Salah satu bentuk atau tindakan yang melanggar kode etik publikasi ilmiah adalah terjadinya kasus plagiarisme. Kasus seperti ini sudah menjadi sorotan sejak lama dan berbagai upaya dilakukan pemerintah maupun perguruan tinggi untuk mengantisipasinya.
Namun, seperti ungkapan “peraturan dibuat untuk dilanggar”, ketatnya peraturan dan sanksi bagi pelaku plagiat berbanding lurus dengan angka kasus. Sampai saat ini masih banyak kasus tindak plagiat mudah ditemukan di lingkungan akademisi. Pelakunya tak hanya mahasiswa, tetapi juga sampai kalangan dosen.
Kira-kira kenapa kasus tindak plagiat ini masih banyak dijumpai padahal sanksi yang diterapkan cukup berat? Selain itu, edukasi mengenai tindak plagiat dan dampaknya juga tidak kalah gencar.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 17 Tahun 2010, plagiarisme adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat) sendiri.
Secara sederhana, plagiat bisa berarti sebuah tindakan mengambil atau menjiplak karya orang lain baik sebagian kecil, sebagian besar, atau bahkan 100% dari karya orang lain untuk diakui sebagai karya diri sendiri.
Meskipun definisinya jelas, ternyata kasus plagiarisme masih cukup jamak dijumpai. Terbaru, dunia pendidikan di Indonesia bahkan menjadi sorotan dunia, mulai dari kasus dugaan pencatutan nama dosen dari Malaysia oleh salah satu dosen di Indonesia.
Belum reda kasus ini, muncul lagi kasus baru yang datang dari dosen Universitas Cambridge. Dimana dalam salah satu cuitannya di X (Twitter) menyebut artikel ilmiahnya diplagiat oleh salah satu dosen dan mahasiswa dari Indonesia.
Tak hanya dua kasus yang masih hangat diperbincangkan publik tersebut, sebelumnya juga banyak kasus plagiarisme terjadi di ranah pendidikan tinggi tanah air. Padahal plagiat adalah sebuah perbuatan tidak beretika yang wajib dijauhi, terutama oleh akademisi.
Selain itu, ketika akademisi terbukti memang melakukan tindakan plagiat, sanksi yang akan diterima tidak main-main. Dikutip melalui LPPM Universitas Pamulang (Unpam), sanksi plagiarisme terbagi menjadi 3 (tiga) kategori dan mengacu pada pasal 12 Permendikbud Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi, yaitu:
Sanksi ringan merupakan sanksi yang diberikan jika mahasiswa atau dosen melakukan tindakan plagiat kategori ringan. Bentuk sanksi ringan tindak plagiarisme antara lain:
Sanksi sedang merupakan kelanjutan dari sanksi ringan atau jika melakukan pelanggaran kategori sedang. Bentuk sanksinya adalah sebagai berikut:
Sanksi berat merupakan kelanjutan dari sanksi sedang atau jika melakukan pelanggaran kategori berat. Bentuk sanksi yang diberikan kepada pelaku dan sudah terbukti adalah sebagai berikut:
Pahami lebih lanjut Sanksi Plagiarisme, Baik Secara Pidana Maupun Perdata
Memahami bahwa edukasi dan sanksi terhadap tindakan plagiat sudah dilakukan, akan tetapi kasus plagiarisme masih terbilang tinggi. Tentu menjadi PR besar yang harus dipecahkan bersama-sama.
Terkait hal ini, tentunya tidak terlepas dari keberadaan sejumlah faktor yang mendorong seorang dosen maupun mahasiswa melakukan tindak plagiat. Dikutip dari berbagai sumber, faktor penyebab di sini ternyata sangat beragam. Berikut faktor pendorong seseorang melakukan plagiarisme:
Dalam panduan anti plagiarisme UGM (2013), satu faktor pemicu tindak plagiarisme adalah minat baca yang rendah. Salah satu kunci untuk bisa menyusun karya tulis adalah memiliki minat baca yang tinggi.
Sebab dengan rajin membaca, seseorang bisa memiliki gambaran bagaimana menjelaskan suatu topik dalam bentuk tulisan. Selain itu, membaca juga efektif mengembangkan penguasaan perbendaharaan kata sehingga memudahkan proses menuangkan ide menjadi bentuk tulisan.
Sayangnya, minat baca masyarakat masih rendah dan hal ini ikut mempengaruhi keterampilan menulis yang rendah juga. Alhasil, muncul godaan untuk melakukan tindak plagiarisme agar karya tulis bisa segera diselesaikan tanpa perlu repot menulis dari nol.
Dalam menyusun karya tulis ilmiah tentu akan familiar dengan pengutipan atau membuat kutipan. Kutipan dicantumkan dalam naskah ilmiah sebagai bukti apa yang disampaikan penulis bukan opini melainkan memiliki dasar kuat. Naskah ilmiah bersumber dari pandangan para ahli di bidangnya, hasil dari sebuah penelitian, dan dasar kuat lainnya sehingga kutipan bisa meningkatkan kualitas dan kredibilitas karya tulis yang sedang disusun.
Namun, dalam penulisan karya ilmiah, penulisan kutipan terikat aturan yang sangat ketat. Salah satunya kewajiban mencantumkan sumber dengan jelas di awal, tengah, maupun akhir kutipan. Sumber kemudian ditulis ulang di dalam daftar pustaka.
Ada kalanya tanpa sengaja penulis lupa mencantumkan sumber di dalam kutipan maupun daftar pustaka, sehingga terindikasi melakukan plagiarisme. Sebab lain, penulis melakukan pengutipan yang masih keliru.
Misalnya tidak mencantumkan kutipan yang memaparkan informasi penting, relevan dengan topik yang sedang dibahas, dan sebagainya. Oleh karena itu, menyusun kutipan juga harus diimbangi dengan pemahaman tata cara mengutip yang benar dan dianjurkan untuk memperbanyak kutipan tidak langsung dibandingkan dengan kutipan langsung.
Tak mau ‘kan kasus plagiarisme menimpa Anda? Pahami cara-cara menghindarinya dengan mengikuti teknik berikut:
Masih dikutip dari panduan anti plagiarisme UGM (2013), faktor lain yang mendorong terjadinya kasus plagiarisme adalah terbentur waktu yang minim. Kondisi ini lebih umum disebut dengan istilah mepet deadline atau tenggat waktu.
Dosen dan mahasiswa tentu akrab dengan deadline dalam menulis karya ilmiah maupun mengurus publikasinya. Contohnya, saat mahasiswa menyusun skripsi maka akan dikejar deadline sesuai tenggat pengumpulan naskah ke pihak akademik.
Contoh dari kalangan dosen, misalnya terdesak deadline pelaporan BKD padahal proses mengurus publikasi ke jurnal internasional masih status proses alias belum selesai. Desakan ini semakin parah ketika naskah belum diselesaikan.
Adanya desakan waktu untuk naskah bisa segera diselesaikan meningkatkan dorongan untuk melakukan tindak plagiarisme sehingga manajemen waktu di tengah teggat mepet dan kesibukan tinggi sangat penting untuk menurunkan godaan plagiarisme.
Sementara itu, faktor lain faktor penyebab plagiarisme berdasarkan Thes dalam Neville (2007) adalah terkait aturan penulisan karya ilmiah yang kaku. Aturan dalam menyusun karya ilmiah memang lebih kompleks dan ketat dibanding karya non ilmiah.
Dalam beberapa karya ilmiah biasanya aturan ini semakin dibuat lebih kaku. Salah satunya ada batasan jumlah kata yang membuat penulis tidak leluasa dalam memberi penjelasan atas suatu topik yang diusung dalam naskah.
Jumlah kata misalnya hanya 1.500 kata membuat penulis berpacu dengan efisiensi kata untuk menjelaskan topik atau memaparkan data. Padahal butuh lebih banyak hal untuk dijelaskan. Kondisi ini mendorong terjadi plagiat untuk memastikan jumlah kata sesuai, tetapi informasi yang ingin disampaikan berhasil dicantumkan.
Faktor kelima yang menjadi pemicu terjadinya kasus plagiarisme adalah kebiasaan. Kebiasaan copy paste asal mencomot karya tulis orang lain untuk melengkapi naskah yang sedang dikerjakan.
Kebiasaan ini bisa terbentuk dengan sendirinya atau karena memang faktor lingkungan yang mendukung. Misalnya sejak duduk di bangku sekolah dan ada tugas menulis, biasanya dilakukan dengan kegiatan mencomot beberapa karya orang lain.
Jika tidak ketahuan, akan memicu rasa candu, apalagi copy paste karya orang lain lebih mudah dibanding menyusun kalimat orisinil hasil buah pikiran sendiri. Kebiasaan ini akan terakumulasi seiring berjalannya waktu dan menjadi kebiasaan abadi.
Bayangkan jika sampai di perguruan tinggi aksi plagiat tidak ketahuan. Kemudian berkarir sebagai dosen maka akan tetap terbiasa melakukannya dengan anggapan tidak ada masalah, tidak ada sanksi, dan dipandang lumrah.
Faktor keenam yang membuat kasus plagiarisme masih marak dijumpai adalah muncul keinginan menggebu untuk meraih prestasi tanpa diimbangi keterampilan atau kemampuan yang memadai.
Misalnya, Anda seorang dosen dan ingin menorehkan prestasi lewat jumlah publikasi ilmiah ke jurnal internasional yang mengesankan. Mencapai prestasi ini tidak mudah dan memakan waktu.
Namun, demi mendapat apresiasi dan di-notice banyak orang, maka muncul godaan melakukan aksi instan, yakni plagiarisme. Keinginan menggebu seperti ini tanpa diimbangi kesadaran untuk bersikap jujur dan menjunjung kode etik membuat plagiarisme dengan mudah dilakukan.
Faktor ketujuh yang bisa memicu kasus plagiarisme tetap eksis adalah adanya fasilitas internet. Harus diakui berkembangnya internet memiliki dua sisi seperti dua sisi pada mata uang, menguntungkan sekaligus merugikan.
Dalam hal menyusun karya tulis, internet membantu mendapatkan referensi dengan mudah dan cepat. Sayangnya sejalan dengan hal tersebut, ketika referensi bisa di-copy paste maka muncul tindak plagiarisme.
Apalagi dengan minimnya pemahaman tentang plagiarisme, dampak yang ditimbulkan, sanksi yang bisa diterima. Maka internet dengan segala fasilitas super mudah dan praktisnya bisa meningkatkan godaan melakukan plagiat.
Faktor berikutnya yang cukup sering memicu kalangan dosen di Indonesia untuk melakukan tindak atau kasus plagiarisme adalah tekanan publikasi ilmiah. Beberapa dosen merasa mendapat tekanan tinggi dari kewajiban publikasi ilmiah.
Baik dari segi jumlah sampai kriteria tinggi yang ditetapkan Dikti. Misalnya harus jurnal internasional bereputasi yang terindeks Scopus. Proses publikasi yang lama, menelan biaya tidak sedikit, dan kesulitan lain meningkatkan tekanan tersebut.
Apalagi jika masih terbebani dengan kewajiban akademik lain, maka akan muncul godaan untuk melakukan pelanggaran etika. Mulai dari pencatutan nama, plagiarisme, dan tindak pelanggaran etika lainnya.
Faktor kesembilan yang sering menyebabkan dosen maupun mahasiswa melakukan tidak plagiarisme adalah memiliki sifat malas. Malas yang tidak tertangani akan memicu kegagalan manajemen waktu.
Misalnya bisa menyelesaikan satu judul artikel ilmiah yang seharusnya 1 bulan kemudian molor menjadi 6 bulan. Mendadak deadline sudah di depan mata dan muncul godaan melakukan plagiat. Kemalasan ini tentu menjadi faktor pemicu plagiat dari internal pelaku yang perlu diatasi dengan baik.
Faktor lain yang bisa menjadi pemicu terjadinya kasus plagiarisme adalah beban kerja, yakni beban kerja yang berlebihan. Dosen rawan mengalami faktor ini karena memang kewajiban akademik sangat banyak. Apalagi jika ada tugas tambahan.
Beban kerja yang berat dan tekanan untuk rapi dalam administrasi serta punya manajemen waktu yang baik. Bisa memicu stres dan memunculkan godaan untuk melakukan pelanggaran etika, termasuk plagiat.
Dampak dari kasus plagiarisme cukup serius, selain merusak nama baik pelaku juga ikut mencoreng nama baik institusi. Jika kasus seperti ini sampai ke ranah internasional, plagiarisme juga akan berdampak pada nama baik bangsa dan negara di mata dunia.
Oleh sebab itu, segala bentuk plagiarisme sebaiknya perlu dihindari. Dalam menghindari plagiarisme saat menyusun karya ilmiah, ada dua cara bisa dilakukan seperti dikutip dari salah satu artikel yang terbit di Jurnal Khatulistiwa Profesional karya Darmawan yang berjudul “Plagiarisme dalam Penulisan Karya Ilmiah”:
Cara pertama untuk menghindari tindak plagiarisme saat menyusun karya ilmiah adalah melakukan pengutipan. Pengutipan dilakukan dengan cara menulis ulang kalimat atau frasa maupun teks secara langsung dengan kosakata yang sama dengan sumber dan diapit oleh tanda petik dua (“…”).
Meskipun bisa copy paste teks dari sumber yang dijadikan referensi penulisan, tetapi membuat kutipan juga ada aturannya. Ada 3 hal penting perlu diperhatikan saat melakukan pengutipan, yaitu:
Cara kedua untuk menghindari kasus plagiarisme di lingkungan akademik adalah dengan melakukan parafrase. Parafrase dilakukan dengan cara menyalin kembali uraian kalimat dengan teks dari sumber, hanya saja narasi tulisan menggunakan gaya penulisan sendiri.
Secara sederhana, parafrase adalah proses menulis ulang suatu teks dari sumber dengan bahasa sendiri sesuai pemahaman yang berhasil didapatkan. Parafrase sama artinya sedang menyusun kutipan tidak langsung.
Meskipun ada penulisan ulang yang narasinya lebih khas tetapi wajib dicantumkan sumber (sitasi) di akhir parafrase. Teknik parafrase efektif mencegah kegiatan copy paste dan menurunkan similarity indeks. Tidak heran cara ini banyak direkomendasikan untuk menghindari plagiarisme.
Pahami lebih dalam Hubungan Similarity Index dan Plagiarisme Saat Cek Turnitin
Dari penjelasan di atas, kasus plagiarisme yang terjadi di dunia pendidikan tinggi tanah air perlu dijadikan perhatian. Sekaligus perlu dijadikan momen untuk lebih berhati-hati dalam menyusun karya ilmiah agar tidak menjadi salah satu pelakunya.
Tindak plagiarisme memang bisa didorong oleh banyak faktor, sehingga siapa saja memiliki potensi menjadi pelaku. Kecuali membangun integritas dan menjunjung tinggi kejujuran sejak awal. Meskipun harus bekerja lebih keras dan banyak bersabar.
Jika memiliki pertanyaan atau ingin sharing pengalaman berkaitan dengan topik kasus plagiarisme dalam artikel ini. Jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share untuk membagikan artikel ini ke orang terdekat Anda. Semoga bermanfaat.
Dalam Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 dijelaskan mengenai karakter dosen untuk pengembangan indikator kinerja dosen.…
Bagi mahasiswa dan dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut pascasarjana gratis di Qatar, Anda…
Bagi siapa saja yang ingin studi S2 maupun S3 di luar negeri, silakan mempertimbangkan program…
Kabar gembira bagi para dosen di Indonesia yang ingin studi lanjut jenjang S3 di luar…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 Tentang Standar Minimum Indikator Kinerja Dosen dan Kriteria Publikasi Ilmiah…
Kepmendikbudristek Nomor 500 Tahun 2024 menjelaskan dan mengatur perihal standar minimum pelaksanaan hibah penelitian dalam…