Para pemilik profesi dosen di Indonesia tentu memahami bahwa Guru Besar dengan gelar Profesor yang didapatkan adalah puncak karir akademik. Semua dosen dipastikan memiliki mimpi dan cita-cita menjadi Guru Besar.
Apalagi dengan meraih jabatan fungsional tersebut, seorang dosen bisa mendapatkan penghormatan setinggi-tingginya dari rekan sejawat dan publik luas. Ditambah dengan adanya tambahan penghasilan melalui tunjangan-tunjangan, misalnya tunjangan kehormatan.
Sayangnya, menjadi Guru Besar bukan persoalan mudah. Banyak dosen tertatih-tatih dan kadang harus rela pensiun dulu sebelum meraih jabfung tersebut. Namun, isu panas mencuat di dunia pendidikan tinggi Indonesia. Yakni adanya jalan pintas menjadi Guru Besar.
Isu Jalan Pintas Menjadi Guru Besar di Indonesia
Dikutip melalui website resmi Tempo, dijelaskan mengenai hasil investigasi tim Majalah Tempo Edisi Skandal Guru Besar Abal-Abal 8-14 Juli 2024. Yakni terhadap penelusuran gelar kehormatan Profesor yang disandang sejumlah pejabat publik. Hasil dari investigasi tersebut ditemukan daftar nama pejabat publik yang kedapatan mendapatkan gelar Profesor secara janggal. Daftar ini diisi oleh politikus hingga jaksa.
Hasil investigas ini lantas menjadi perbincangan di media sosial, salah satunya media X (Twitter). Salah satu akun X @ardisatriawan membagikan artikel berita dari website Tempo yang kemudian mengundang sejumlah komentar dari warganet. Hal ini lantas memunculkan isu keberadaan jalan pintas menjadi Guru Besar di perguruan tinggi Indonesia.
Jalan pintas yang dimaksud disini salah satunya adalah memakai cara-cara yang tidak etis dan melanggar integritas untuk segera diangkat sebagai Guru Besar. Misalnya, seorang dosen wajib memiliki riwayat publikasi artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi yang terindeks Scopus untuk naik jabfung ke jenjang Guru Besar.
Kemudian sebagai jalan pintas memilih melakukan plagiarisme pada artikel ilmiah tersebut sampai memilih jurnal predator untuk publikasinya. Cara-cara yang melanggar etika penelitian dan publikasi ilmiah ini bisa menjadi akselerasi untuk memenuhi syarat naik jabfung Guru Besar.
Namun, apakah semudah itu? Aktualnya, ada proses penilaian asesor dan verifikasi atau validasi dari sejumlah pihak terkait riwayat publikasi ilmiah calon Guru Besar. Maka secara sistem, aturan ketat dan berlapis-lapis pengecekan dimulai dari Tim PAK kampus, pimpinan perguruan tinggi, sampai pihak pemerintah melalui Kemendikbudristek. Secara logika, isu jalan pintas menjadi Guru Besar adalah semu atau fiktif.
Namun, kenapa hasil investigasi Majalah Tempo menampilkan data sebaliknya? Hal ini lantas menyulut isu panas berikutnya, yakni ada keterlibatan sejumlah pihak dalam memuluskan jalan calon Guru Besar “kopong” untuk meraih mimpi akademiknya tersebut.
Hal ini tentu sangat mungkin terjadi, apalagi di era Orde Lama kasus serupa sempat tercatat dalam sejarah pendidikan tinggi Indonesia. Bahkan pelaku yang memiliki gelar Profesor “kopong” sukses berhasil mendirikan perguruan tinggi pada masanya dan menipu 7.000 orang mahasiswa. Kasus ini seperti dikutip dari salah satu konten yang diunggah di kanal YouTube Tempodotco.
Kasus tersebut terjadi di tahun 1985, dimana Kejaksaan Agung menahan seorang pria bernama Profesor Djokosutomo M.A., Pria ini diketahui merupakan pendiri dari Universitas Madjapahit di Kebayoran Lama, Jakarta. Pria ini kemudian menjadi Guru Besar di universitas tersebut dan berujung pemeriksaan jaksa.
Hasil pemeriksaan jakwa membuatnya mengaku hanya lulusan Sekolah Rakyat (SR) atau yang saat ini setara dengan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Aksinya mencomot gelar Profesor (Guru Besar) berhasil menipu 7.000 mahasiswa Universitas Madjapahit. Kasus ini lantas tidak hanya merugikan mahasiswa tersebut, melainkan juga mencoreng nama baik pendidikan tinggi di Indonesia.
Penyebab Munculnya Jalur Jalan Pintas Menjadi Guru Besar
Isu keberadaan jalan pintas menjadi Guru Besar di pendidikan tinggi Indonesia tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab hadirnya Guru Besar yang bisa dengan mudah meraih jabfung ini bisa menurunkan kredibilitas dosen tersebut dan institusi yang menaunginya. Dampaknya juga bisa menurunkan kredibilitas pendidikan tinggi di tanah air.
Keberadaan Guru Besar dari jalur jalan pintas tersebut memunculkan berbagai pertanyaan. Salah satunya mengenai penyebab dari munculnya jalur jalan pintas. Hasil wawancara dengan anggota Aliansi Akademisi Indonesia Peduli Integritas Akademik, yakni Gumilang Aryo Sahadewo oleh tim Tempo memberikan beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab.
Pertama, adalah dari segi kebijakan atau aturan pemerintah terkait syarat kenaikan jabfung menuju Guru Besar yang memang fokus pada kuantitas. Syarat kuantitas ini seperti syarat untuk memiliki angka kredit minimal 850 poin agar bisa mengajukan diri sebagai Guru Besar. Disusul dengan riwayat publikasi minimal 1 artikel pada jurnal internasional bereputasi terindeks Scopus maupun World of Science (WoS).
Kebijakan yang fokus pada kuantitas ini disebut rentan mengalami reduksi dengan aksi kecurangan di lapangan oleh dosen yang tidak memiliki integritas. Idealnya, aturan terkait syarat juga fokus pada kualitas. Misalnya cara dosen tersebut memperoleh KUM yang memenuhi syarat naik jabfung. cara publikasi ke jurnal internasional bereputasi, dll.
“Masalahnya, tidak dipersoalkan bagaimana cara memperoleh jumlah kum dan artikel jurnal. Kondisi ini sangat mudah dimanipulasi sebagaimana diberitakan media secara luas,” kata Gumilang Aryo Sahadewo kepada tim Tempo.
Sampai PO PAK 2024 dirilis, aturan terkait syarat kenaikan jabfung Guru Besar diketahui masih fokus pada kuantitas bukan kualitas. Dalam PO PAK terbaru tersebut dijelaskan ada 3 jenis syarat untuk dosen bisa naik jabfung Guru Besar. Mencakup syarat data, syarat khusus, dan syarat khusus tambahan untuk kenaikan dari Lektor Kepala ke Guru Besar.
Syarat data mencakup jabatan akademik terakhir Lektor Kepala, 10 tahun menjadi Dosen sejak dalam jabatan akademik pertama (Asisten Ahli/Lektor), mempunyai Sertifikasi dosen, dan mencapai angka kredit setidaknya 850 poin. Sementara syarat khusus menjadi Guru Besar adalah memiliki publikasi satu Karya Ilmiah/Artikel Jurnal Internasional Bereputasi Sebagai penulis pertama Terindeks Scopus.
Sementara syarat khusus tambahan adalah memiliki salah satu dari 4 poin syarat berikut ini:
- Pernah mendapatkan hibah penelitian kompetitif/ penugasan tingkat daerah/ nasional/ kementerian/ internasional/ korporasi; atau
- Pernah membimbing/bantu program doktor (di PT sendiri/ lain) dengan melampirkan bukti yang dibimbing telah lulus; atau
- Pernah menguji sekurangnya 3 (tiga) mahasiswa doktor dengan melampirkan bukti disertasi mahasiswa yang diuji; atau
- Sebagai reviewer sekurangnya 2 (dua) jurnal internasional bereputasi yang berbeda.
Adanya jalur jalan pintas menjadi Guru Besar juga diduga ada keterlibatan sejumlah pihak. Sebab seperti penjelasan sebelumnya, syarat menjadi Guru Besar tidak mudah meski bisa dicurangi. Sekaligus ada proses verifikasi berlapis-lapis yang membuat banyak dosen rentan gagal dalam proses pengajuan.
Jika memang isu tersebut benar, maka artinya memang ada dukungan dan keterlibatan tidak etis dari sejumlah pihak. Apalagi nilai akreditasi suatu perguruan tinggi juga dipengaruhi oleh jumlah Guru Besar di bawah naungannya. Kebijakan ini sangat mungkin mendorong PT memberi “restu” terbentuknya jalan pintas menjadi Guru Besar.
Jika memiliki pertanyaan atau ingin sharing pengalaman berkaitan dengan topik dalam artikel ini. Jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share agar informasi penting dan berharga di artikel ini tidak berhenti di Anda saja. Semoga bermanfaat.