Terbitkan buku lebih cepat HANYA 1 BULAN? Dapatkan fasilitas VIP ini secara GRATIS! Klik di sini

#JanganJadiDosen, Ikuti atau Abaikan? Ini Penjelasan Dosen Bina Nusantara University

jangan jadi dosen

Tahun 2024 lalu, profesi dosen di Indonesia santer menjadi bahan perbincangan warganet. Apalagi setelah #JanganJadiDosen menjadi trending topic di media sosial X (Twitter) pada Maret 2024. Sampai sekarang, profesi dosen dianggap menjadi profesi yang tidak menjanjikan masa depan. 

Terkait hal ini, Dunia Dosen melakukan perbincangan dengan salah satu dosen di PTS, yakni Dr. Ani Wijayanti, M.M., M.MPar.,CHE yang aktif mengajar di Universitas BSI (Bina Sarana Informatika). Dalam perbincangan di segmen Titik TEMU tersebut, Dr. Ani membahas seluk beluk kemunculan #JanganJadiDosen dan mengungkap sejumlah solusinya. 

Dalam pembukaan, dosen Universitas BSI kelahiran Sleman, Yogyakarta tersebut menjelaskan bahwa pada beberapa kondisi hastag ini tepat, yakni bagi para dosen yang memang tidak memiliki panggilan atau bisa disebut passion untuk menjadi dosen. 

“Yang namanya pekerjaan (profesi), itu adalah sebuah panggilan. Manakala kita panggilannya tidak menjadi dosen, itu emang tepat #JanganJadiDosen,” kata Dr. Ani. 

Mendapat panggilan menjadi dosen dianggap penting untuk meniti karir di profesi pendidik satu ini. Alasannya beragam, salah satunya karena beban kerja yang berat. Seseorang akan cenderung mudah menyerah menjadi dosen jika sudah menjalankan kewajiban akademik. 

Oleh sebab itu, penting sekali untuk memilih profesi dosen atas keinginan dan kesadaran sendiri. Sehingga mencintai profesi tersebut dan menikmati prosesnya. Sebab memang, meskipun berhadapan dengan beban kerja yang tinggi akan tetapi tidak sebanding dengan kesejahteraan yang diraih para dosen. 

“Dosen bebannya berat, tidak sebanding dengan yang mereka terima. Dalam arti, kesejahteraannya belum sesuai harapan,” terangnya. 

Latar Belakang Kemunculan #JanganJadiDosen 

Membahas mengenai asal-usul dari #JanganJadiDosen, Dr. Ani menuturkan bisa menemui banyak faktor. Artinya, hastag satu ini muncul tidak hanya karena satu atau dua alasan saja. Melainkan memang ada cukup banyak alasan. 

Salah satu faktor yang memicu hastag ini muncul, menurutnya adalah karena pada beban kerja dosen yang tinggi. Tetapi hasil atau penghasilan yang didapatkan dosen tidak sesuai dengan beban kerja tersebut. Sehingga banyak dosen memiliki masalah dengan kesejahteraannya. 

“Munculnya #JanganJadiDosen tentunya dilatarbelakangi oleh banyak aspek. Salah satunya adalah beban terlalu berat, tetapi tidak mendapat hasil yang sesuai,” ujarnya. 

Meskipun begitu, dosen dari Universitas BSI ini mengaku semua masalah pada profesi dosen ada solusinya. Setiap dosen pada dasarnya memiliki kemampuan dan wewenang untuk mencari solusi tersebut secara mandiri. Sehingga para dosen disebut perlu menentukan sikap dengan bijak atas kondisi tersebut. 

“Semua kondisi itu kan ada solusinya. Artinya, bagaimana kita sebagai dosen menyikapi,” terangnya. 

Solusi Hidup Sejahtera sebagai Dosen di Indonesia 

Lebih lanjut, Dr. Ani juga berbagi sejumlah kiat dan strategi untuk menghindari dampak buruk dari #JanganJadiDosen. Pertama, adalah untuk para dosen yang sudah merasakan kerasnya dunia akademik di Indonesia. 

Solusi untuk menghindari perasaan tidak ikhlas menjalankan kewajiban akademik sebagai dosen adalah dari dosen itu sendiri. Salah satu kuncinya dijelaskan Dr. Ani adalah mengubah mindset. 

Mengubah pola pikir bahwa beban kerja dosen terlalu berat dialihkan sebagai sebuah tantangan atau challenge. Hal ini akan menumbuhkan motivasi bagi para dosen untuk mencari solusi agar kinerjanya mendapat timbal balik yang lebih layak. Baik dari institusi yang menaungi maupun dari pemerintah. 

“Saya tadi sampaikan, beban kinerja dosen memang benar-benar dianggap sebagai beban tetapi tidak menjadi challenge,” ungkapnya. 

Dr. Ani juga menjelaskan bahwa dibalik beban kerja dosen yang tinggi dan gaji yang masih terbilang minim. Semua dosen di Indonesia mendapat banyak kesempatan emas yang tidak dimiliki oleh profesi lain. 

Selama 16 tahun berkarir di dunia akademik Dr. Ani merasakan betul berbagai kesempatan tersebut. Mulai dari kesempatan untuk mengembangkan diri, baik lewat program pelatihan sampai studi lanjut dengan beasiswa. Bahkan ada banyak beasiswa ditargetkan untuk para dosen di Indonesia. Sehingga akses para dosen lebih tinggi ke program ini. 

“Selama saya menjadi dosen selama 16 tahun, saya mendapat banyak kesempatan,” ungkapnya. 

Dr. Ani sendiri mendapat beasiswa Fulbright dari pemerintah Amerika Serikat untuk studi pascasarjana. Lewat program beasiswa yang bisa diakses dengan mudah oleh para dosen. Maka kesempatan untuk mengupgrade diri, kompetensi, ilmu pengetahuan, sampai memperluas jaringan. Terbuka luas untuk dosen di Indonesia. 

Solusi kedua yang dipaparkan Dr. Ani adalah para dosen tidak hanya fokus menjalankan kewajiban akademik. Melainkan juga terus mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Baik lewat pelatihan, studi lanjut, program pertukaran mahasiswa (Exchange Programs), sertifikasi dosen, dan lain sebagainya. 

“Sebenarnya, kita sebagai dosen bisa menciptakan kesejahteraan kita sendiri. Artinya, dosen punya peluang yang besar, dengan kompetensi kita. Kembali lagi, maka kita sebagai dosen harus benar-benar kompeten. Kompetensi kita harus benar-benar diupgrade terus,” jelasnya. 

Sebab, para dosen di Indonesia disebut memiliki wewenang dan kemampuan untuk mensejahterakan dirinya sendiri. Yakni dengan mengembangkan diri dan kompetensi,. Jika sudah, maka berbagai peluang meraih sumber pemasukan tinggi akan terbuka dengan sendirinya. 

“Kalau kompetensi kita tidak meningkat, itu sebenarnya linier dengan penghasilan kita (sebagai dosen). Karena pada saat saya menjadi dosen, tugas saya tidak hanya mendidik mahasiswa,” ujar Dr. Ani. 

“Tapi saya (wajib) meningkatkan kompetensi saya, dan secara tidak langsung itu mendapatkan banyak akses. Saya bisa menjadi tenaga ahli, saya bisa menjadi narasumber, juri, asesor. Tentunya itu akan menambah income tidak hanya (dari) mengajar,” imbuhnya. 

Dr. Ani kemudian juga menjelaskan berbagai kesempatan emas untuk meningkatkan kesejahteraan dosen. Mulai dari kesempatan mengakses program hibah penelitian dan juga berbagai beasiswa. Semua program ini diharapkan bisa dimanfaatkan dan diperjuangkan para dosen. 

Sejalan dengan semua program tersebut, maka kompetensi dosen akan bekembang. Peluang untuk menjadi tenaga ahli, menjadi juri, narasumber, dan sebagainya akan terbuka. Dimana itu semua adalah sumber pemasukan tambahan bagi dosen. Jumlahnya bahkan bisa sangat lumayan, dosen pun bisa lebih sejahtera. 

“Kita bisa mengakses dana hibah untuk penelitian, kita bisa dana pendidikan–beasiswa. Bahkan kita kalau kompetensi memang bagus kita bisa menjadi tenaga ahli, kita bisa menjadi juri, dan seterusnya. Jadi, kesejahteraan dosen memang sedikit banyak tergantung dari dosen itu sendiri. Walaupun institusi tempat dosen bernaung itu memang sangat berperan,” terannya. 

Solusi ketiga yang disampaikan Dr. Ani untuk para dosen bisa lebih sejahtera adalah dengan fokus menjalankan tugas dan kewajiban sebagai dosen, yakni menjalankan isi tri dharma perguruan tinggi. 

Melalui langkah ini, dosen tersebut bisa segera meningkatkan jenjang jabatan fungsional yang dipangku. Sehingga bisa menerima tunjangan tertentu yang dikhususkan untuk jenjang jabatan fungsional tertentu. Misalnya tunjangan kehormatan, jika dosen bisa menjadi Guru Besar. 

Tak hanya itu, para dosen juga bisa segera memperjuangkan sertifikasi dosen. Sehingga bisa mendapat tunjangan sertifikasi agar gaji yang diterima dosen bisa naik dua kali lipat dibanding sebelum bersertifikasi. 

“Dosen yang aktif, kreatif, jabatan fungsionalnya akan naik. Itu juga (sumber) income lagi. Kemudian mendapatkan sertifikasi dosen, itu juga menjadi income. Jadi, kalau dosen kometesinya bagus kemudian juga aktif, tahu persis tugas dan kewajiban dosen. Saya yakin, kesejahteraannya juga akan bagus,” ungkapnya. 

Tak hanya itu, solusi lain yang disebutkan Dr. Ani juga berkaitan dengan studi lanjut. Seperti yang diketahui, menjadi dosen di Indonesia minimal harus lulusan Magister atau S2. Namun, selanjutnya para dosen pemula ini akan dimotivasi untuk melakukan studi lanjut ke jenjang S3. 

Memutuskan untuk studi lanjut, menurut Dr. Ani juga menjadi solusi agar dosen lebih sejahtera. Pasalnya, dengan kualifikasi akademik tinggi maka dosen menjadi pakar di suatu bidang keilmuan. Peluang diundang sebagai tenaga ahli, narasumber, kolaborasi dalam penelitian dan publikasi ilmiah akan semakin tinggi. 

Selain itu, dengan memiliki kualifikasi akademik Doktor, seorang dosen di Indonesia mendapat lebih banyak kesempatan emas. Salah satunya mengajukan program hibah, terutama hibah penelitian dan pengabdian dari Kemendiktisaintek yang dikelola DRTPM. 

“Dosen-dosen yang S2 juga didorong untuk S3. Kalau S3 kan nanti ada kenaikan tentunya. Kemudian dari sisi kompetensi akan naik. Beberapa hibah disyaratkan minimal pendidikan S3. Semakin tingkat pendidikan (dosen) tinggi semakin bisa mengakses banyak dana-dana hibah, program, skema dari pemerintah yang tentunya pasti akan berdampak pada kesejahteraan,” jelasnya. 

Kesejahteraan dosen di Indonesia memang pada akhirnya ada di tangan dosen itu sendiri. Sebab, keinginan dosen untuk mengembangkan kompetensi adalah dari diri sendiri. Begitu juga dengan pengembangan karir akademik, yang hanya bisa diperjuangkan oleh dosen tersebut. 

Perjuangan para dosen akan menjadi berlipat bagi dosen di PTS. Terutama di PTS baru atau yang masih berskala kecil. Minimnya jumlah mahasiswa membuat pemasukan institusi terbatas. Sehingga kesulitan memberi gaji yang besar pada dosen di bawah naungannya. 

Menyadari hal tersebut, para dosen di PTS diharapkan bisa terus berjuang di profesinya. Yakni dengan mengembangkan kompetensi dan mengembangkan jenjang karir akademik. Maka perlahan kesejahteraan akan membaik. 

Solusi Ketika Dosen Tidak Mendapat Dukungan dari Institusi 

Ada kalanya, dosen merasa tidak mendapat dukungan dari institusi atau perguruan tinggi tempatnya bernaung. Padahal, untuk dosen bisa mengembangkan kompetensi dan kesejahteraannya membaik. Dukungan institusi sangat diperlukan. 

Terkait persoalan ini, Dr. Ani menjelaskan bahwa memang setiap perguruan tinggi memiliki kondisi berbeda-beda. Khususnya PTS (Perguruan Tinggi Swasta), dimana harus mandiri dalam mengelola keuangan dan aspek operasional lainnya. 

PTS cenderung sulit untuk stabil, terutama PTS yang terbilang baru dan masih kesulitan mendapat mahasiswa. Kondisi seperti ini membuat PTS tersebut kurang bisa mendukung dosen. Bukan karena tidak mau, melainkan memang tidak bisa. 

“Tidak semua perguruan tinggi itu kondisinya stabil. Kesehatan pengelolaan tidak semua perguruan tinggi, pengelolaannya sehat,” terang Dr. Ani. 

konversi kti

Dr. Ani juga menjelaskan bahwa pemerintah menaruh perhatian khusus pada persoalan ini. Sebab kesehatan perguruan tinggi akan mempengaruhi kualitas dosen dan lulusannya. Termasuk kesejahteraan dosen di bawah naungannya. Maka diterapkan akreditasi di perguruan tinggi dan sifatnya wajib. 

Lewat proses akreditasi inilah, pemerintah meminimalkan adanya perguruan tinggi yang tidak sehat. Sehingga mampu memberi dukungan kepada dosen dan mahasiswa di bawah naungannya untuk berkembang. 

“Makanya pemerintah juga sangat konsen dengan hal ini. Sehingga ada penjaminan mutu berupa akreditasi. Itu kan tujuannya mengawal perguruan tinggi memiliki tata kelola sehat, bagus, karena pasti berdampak pada dosennya,” jelasnya. 

Selain itu, dosen sendiri dijelaskan juga memiliki hak untuk pindah ke perguruan tinggi lain. Ketika merasa satu perguruan tinggi tidak memberi dukungan untuk berkembang. Maka dosen bisa pindah mengabdi di perguruan tinggi yang dirasa leih baik. 

“Namun, manakala kita berada di institusi yang belum sehat, karena satu dan lain hal. Maka dosen itu punya hak kok untuk pindah. Artinya, kalau dia merasa ‘saya tidak bisa berkembang di institusi ini. Saya ingin pindah ke institusi lain yang dirasa akan lebih berkembang’,” terang Dr. Ani. 

Bahkan, pemerintah juga memberi dukungan terhadap keputusan dosen untuk pindah ke perguruan tinggi yang lebih sehat. Salah satunya dengan menyusun peraturan pindah homebase yang lebih mudah syarat dan ringkas prosedurnya. 

Para dosen pun bisa mempelajari peraturan atau prosedur untuk pindah homebase. Sehingga prosesnya sesuai ketentuan, agar ketika masuk ke homebase yang baru tidak perlu meniti karir lagi dari nol. Melainkan melanjutkan apa yang sudah dilakukan di perguruan tinggi sebelumnya. 

“Dengan adanya peraturan baru ini, lebih memudahkan. Tentunya juga pengawasan dan penjaminan mutu yang baik. Jadi, kalau merasa di perguruan tinggi tidak bisa berkembang. Dosen berhak untuk memilih dan pemerintah juga mendukung,” ungkap Dr. Ani. 

Oleh sebab itu, para dosen harus bisa menentukan kapan bertahan di satu perguruan tinggi. Sekaligus kapan harus memutuskan untuk mengajukan pindah homebase. Sehingga bisa masuk ke perguruan tinggi yang lebih sehat dan memberi dukungan optimal untuk dosen bisa berkembang. 

#JanganJadiDosen Bukan Momok 

Meskipun dengan trendingnya #JanganJadiDosen bisa memunculkan kemungkinan semakin sepi peminat profesi dosen. Dr. Ani tetap berharap kemungkinan tersebut tidak terjadi. 

Sebab seperti penjelasan sebelumnya, kesejahteraan dosen memang ada pengaruh dari institusi dan pemerintah. Namun, pengaruh tersebut tidak signifikan. Sebab penentu utama kesejahteraan dosen adalah dosen itu sendiri. 

Dosen yang mencintai profesinya di dunia akademik dan menjadikan beban kerja tinggi sebagai tantangan alih-alih batu sandungan. Maka akan termotivasi untuk terus berusaha agar kesejahteraannya naik. Baik dengan studi lanjut, lolos serdos, naik jabatan fungsional, dan mencari sumber pemasukan tambahan sesuai kepakarannya. 

Dr. Ani juga menghimbau untuk tidak menjadikan #JanganJadiDosen sebagai momok. Sebab, Indonesia dan negara lain di dunia tetap membutuhkan profesi dosen. Dosen yang sekarang aktif menjalankan tri dharma pada masanya akan pensiun dan butuh penerus dari kalangan anak muda bangsa. 

“Kami ini, lama-kelamaan kan akan habis masa kerja sebagai dosen. Harus diganti yang baru-baru, yang masih muda-muda. Kemudian, alau #JanganJadiDosen ini menjadi momok, nanti nggak ada yang jadi dosen, pendidik,” jelas Dr. Ani. 

“Ya walaupun sekarang banyak yang belajar menggunakan berbagai resource (sumber daya). Dosen banyak peran yang terganti oleh media lain, tetapi dosen masih sangat diperlukan. Untuk kedepan, harapannya masih banyak yang berminat menjadi dosen,” sambungnya. 

Menjadi dosen memang idealnya merupakan pilihan dan passion pribadi masing-masing sehingga harus siap menghadapi suka dan duka dari profesi ini. Kuncinya adalah menekuni profesi ini karena memang terpanggil untuk menjadi dosen. 

Selebihnya, para dosen bisa memperjuangkan kesejahteraannya sesuai dengan apa yang disampaikan Dr. Ani kepada tim Dunia Dosen sehingga kesejahteraan akan ikut naik sejalan dengan upaya dosen tersebut mengembangkan kompetensi dan jenjang jabatan fungsionalnya.

Tonton dalam format video: