Saya masih ingat jelas dengan sepatu butut warna coklat yang berbunyi dangkal itu setiap kali saya dan teman-teman saya duduk-duduk santai di lorong kampus menunggu dosen datang dengan membawa kunci kelas yang akan dipakai untuk memulai perkuliahan.
Kantong kresek hitam selalu berada di pundak beliau, isi dari kantong tersebut tentu saja buku-buku dan materi kuliah yang akan beliau gunakan untuk mengajar.
Setiap kali mata kuliah Pak Sitorus, saat itulah kelas manajemen ekonomi P402 selalu dihadiri mahasiswa dan mahasiswinya tanpa terkecuali. Kelas yang berjumlah 25 orang itu tidak pernah kehilangan satu orangpun ketika mata kuliah Pak Sitorus dimulai.
Setiap kali beliau lewat, semua orang pasti menyapa beliau dengan senyumannya yang menampirkan gigi ompong di bagian kiri wajahnya.
Rambut Pak Sitorus sudah sepenuhnya putih, bajunya selalu kebesaraan entah karena badannya yang terlalu kurus atau memang ukuran baju beliau selalu lebih besar. Saya ingat ketika pertama kali bertemu dengan Pak Sitorus, tidak pernah terbesit di benak saya bahwa bahwa Pak Sitorus adalah dosen pengampu salah satu mata kuliah yang saya ambil.
Saat itu saya masih baru sekali menjadi seorang mahasiswi dan selalu berpikir bahwa dosen adalah profesi yang jauh lebih bermartabat dari seorang guru. Itu berarti penampilan seorang dosen juga haruslah lebih bermartabat.
Pertama mendapatkan kelas Pak Sitorus, beliau mengambil salah satu kursi dan duduk di depan kelas tepat di tengah-tengah. Kemudian beliau meminta kami untuk mengambil posisi strategis dimana pandangan mata kami terhadap beliau tidak terhalangi sehelai rambutpun.
Segera saja kami sambil tertawa dan keheranan menarik kursi kami dan mencari posisi agar pandangan kami tidak terhalangi. Ada yang duduk tepat disebelah beliau, ada yang menyamping dan beberapa tetap pada posisinya karena merasa tidak terhalangi.
“Ini namanya strategi marketing. Menggerakkan pasar mengikuti tren yang kamu ciptakan.” Katanya singkat. Kami semua terdiam, beberapa diantara kami tersenyum dan menyadari bahwa kelas bersama Pak Sitorus akan sangat menyenangkan.
Dugaan tersebut ternyata benar sepenuhnya, saya sendiripun sampai sekarang. Belum pernah bolos di kelas Pak Sitorus. Padahal biasanya sebagai mahasiswa, bisa dikatakan membolos adalah kewajiban di setiap mata kuliah.
Semakin mengenal Pak Sitorus, semakin saya menyadari bahwa beliau adalah sosok dosen ideal yang sederhana dan menghapuskan pandangan awal saya bahwa dosen adalah sosok yang sulit didekati. Suatu kali, ketika sedang duduk di kursi lobi saya berkesempatan untuk duduk bersama dengan Pak Sitorus yang sedang sibuk dengan tumpukan buku-bukunya.
Banyak cerita yang saya dengar tentang beliau, seperti dulu jauh sebelum menjadi mahasiswa, Pak Sitorus menjabat sebagai Pembantu Ketua I. Karena kampus tempat saya kuliah adalah kampus dengan akreditasi B, maka jabatan tertinggi di kampus saya adalah Ketua yang dibantu oleh Pembantu Ketua I sampai III.
Dari yang saya dengar, beliau memprotes tekanan dari kampus tempat saya menuntut ilmu yang mengharuskan dosen-dosennya menghasilkan jurnal penelitian ilmiah bertaraf internasional.
Protes yang dilakukan Pak Sitorus kala itu tidaklah semata hanya dilandasi ego dan panik akibat tuntutan institusi, beliau melakukan protes akibat tidak setaranya antara sarana dan prasarana kampus dengan tekanan yang dosen pengampu dapatkan.
Selain itu, kurangnya pemerintah dalam memberikan perhatian dan dukungan yang diperlukan bagi perguruan tinggi untuk menaikkan akreditasinya membuat Pak Sitorus dan rekan dosennya menjadi malas dan ogah-ogahan.
Selama saya duduk di bangku lobi kampus saya dan telah menempuh semester keempat, saya tahu bahwa kampus saya telah berusaha mendapatkan akreditasi A sepanjang satu tahun kebelakang.
Lambatnya proses tersebut juga membuat saya berpikir bahwa malasnya dosen di kampus saya untuk membuat penelitian adalah salah satu faktor penyebab. Ironisnya, sebagai mahasiswi kala itu sayapun mengakui bahwa sarana dan prasarana di kampus saya bisa dikatakan belum mumpuni untuk mendapatkan akreditasi tersebut.
Jumlah dosen dengan tinggkat pendidikan Strata III (S-3) kala itu dapat dihitung dengan jari dan jumlah total dosen keseluruhan kurang dari sepuluh orang untuk satu prodi. Dari jumlah dosen saja saya memaklumi mengapa kampus saya kesulitan untuk mendapatkan pengakuan akreditasi yang berharga tersebut.
Selain itu kebutuhan akan referensi materi kuliah dari buku-buku yang saya butuhkan dari perpustakaan masih sangat sulit untuk di dapatkan, terkadang sangat harus saya pergi ke perpustakaan universitas negeri untuk mendapatkan bahan materi kuliah lainnya. Wajar saja jika Pak Sitorus berpikir demikian.
“Kenapa selalu pakai kantong kresek pak?”
Baca juga: Kamu Harus Tahu Berbagai Macam Tipe Dosen di Kampusmu!
Siang itu saya mencoba memecah keheningan di lobby yang hanya ada kami berdua dan resepsionis kampus yang duduk cukup jauh dari kami. Pak Sitorus dengan santai menjawab, “Branding.”
Saya tertawa begitu juga dengan beliau, saya jadi mengingat salah di salah satu kelas kami beliau menceritakan mimpinya sebagai seorang dosen dan menjadi seorang wirausaha kecil-kecilan.
Menjadi dosen selama dua puluh tahun lebih ternyata belum juga menghasilkan modal yang cukup untuk sekedar membuka usaha kecil saja. ‘Dosen juga pahlawan tanpa tanda jasa lho.’ Katanya kala itu.
Gaji dosen di Indonesia sendiri yang saya ketahui sebenarnya tidak jauh berbeda dari gaji PNS setara, belum lagi tunjangan bagi dosen yang dibedakan antara dosen yang berstatus PNS, memiliki sertifikasi dan tanpa setifikasi.
Mengingat jumlah dosen tanpa sertifikasi yang rutin dilaporkan oleh forlap dikti masih terus berada diatas 50% dan belum menunjukkan penurunan signifikan. Siapapun pastilah bisa menebak bahwa kebanyakan dari 50% tersebut adalah dosen dari perguruan tinggi swasta.
Pak Sitorus pernah menyinggung bahwa menjadi dosen di perguruan tinggi swasta itu dianggap lebih baik daripada menjadi dosen di perguruan tinggi negeri. Padahal semua itu tergantung dimana dosen tersebut mengajar. “Dosen swasta juga terkadang mencari proyek.”, saya ingat beliau melontarkan kata-kata tersebut di kelas kami.
Memang tidak separah di perguruan tinggi negeri seperti yang saya dengar dari teman-teman saya kebanyakan yang kuliah disana. Di perguruan tinggi negeri, sudah merupakan hal wajar jika seorang dosen mendadak berubah menjadi seorang ‘siluman’, biasanya mereka akan muncul dan membuka kelas sekali dan kemudian kelas ditiadakan pada minggu-minggu berikutnya.
Mengerjakan proyek sudah pasti. Hal tersebut sudah dianggap sebagai suatu kewajaran bagi teman-teman saya yang kuliah di perguruan tinggi negeri.
Jika dosen itu dianggap fasilitas kampus, maka seharusnya pemerintah memperhatikan dan merawat fasilitas tersebut. Istilahnya, perguruan tinggi mana yang bisa bertahan tanpa kehadiran dosen-dosen mereka.
Tuntutan akan kewajiban seorang dosen untuk melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat harusnya diimbangi dengan ‘kasih sayang’ dari pemerintah itu sendiri. Ironis sekali jika dalam sebuah perguruan tinggi mahasiswa memaklumi keberadaan dosen siluman dimana-mana karena lebih disibukkan dengan proyek sampingan mereka.
Dalam kenyataannya, pemeritah memang sudah memfasilitasi banyak dosen ‘berbagai macam’ hal. Seperti beasiswa bagi dosen yang ingin melanjutkan kuliah atau melakukan penelitian misalnya. Namun Pak Sitorus pernah menyampaikan bahwa regulasi yang menghadang ternyata bagai kenyataan pahit.
Sehingga di kampus saya sendiri saat itu, hanya segelintir saja dosen yang beruntung mendapatkan fasilitas tersebut. Sisanya mungkin tetap mengajar dan menunggu terwujudnya janji pemerintah atau institusi untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar di negeri ini. Termasuk Pak Sitorus sendiri.
“Bapak suka menjadi dosen, Pak.” tanya saya basa-basi namun tidak mampu menutupi bahwa saya sesungguhnya penasaran dengan jawaban beliau. Beliau kemudian mengangkat tas kreseknya dari meja dan mengambil sebuah kertas yang di susun rapi.
Saya tidak membaca jelas namun hanya judulnya saja yang terbaca, kala itu saya merasa bodoh sekali telah bertanya demikian kepada beliau.
‘FORMULIR KESEDIAAN MELAKUKAN PENELITIAN’ kira-kira begitu tulisan di kertas tersebut, Tentu saja beliau menyukai pekerjaannya. Saya rasa kegilaan terbesar beliau adalah menyukai segala kesulitan dan tantangan yang beliau dapatkan selama menjadi seorang dosen. Mungkin hal tersebut termasuk menjadi seorang dosen yang dipandang sebelah mata oleh mahasiswanya.