fbpx

Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

Karina Rima Melati, Seniman yang ‘Tak Sengaja’ Jadi Dosen Advertising

dosen advertising
Prof. Gavin Jones Direktur Asian Graduate Student Fellowship memberikan sertifikat kepada Karina Rima Melati sebagai peserta program. (dok. Karina Rima Melati)

Karina Rima Melati M.Hum., atau biasa disapa Karin, sama sekali tak pernah membayangkan menjadi dosen advertising, yang setiap hari bercuap di depan kelas dan berinteraksi dengan mahasiswa. Baginya, seniman adalah cita-cita yang ideal.

Karina ketika di Hawaii University at Manoa. (dok.Karina Rima Melati)

Apalagi, Karin memiliki keluarga yang juga berlatarbelakang seniman. Semenjak ayahnya meninggal, Karin berkenalan dengan dunia dosen dan pendidikan. Baginya, ini adalah jalan takdir yang harus dia lewati.

Karin merupakan dosen Advertising di Akademi Komunikasi Indonesia (Akindo), Yogyakarta. Karir dosennya dimulai pada 2010 ketika berbincang dengan salah satu teman ayahnya di komunitas pecinta sepeda antik.

Perempuan asli Yogyakarta tersebut diberi tahu bahwa Akindo sedang membutuhkan pengajar bidang periklanan. Karena Karin membutuhkan pekerjaan tetap, maka dia mengambil kesempatan tersebut, dan akhirnya diterima.

‘Tidak Sengaja’ Menjadi Dosen Advertising

Perjalanannya menjadi dosen advertising bisa dibilang merupakan ketidak sengajaan. Setelah menamatkan pendidikan sarjana di jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Karin memiliki rencana untuk membuat agency bersama rekannya karena dia tak ingin hijrah ke Jakarta.

”Zaman itu, tren lulusan DKV itu ke Jakarta untuk bekerja di agency,” ujar anak ke 3 dari 3 bersaudara tersebut.

Tak setuju, orang tuanya meminta Karin untuk melanjutkan pendidikan master terlebih dahulu. Karin menyetujuinya dan memilih melanjutkan pendidikan master bidang Kajian Media di Universitas Sanata Dharma (Sadhar), Yogyakarta. Sambil kuliah, perempuan berkaca mata ini memilih menjadi desainer paruh waktu.

Saat proses penyelesaian S2 tersebut, ayah Karin meninggal dunia. Mau tak mau, Karin tak bisa bergantung hanya dengan pekerjaannya sebagai desainer grafis paruh waktu. Dia harus mencari pekerjaan yang memiliki pendapatan tetap untuk membiayai kuliah.

Karina sebagai pengisi seminar nasional di Pelatihan Media Nasional Histeria 2014, Universitas Gadjah Mada. (dok. Karina Rima Melati)

”Saat itulah saya berkenalan dengan teman ayah saya sampai akhirnya saya melamar di Akindo dan mengajar dosen advertising sampai sekarang. Padahal, saya sama sekali tak memiliki basic mengajar sebelumnya,” terangnya.

Dalam proses perkenalannya dengan dunia dosen, Karin menyadari satu hal penting, bahwa menjadi dosen tidak cukup hanya bermodal pintar semata, namun dosen harus memberi motivasi. Menjadi dosen tak hanya bisa berbicara di depan umum, tapi juga harus bisa dipahami dengan mudah. ”Sejak saat itu, saya merasa mengajar sudah menjadi passion. Ini jalan hidup saya,” aku cucu maestro lukis Widayat ini.

Karin tak menyangka, keterlibatannya dalam dunia dosen yang dimulai dengan coba-coba, pada akhirnya bisa membuatnya menikmati kegiatan tersebut. Ketika menjadi dosen, perempuan kelahiran 30 September 1982 tersebut mengaku hidupnya lebih ‘hidup’.

”Mengajar itu dinamis. Kita nggak hanya paham, tapi juga harus up to date dengan perubahan teknologi informasi yang berkembang. Secara intelektual, juga harus meningkat. Makanya, Tri Dharma Perguruan Tinggi itu, meski berat, saya terpacu untuk terus meningkatkan kualitas diri. Saya merasa ‘hidup’ ketika menjadi dosen,” terang Karin.

Tantangan

Sebenarnya, Karin memiliki ketertarikan tinggi kepada kesenian, salah satunya batik. Bahkan, Karin saat ini sedang mengembangkan sanggar batik bersamanya Ibunya di rumah. Menurutnya, idealismenya dalam bidang kesenian seringkali dibenturkan dengan formalitas dosen di kampus.

Karina sebagai pemateri di FKY 27. (dok. Karina Rima Melati)

”Keduanya adalah hal yang berbeda. Idealisme saya sebagai seniman agak susah ketika bertabrakan dengan pekerjaan dosen yang menuntut rutinitas dan sangat sistematis,” jelasnya.

Apalagi, saat ini Karin dipercaya sebagai Pembantu Ketua II Bidang Keuangan di Akindo. Mau tak mau, Karin harus membatasi geraknya agar kedua pekerjaan tersebut dapat berjalan beriringan dengan baik.

Pun, kaitannya dengan teknologi informasi, dosen juga memiliki tantangan untuk bagaimana memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Bagi Karin, era teknologi bukan hanya untuk anak muda saja, namun dosen juga harus belajar memanfaatkannya.

”Dosen sekarang kalah dengan anak muda. Dosen nggak boleh menutup diri karena menganggap seolah teknologi hanya untuk anak muda. Bahkan, saya belajar banyak dari mahasiswa saya,” ujarnya.

Menurutnya, kelebihan dosen adalah memahami teori dan struktur, sedang anak muda memiliki banyak hal yang bisa dipelajari. Saat ini, tenaga kerja bukan dilihat dari grade pendidikan, tapi dari keahliannya. ”Keahlian bisa dipelajari dimana saja, tidak hanya ranah formal. Kita harus menyesuaikan diri. Itu tantangan yang nyata. Ini sesuatu yang serius, tapi bukan sebagai hal yang perlu ditakuti. Ini peringatan agar kita bisa menjadi dinamis,” lanjut perempuan yang pernah bekerja di Museum H. Widayat tersebut.

Sebagai dosen, seseorang harus memiliki komitmen. Karin menilai bahwa dosen harus memiliki perspektif pengabdian karena beban dosen di Indonesia itu sangat berat. Maka dari itu, dosen harus diberi penghargaan.

”Saat saya menerima sertifikat jabatan fungsional sebagai asisten ahli oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) tingkat V Yogyakarta, saya merasa terharu. Perhatian-perhatian seperti itu sebenarnya diperlukan oleh dosen,” jelasnya.

Karin melanjutkan, penghargaan yang dia maksud bukan hanya soal uang, namun sesederhana sebuah pengakuan kepada dosen. ”Kemudian, aturan juga harus disesuaikan dengan kemampuan dosen,” tegasnya.

Lembaga harus memfasilitasi dosen-dosen yang ingin berkarya. ”Bukan hanya penelitian dan publikasi, tapi juga inovasi seni dan sebagainya. Lembaga harus meningkatkan hal tersebut karena saat ini hal tersebut bukan dilihat sebagai sesuatu yang major,” lanjut Karin.

Gemar Membaca Sejak Kecil

Sejak kecil, Karin adalah sosok yang senang sekali membaca. Tak hanya buku, Karin melahap segala bentuk bacaan seperti koran, komik, dan majalah. ”Ketika baca buku, saya ngerasanya kayak makan. Setelah baca itu rasanya kenyang sekali. Saking suka bacanya, ayah saya memfasilitasinya dengan berlangganan koran,” ungkap perempuan yang pernah memiliki keinginan untuk membuat perpustakaan komik tersebut.

Karin bercerita bahwa saat kecil dia sudah menyukai bidang seni. Dia tak hanya senang membaca, namun juga ‘berkarya’. ”Dulu, saya senang sekali bikin kartun, kemudian saya jual lho. Saya fotokopi, terus saja jual lima puluh rupiah kepada teman-teman sekolah saya waktu SD. Kemudian, saya juga suka membuat komik, kartun, dan sketsa. Saya pernah membuat sketsa untuk kartu lebaran pada usia SD,” ceritanya sambil tertawa.

Baginya, membaca adalah stimulus dari proses penulisan. Karin mulai menerbitkan buku sejak masa-masa awalnya menjadi dosen. “Saya bersyukur saat S1, skripsi saya tentang kajian iklan pada zaman kolonial dimana kajiannya saat itu masih sedikit. Banyak orang tertarik ingin menjadikan buku,” ceritanya.

Paling baru, Karin menulis buku berjudul ‘Zat Warna Alam dan Penggunaannya Untuk Pewarna Batik’ tahun ini.

Menanamkan Nilai Humanis kepada Mahasiswa

Dalam proses pengajaran di kelas, sebagai dosen advertising ia tak ingin terlalu mendominasi kelas. Karin lebih banyak memberikan studi kasus yang bisa menjadi rangsangan untuk berdiskusi dua arah. Bagi Karin, tujuan pengajaran adalah agar mahasiswa paham, bukan hanya mengerti.

dosen advertising
Karina Rima Melati M.Hum., tengah berdiskusi bersama mahasiswanya. (duniadosen.com/taw)

“Ketika dia hanya mengerti, dia hanya tahu teori tanpa bisa ditransformasikan kepada masyarakat. Pemahaman itu ada ketika mahasiswa kritis. Saya sering sekali tidak bisa menjawab ketika ditanya mahasiswa, dan saya nggak malu. Saya bahkan senang kalau mahasiswa bisa berpikir kritis,” terang alumni SMP Negeri 8 Yogyakarta tersebut.

Menurut Karin, penanaman nilai humanis dalam proses pengajaran adalah suatu hal yang penting. Karin mencontohkan saat mengampu mata kuliah Media dan Budaya, dia mencoba untuk selalu menyelipkan nilai kemanusiaan. Karin mendorong mahasiswa untuk tidak hanya berpikir tentang komersil belaka, namun juga harus memikirkan bagaimana paparan media bisa menyasar kebutuhan masyarakat.

Posisinya sebagai dosen advertising, Karin mencoba menyadarkan mahasiswanya akan kegunaan ruang publik itu apa? Karena melihat era sekarang banyak yang terhegemoni oleh pemilik modal. Padahal, hakikat ruang publik adalah ruang yang bebas untuk masyarakat. Di ruang publik, sebagai orang iklan, harus memikirkan kebutuhan mereka untuk dipapar iklan itu seperti apa?, Kebutuhan orang untuk mendapat informasi itu seperti apa?, Kita bisa menawarkan apa?.

”Yak, nilai humanis seperti itu harus ditekankan kepada mahasiswa. Manusia bukan hanya makhluk pasif yang kemudian bisa sembarangan kita kasih informasi. Mereka manusia yang punya pola pikir yang harus kita pahami juga,” tegas Karin.

Pentingnya Berjejaring 

Karin seringkali dikritik, karena ketidaklinearan bidang pendidikan jenjang sarjana bidang desain kreatif dan jenjang masternya di bidang kajian media. Namun, Karin dapat menyangkal bahwa hal tersebut tidak berhubungan. ”Meski tak linear, tapi keduanya masih berada dalam lingkung sosial dan humaniora atau soshum,” terangnya.

(dok. Karina Rima Melati)

Sejak kecil, Karin memang senang berpikir tidak linear. Meski begitu, Karin menilai bahwa ketidaklinearan tersebut membuatnya memiliki pengetahuan lebih banyak.

”Saya nggak menyesal. Di luar negeripun, dosen value-nya ada pada satu ranah saja. Tapi berbagai hal, namun masih punya route-nya. Saya masih berada di ranah yang sama, lah. Saya nggak pernah mau menyesali hal tersebut,” tegasnya.

Bagi Karin, ketidaklinearan pada profesi menjadi dosen tersebut juga memberi hikmah dengan makin banyaknya jejaring yang ia miliki. Baginya jejaring sangat penting, karena dari sanalah bisa belajar lebih banyak dari hal proses berjejaring tersebut. Di antaranya terbuka kesempatan untuk menjadi pembicara sejumlah seminar, melakukan pameran karya, menjadi curator, mengajar dan sebagainya.

”Saya yakin karena saya berinvestasi di pertemanan, makanya saya dapat mencapai hal itu. Semua datang karena saya tidak berpikiran linear,” lanjutnya.

Pun, dari proses berjejaring tersebut, Karin bisa berkeliling dunia. Karin menjadi dosen pertama di Akindo yang mendapat beasiswa ke luar negeri untuk penelitian di National University of Singapore (NUS) pada 2010. Selain itu, Karin juga pernah menghadiri konferensi internasional untuk mempresentasikan papernya di Hawaii, Jepang, dan Thailand.

(dok. Karina Rima Melati)

Perihal pembagian waktu, Karin mengaju pada amanah yang harus ia jalankan. Bagi Karin, amanah memerlukan komitmen total sebagai manusia. ”Setelah mengajar, di rumah saya mengurus desain, pesanan batik, dan segala macem. Terkadang saya kecapekan. Work hard, vacation harder. Ketika punya waktu, ya maksimalkan dengan baik untuk beristirahat,” pungkasnya. (duniadosen.com/az)