini kami ingin menunjukkan bahwa ini adalah murni karya anak bangsa dan nantinya dimanfaatkan untuk kepentingan dan kemajuan Indonesia sendiri. Dengan demikian, hal itu akan membuat UGM diakui sebagai nomor satu untuk Printer 3D di Indonesia, syukur lagi jika bisa mencapai tingkat dunia,” pungkasnya.
Redaksi
Mengecek dan menyiapkan sumber pendanaan untuk kebutuhan biaya kuliah S3 tentu perlu dilakukan jauh-jauh hari…
Dosen yang mau melanjutkan studi pascasarjana tetapi sudah berkeluarga pasti akan diselimuti kebimbangan antara apakah…
Mengacu pada aturan terbaru, proses sampai persyaratan kenaikan jabatan Asisten Ahli ke Lektor mengalami beberapa…
Dosen di Indonesia tentunya perlu memahami prosedur dan ketentuan dalam perubahan status aktif dosen di…
Kejahatan phishing data tentunya perlu diwaspadai oleh siapa saja, termasuk juga kalangan akademisi. Terutama kalangan…
Sudahkah para dosen mengetahui bagaimana cara menambahkan buku ke Google Scholar? Hal ini tentu penting…