Di Indonesia, ilmu material cukup asing, padahal ilmu tersebut digadang sebagai ilmu futuristik mengingat potensinya yang luar biasa. Dalam praktiknya, Ilmu material (beberapa kampus menggunakan istilah ilmu metalurgi) dipelajari di beberapa kampus Indonesia, baik negeri maupun swasta. Dan dari perkembangan ilmu tersebut, peneliti berhasil menemukan filamen dari olahan limbah plastik.
Berlatar belakang alasan itulah Dr. rer. nat. Mardiyati, S.Si., M.T. usai merampungkan pendidikan doktoral di Jerman, dan kembali ke Indonesia ia memutuskan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi terbaik Tanah Air tersebut. Mardiyati pun mengajar di prodi Teknik Material, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung (FTMD ITB) sejak 2011.
Beberapa kampus yang menyediakan pendidikan terkait ilmu tersebut adalah Universitas Indonesia (UI) yang merupakan kampus pertama dengan jurusan ilmu metalurgi (1965), kemudian ITB, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), dan beberapa kampus teknologi serta politeknik lainnya.
Ketertarikan perempuan kelahiran Jambi tersebut terhadap ilmu material bermula saat mengerjakan tugas akhir jenjang sarjana jurusan Kimia, ITB. Saat itu, Mardiyati dibimbing oleh Prof. Ismunandar, dosen ahli kimia padatan yang turut mengenalkannya dengan serba serbi ilmu material.
”Beliau adalah guru yang pertama kali mengajarkan kepada saya tentang hubungan struktur dan sifat material. Sehingga akhirnya saya membulatkan tekad untuk mendalami ilmu material dengan melanjutkan studi saya di program magister Teknik Material ITB,” ungkapnya.
Selain karena Mardiyati mencintai hal-hal eksperimental, keteraturan menjadi alasannya kenapa memilih menekuni bidang kimia dan material. Menurutnya, ilmu material seringkali membuatnya terperangah bahwa alam ternyata memiliki keteraturan tersendiri.
Mardiyati mengaku sering terperanjat ketika mempelajari bidang tersebut. Baginya, adanya keteraturan dan ketaatan alam terhadap hukum menjadi bukti bahwa kuasa Tuhan itu nyata.
”Ilmu material terkadang seperti terlihat sederhana, tetapi di dalam kesederhanaan itu tersimpan suatu kejeniusan. Mempelajari material seringkali membuat saya selalu dapat melihat kebesaran Allah SWT. yang sudah menciptakannya dengan sedemikian rupa,” ujarnya kagum.
Setelah menyelesaikan pendidikan master di ITB, Mardiyati memutuskan untuk terbang ke Mainz, Jerman untuk melanjutkan pendidikan di Max-Planck Institut fur polymerforschung – Johanes Gutenberg Universitat. Bagi perempuan 43 tahun tersebut, ada alasan spesifik kenapa Jerman menjadi tujuan menempuh pendidikan.
”Jerman adalah salah satu negara dengan ilmuwan yang paling banyak menerima hadiah nobel. Tentunya, saya berharap dengan sekolah di sana mungkin bisa belajar dari ‘cucu guru’ para pemenang hadiah nobel tersebut,” akunya kepada tim duniadosen.com melalui surel.
Selain itu, Mardiyati menilai Jerman merupakan negara yang serius mengembangkan bidang teknologi. ”Jerman berhasil menciptakan polimer-polimer sintesis berkelas serta merupakan negara penghasil engineer berkualitas. Saya ingin berinteraksi dengan mereka, dan berharap bisa belajar cara berfikir mereka. Ketika sudah merasakan, ternyata tidak mudah,” lanjutnya seraya tertawa.
Perkenalannya dengan ilmu material membuat Mardiyati ingin mempelajari lebih dalam serta mengembangkan bidang ilmu tersebut di Indonesia. Melalui berbagai kegiatan akademik berupa tridharma meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, ia ingin menjadi manfaat untuk orang lain.
Mardiyati ingin memberikan solusi terhadap permasalahan yang timbul di masyarakat. Baru-baru ini, dosen yang sangat mencintai bidang penelitian tersebut menemukan olahan sampah tutup dan botol plastik bekas kemasan air minum yang ditransformasi menjadi filamen. Hasil tersebut dapat digunakan untuk mencetak objek tiga dimensi.
Jumlah sampah plastik yang begitu banyak dan tak bisa didaur ulang membuatnya berpikir apa yang bisa ia lakukan untuk memecahkan masalah tersebut. Jika dibiarkan menumpuk, tentu sampah plastik tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Menurutnya, sampah plastik masih menjadi masalah bersama karena banyak orang menggunakannya.
”Saya sendiri suka membeli air mineral sehingga saya sendiri ikut menyumbangkan sampah plastik di lingkungan. Harus ada upaya yang dilakukan untuk ikut memberikan solusi terhadap sampah plastik ini,” terangnya.
Mardiyati ingin mencari solusi untuk memecahkan masalah sampah tersebut melalui penelitian terkait manufaktur material. Apalagi, saat itu penelitian terkait additive manufacturing atau 3D printing menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Ia menilai momentum tersebut harus dimaksimalkan.
Dalam praktiknya, nyatanya penelitian tersebut cukup memakan waktu. Ia menjelaskan, salah satu tahap yang cukup menguras waktunya adalah pada saat proses pembuatan estrusi, yaitu proses penggunaan mesin yang untuk melelehkan plastik dan membentuk filamen. Ia membuat sendiri mesin estrusi tersebut karena sadar harga belinya di pasaran relatif mahal.
Pada umumnya, filamen yang tersedia di pasaran adalah plastik berjenis ABS dan PLA yang memiliki harga lebih mahal karena merupakan produk impor. Dari situ Mardiyati berpikir untuk mengolah limbah plastik menjadi filamen 3D printing. Menurutnya, penelitiannya menghasilkan produk yang memiliki nilai guna tinggi dan bisa menjawab kebutuhan pasar.
Fungsi utama filamen yang ia hasilkan adalah sebagai bahan dasar untuk mencetak produk plastik. Dalam sistem manufaktur plastik konvensional, ekstrusi atau injeksi molding misalnya bahan dasar pembuatan plastic adalah biji atau pelet plastik. Menurutnya, 3D printing memiliki kegunaan lebih efisien dari hal itu.
”Pada 3D printing, kita dapat mencetak barang tiga dimensi yang kita rancang pada program komputer dan kita cetak dengan menggunakan mesin 3D printing. Fungsi filamen disini adalah sama seperti tinta di cartridge kalau dianalogikan dalam sistem printing biasa,” jelasnya.
Ke depannya, Mardiyati ingin memperluas eskposur produk yang ia hasilkan melalui komersialisasi produk. Ia menerangkan ada beberapa permintaan filamen dari kalangan tertentu, terutama yang berada dalam lingkungan kampus ITB. Ia bersyukur kalangan internal ITB merespons positif hasil temuannya tersebut.
”Saya berencana untuk menjadi produk ini menjadi komersial, sehingga mengurangi ketergantungan kita terhadap filamen 3D yang impor dari luar negeri. Harapannya adalah dapat memberikan solusi terhadap permasalahan sampah plastik dan kita dapat me-manage sampah plastik kita dan mengolahnya menjadi produk lain. Sehingga memperpanjang masa penggunaan material plastik,” harap Mardiyati. (duniadosen.com/az)